Sementara Rendra sendiri dengan tangan gemetar mengambil secarik kertas serta sebuah foto yang diangsurkan oleh Kevan untuk memastikan bahwa perkiraannya benar. Meski itu foto lama dan penampilan sosok yang ada di foto itu adalah saat sosok itu ketika di usia belia, Rendra sangat yakin jika sosok yang berada di dalam foto tersebut adalah orang yang ia kenali.

Lambat laun air muka Rendra berubah. Yang semula tampak adem ayem menjadi memerah karena amarah yang mulai menumpuk hingga ke ubun-ubunnya. Andai saja jika tidak teringat janji yang telah ia ucapkan, maka sudah barang tentu beberapa menit kemudian Kevan akan kembali dilarikan ke rumah sakit.

Tapi untunglah bagi Kevan saat ini, karena pantang bagi Rendra untuk melanggar janji.

"Kau sudah janji loh, Ren, tidak akan memukulku saat ini."

Suara Kevan yang terdengar takut itu mengembalikan Rendra dari imajinasi liarnya akan pembalasan seperti apa yang bisa ia berikan kepada Kevan nanti.

"Ini yang awalnya buat aku ragu untuk minta bantuan darimu. Reaksimu pasti akan seperti ini." Kevan mengarahkan telunjuknya ke arah wajah Rendra yang memerah seraya kembali berkata, "Aku sebenarnya tidak masalah jika kau ingin memukulku sekarang, yang aku pikirkan hanyalah proses kesembuhan yang akan memperlambat serta menghambat langkahku untuk meminta maaf darinya."

Rendra menghembuskan napasnya berulang kali. Setelah merasa sedikit tenang barulah ia kembali menatap Kevan dengan tatapan paling tajam dari yang pernah ia tunjukkan kepada orang lain. "Kenapa bisa dia, Kev?"

Geraman Rendra membuat Kevan sedikit merinding, namun sebisa mungkin ia tahan. Inilah resiko yang harus ia tanggung akibat dosanya di masa lalu. "Aku tidak ingin mencari alasan untuk membeli diri! Tapi sungguh, waktu itu aku sedang dibutakan amarah serta dendam yang tak berkesudahan. Meskipun sumber dari dendam tersebut sudah aku beri ganjaran yang setimpal, tapi api amarah itu tetap masih ada hingga membutakan mata, akal, pikiran serta nuraniku."

"Yang aku tanya, kenapa harus dia?"

Menghela napas sekali barulah Kevan menjawab, "Pada saat itu keceriaannya membuatku teringat akan orang yang menjadi objek dendamku. Entah mengapa, melihatnya tertawa membuatku ingin melenyapkan tawa itu dan menggantinya dengan air ma... "

"EGOIS KAU KEVANDRA!!!" Rendra menggebrak meja yang untungnya tidak hancur, namun begitu mereka malah menjadi tontonan publik.

"Aku tau, dan aku menyesalinya hingga saat ini." kepala Kevan tertunduk bahkan bahunya merosot dalam saking beratnya rasa penyesalan yang ia tanggung.

Melihat kepala Kevan yang tertunduk seakan tak lagi ditopang tulang lehernya, amarah Rendra sedikit menyurut. Pria yang beberapa bulan lagi akan menjadi ayahnya itu berusaha mengontrol emosi dan sekuat mungkin menenangkan dirinya. Barulah kemudian ia kembali duduk tanpa memperdulikan tatapan penasaran pengunjung kafe lainnya. "Tidakkah kau berpikir bagaimana reaksi keluarganya jika sampai mereka tau bahwa kau adalah alasan dia pergi hingga tak mau menampakkan diri di depan orang yang dikenalnya?"

"Maafkan aku!!"

"Bukan padaku, Kev,"

Kepala Kevan terangkat, menatap Rendra dengan sorot bertanya.

"Mintalah maaf kepada keluarganya. Akui kesalahanmu lalu lakukan apapun itu untuk meminta maaf serta memperbaiki kesalahanmu. Tunjukkan kepada mereka jika kau benar-benar tulus ingin berubah."

"Niatku memang begitu," tutur Kevan yang sedetik kemudian kembali melanjutkan, "Tapi aku pikir yang pertama harus aku lakukan adalah meminta maaf darinya terlebih dahulu. Setelah itu baru aku menghadap keluarga dan menerima ganjaran yang entah seperti apa dari mereka."

Rendra menghela napas frustasi. Ia saja yang selaku orang luar bisa merasakan amarah yang sangat seperti ini, apalagi keluarga si dia. Rendra tidak mau membayangkan akan jadi apa Kevan jika sampai para algojo di keluarga si dia saat menghajar Kevan nanti.

"Bisakah kau membantu, Ren?" tanya Kevan kembali ke topik awal.

"Jika sudah ketemu, apa yang akan kau lakukan?"

Kevan mengedikkan bahunya. "Aku tidak tau. Yang pertama ingin aku pastikan adalah bagaimana keadaannya saat ini."

"Lalu setelah itu apa?"

"Aku pikir aku akan menikahinya."

"Kalau dia sudah menikah, bagaimana?"

Kepercayaan diri yang tadi sempat Kevan bangun kembali runtuh saat Rendra mengajukkan pertanyaan yang sudah pasti tidak ingin ia dengar. "Entahlah," jawabnya lesu.

Melihat sahabat yang paling badung diantara yang lainnya terlihat kehilangan tak berdaya, mau tak mau rasa iba muncul di hati Rendra. "Kabar terakhir yang aku dengar dari keluarganya, dia kelihatannya masih sendiri. Lagi pula kalaupun ingin menikah pastilah dia harus meminta izin kepada keluarganya untuk menjadi wali." kata Rendra untuk membesarkan hati Kevan.

Ucapan penyemangat tersebut ternyata sangat ampuh untuk mengembalikan semangat serta kepercayaan diri Kevan. "Kau benar!" ucapnya sembari menganggukkan kepala dengan semangat.

"Tapi yang perlu kau ingat, persiapkan dirimu ketika kau menghadapi keluarganya nanti." ujar Rendra memperingatkan sahabatnya yang bebal itu.

"Itu pasti." sahut Kevan dengan keyakinan penuh.

Kini satu masalahnya telah teratasi. Yang harus Kevan pikirkan adalah bagaimana caranya ia melangkah untuk menggapai maaf dari wanita yang sampai saat ini masih menjadi penghuni tertinggi di hatinya bahkan melebihi ibunya sendiri.

Katakanlah jika Kevan anak durhaka karena menomor duakan ibunya. Namun sebagai seorang anak, Kevan merasa jika kesalahan yang ia perbuat tidaklah sebesar kesalahan yang ia lakukan kepadanya wanitanya, jika ia masih boleh mengatakan begitu.

🌸🌸🌸

Judulnya saya ganti ya. Biar mecing aja sama sampul juga warnanya. Untuk cerita Kevan ini sendiri, setiap partnya akan saya buat pendek saja. Palingan seribu lebih kata, yang penting ide yang ada di kepala saya tertulis di sana.

Saya ini hanyalah penulis amatir yang di setiap tulisan saya pasti ada yang salah juga kurangnya. Untuk itu saya mengharapkan pengertian dari pembaca sekalian untuk tidak menuntut kesempurnaan dalam setiap karya tulis saya. Karena yang sempurna tetaplah hanya Tuhan saja juaranya.


🍁🌸🍁
Salam, eria90 🐇


Semerah Warna Cinta [TTS #3 | SELESAI]Where stories live. Discover now