ENAM PULUH ENAM

Mulai dari awal
                                    

"Perhatikan setiap langkahmu, itu saja yang ingin kukatakan."

Yura meringis, tiba-tiba merasa pening dan perutnya seperti diaduk-aduk hingga menimbulkan sensasi mual. "Kau ... A?"

Alf menggeleng. "Aku pamit pergi."

Begitulah, Alf berjalan menjauh begitu saja. Langkah-langkah yang panjang membuatnya cepat hilang ketika berbelok di suatu persimpangan jalan, meninggalkan Yura yang mendesah pelan dan terduduk dengan lemas. Beribu-ribu pertanyaan hadir di kepala satu persatu dan terkesan tidak akan ada habisnya, setitik keberanian yang sempat ia rasakan menguap hingga tak bersisa.

Apa ia harus menghubungi Aldrich tentang hal ini?

Entahlah, Yura malah merasa ragu. Ia takut hal ini dapat mengganggu Aldrich, dia pasti sibuk dengan segala urusan yang tidak ingin diketahui Yura.

Yura merogoh tas, lalu menepuk dahi ketika menyadari bahwa ponselnya tertinggal.

"Ayo masuk," ajak seseorang, Yura menoleh dan mendapati seorang perempuan satu kelasnya menaikkan alis.

Baiklah, mungkin sejenak saja ia harus fokus ke lain hal dulu.

***

Aldrich melemparkan pisau beberapa kali, hanya berselang beberapa saat saja. Benda-benda tajam itu tepat mengenai beberapa bagian tubuh target, ia kini sedang berada di suatu ruangan khusus di mana biasanya dipakai untuk melatih ketepatan seseorang dalam menentukan target.

Dasi Aldrich yang tadinya terpasang rapi kini sudah tidak karuan, tampak miring. Beberapa kancing atas juga sudah terbuka.

Aldrich berdiri dengan napas memburu, ingatan tentang ibunya yang mati karena ulahnya sendiri seringkali membuat Aldrich trauma. Meskipun target di sini hanya kayu yang dibentuk serupa dengan tubuh manusia, ia dapat membayangkan setiap darah yang menetes dan menggenang di lantai yang bersih.

"Aldrich."

Aldrich menoleh, keringatnya yang menetes tampak dramatis. Lionel tersenyum ke arahnya dan melakukan hal serupa seperti yang tadi Aldrich lakukan, yakni melempar pisau ke target. Tepat sasaran.

"Aku ingin menanyakan sesuatu."

Aldrich mendelik. "Apa?"

"Soal posisi pewaris perusahaan Bale yang besar ini. Kau mau memberikannya padaku?"

Aldrich masih memasang tampang datar, hanya alis kirinya yang naik. "Tentu, dengan senang hati."

Lionel terdiam sebentar. Semudah ini?

"Mengapa kau begitu mudah memberikan posisi yang semua orang inginkan itu?"

"Aku tidak menginginkannya, lagipula hanya kau yang menginginkan kepemimpinan Bale."

"Eh? Tentu saja tidak, kekuasaan selalu menjadi dambaan seseorang."

Aldrich tersenyum sinis, matanya menatap meremehkan. "Cara pandangmu terlalu sempit, Lionel. Perusahaan Bale terlalu gemerlap, dan aku serta yang lainnya lebih suka kehidupan yang sederhana saja. Harta tidak selalu menjanjikan kebahagiaan."

Lionel mengangkat bahu tidak peduli. "Ya ya ya terserah kau saja. Jadi, intinya kau bersedia memberikan kepercayaan Jonathan kepadaku? Tidak apa-apa jika aku membicarakan hal ini pada Benjamin?"

Aldrich mengangguk mantap.

"Baiklah, jangan menyesal nanti, Aldrich."

Lionel pergi keluar ruangan dengan langkah penuh kemenangan, Aldrich sendiri tidak merasa keberatan sama sekali. Yang ia inginkan hanyalah hidup berdua dengan Yura, hanya itu.

Ponsel di saku celana Aldrich berbunyi, wajahnya segera berbinar ketika mendapati bahwa Yura kini menelepon.

"Kau merindukanku?"

Aldrich terkekeh, duduk di bangku kayu panjang dengan ponsel yang menempel ke telinga.

Tetapi balasan sinis dari seberang segera membuat ekspresi Aldrich menjadi datar lagi.

"Jangan berkata hal menjijikkan seperti itu."

Aldrich mendengus, ini suara Dave.

"Kau sudah berani padaku?"

"Tidak perlu takut kalau Yura noona selalu membelaku."

"Mati saja kau."

"Sembarangan, kau saja."

Aldrich berdecak.

"Sebenarnya apa tujuanmu menelepon dari ponsel wanitaku?!"

"Ponselnya tertinggal, aku menemukannya​ di atas meja makan. Aku hanya memintamu untuk terus mengawasinya. Perasaanku tidak enak."

"Tanpa kau minta pun aku tetap mengawasinya."

"Oh ya? Terserah. Sudah kalau begitu, aku takut tagihan telepon Yura noona membengkak."

Telepon ditutup, Aldrich berdecih dan hampir saja melempar benda pipih itu ke tengah-tengah ruangan.

Tiba-tiba ia merasa tidak enak, apa mungkin itu efek pembicaraannya tadi dengan Dave? Aldrich berharap itu hanya bentuk prasangka saja, dan tidak ada hal buruk yang terjadi.

***

My Psychopath Boyfriend (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang