23

45 5 0
                                    



Erga kembali mengetuk pintu coklat yang tertutup rapat didepannya. Tidak ada tanda-tanda orang di dalam. Tapi kalau Alika tidak ada dikantor, lantas kemana lagi ia harus mencari. Erga membalikkan badan saat tak jua terbuka. Ia terduduk di lantai teras rumah Alika sembari berpikir kemana lagi ia harus mencari. Dalam hati, ia khawatir dengan kondisi gadis itu. Terlebih saat terakhir kali mereka bertemu adalah Alika yang tiba-tiba diam dan seringkali melamun. Beberapa kali juga Erga mendapati Alika tengah mengusap kedua pipinya. Erga yakin, gadis itu tidak baik-baik saja.

"Mas nya nyari Bu Linda atau anaknya?" tanya seorang ibu-ibu dari balik tembok samping rumah Alika. Erga mendongak dan bangkit dari tempatnya.

"Anaknya, Bu. Kira-kira Ibu tau nggak kemana perginya?" tanya Erga penuh harap.

"Wah nggak tau tuh. Tapi kalo perginya sama siapa, saya tahu. Tadi pagi sih Alika pergi sama cowok. Nggak tahu siapa. Tapi kayaknya temennya deh. Soalnya mereka udah akrab banget gitu." Erga mengerutkan dahinya untuk berpikir siapa laki-laki yang pergi bersama Alika hari ini.

"Kira-kira, cowoknya gimana ya bu? siapa tahu saya kenal?" tanya Erga yang terus mencari informasi.

"tingginya kira-kira kurang lebih sama kayak Mas. Trus ganteng. Bawa mobil juga warna nya putih."

"Putih?" Erga berpikir sejenak sebelum mengambil langkah keluar pekarangan. "terimakasih informasinya bu," ucap Erga sebelum pergi meninggalkan rumah Alika.

****

Jam menunjukkan pukul 7 petang saat ponsel Alika masih tak bisa dihubungi. Erga sudah mencari sampai ke berbagai wilayah di kota Jakarta untuk menemukan gadis itu. Menyerah, ia pun memilih untuk menepi karna perutnya mulai meminta makan. Ia memarkir mobilnya di pinggir jalan, dan berjalan sebentar untuk membeli makan di warung kaki lima langganannya.

"Mang, kayak biasanya satu." Erga mengambil tempat untuk duduk. Ia mengedarkan pandangannya. Ramai meskipun tidak terlalu padat. Kebanyakan, para pembeli adalah orang-orang yang terjebak macet dan mampir untuk mengisi perut. Dan di daerah sini jarang terjadi macet karna hanya jam-jam tertentu mobil boleh lewat.

Erga mengedarkan pandangannya kembali ke luar tenda. Melihat pedagang-pedagang lain yang juga sedang ramai dikunjungi. Sampai ia melihat dimana seseorang yang sangat familiar. Dari bentuk tubuhnya, cara nya menguncir rambut dan juga senyuman yang terukir disana. Erga segera bangkit dan hendak mendekat saat ia menyadari ada orang lain yang tengah bersama orang itu. Laki-laki berperawakan tinggi. Dan juga, sangat amat familiar baginya. Alika dengan Gavin. Dugaan Erga kali ini benar. Seorang laki-laki, teman dekat, dan mobil putih.

Erga menghembuskan napas panjang sebelum memutar tubuhnya kembali ke tenda warung. Mencoba tidak menuruti emosinya. Meski sesekali ia melirik kearah sana.

"Loh, mas Erga ini masih disini to?" tanya Pak Maman yang tengah membersihkan meja. Memang, malam sudah mulai larut dan Erga masih betah saja duduk disana. Sampai beberapa pedagang sudah membereskan gerobak dan dagangannya. Begitu pula dengan Pak Maman. Erga tersenyum pahit sebelum berdiri dan menyerahkan selembar uang untun diberikan pada Pak Maman. "lagi patah hati ya mas?"

Erga mengernyit sebentar, sebelum akhirnya tertawa kecil. "Pak Maman mah sok tahu."

"ya abisnya daritadi bengong mulu, kayak orang lagi sakit hati," jawab Pak Maman yang membuat Erga kembali tertawa kecil. Memang, ada perasaan sesak dari dalam yang ia sendiri bingung, kenapa muncul saat ia melihat Alika bersama Gavin. Bukannya Dara dengan laki-laki lain. Toh, yang selama ini dekat dengannya adalah Dara, bukan Alika. Meski mereka beberapa kali terlibat tour bussiness bersama.

"Mas, kalo mau dapetin cewek, itu butuh perjuangan. Nggak sekedar, mas suka dia, mas bisa pacaran sama dia. Itu mah sama aja mas malak saya buat dapet makanan. Kasihan saya nya kan. Nah, ibarat ketoprak, cewek itu butuh diperjuangin. Ada prosesnya buat dapet ketoprak yang enak. Kalo mas Erga kepingin dapet tuh cewek, ya mas Erga berjuang. Apalagi, cewek itu bakal ngerasa dihargai kalau mas Erga selalu ada buat dia."

"Pak Maman kalo ngomong udah kayak A-Be-Ge aja ah."

"yee gini-gini mah saya pernah muda mas. Ngejar cewek aja sampe bertahun-tahun. Pengalaman saya itu mah mas." Erga tertawa sebelum pamit pergi dan kembali ke mobilnya.

Gelap. Erga memejamkan matanya dan menyandarkan tubuhnya ke kursi pengemudi. Mencoba meredakan emosi yang kembali lagi merebah di hatinya. Bayangan Alika dan Gavin yang berdua kembali membuat rasa sesak yang tadi sempat hilang, hadir kembali.

"Gue kenapa sih. Suka-suka dia lah mau jalan sama siapa. Kenapa gue kayak cewek PMS gini sih." Erga mengusap wajahnya kasar dan menegakkan kembali tubuhnya. Digenggamnya setir mobil saat matanya menatap layar ponsel yang gelap.

****

Gavin membuka pintu studio saat menemukan Naufal tengah mengutak atik gitar kesayangannya. Ia mengedarkan pandangannya dan tidak menemukan Erga dimanapun. Gavin mendekat kearah Naufal dan duduk di kursi terdekat. Digapainya bassist yang berdiri tegak di samping kanannya. Memetik senarnya pelan dan terdengarlah nada demi nada yang membuat Naufal melirik kearahnya.

"Erga mana? Bukannya hari ini latihan? Lusa udah harus manggung di Surabaya loh," tanya Gavin sembari terus terfokus pada bass nya.

"Kemaren kemana? Bukannya kemarin latihan? lusa udah harus manggung di Surabaya loh," kata Naufal yang membalikkan pertanyaan Gavin. Gavin mendongak dan mendapati Naufal yang masih sibuk dengan gitarnya tanpa berminat untuk menatap Gavin balik.

"Gue udah ijin sama pak Adit kan?" Naufal mengangkat kedua bahunya tanpa berminat menjawab pertanyaan Gavin. "trus sekarang Erga kemana?" Lagi-lagi Naufal mengangkat kedua bahunya dan terus terfokus pada gitar tanpa mau menatap Gavin yang berada beberapa meter darinya. Gavin mendengus pelan dan mengeluarkan ponselnya dari saku.

Nada sambung satu, dua, tiga, dan Erga tidak menjawabnya. Dicobanya sekali lagi, tetap tak ada jawaban. Kesal, Gavin pun menyambar ponsel Naufal yang ada diatas meja dan segera menekan nomor ponsel Erga untuk menghubungi laki-laki itu. Naufal yang tengah sibuk dengan gitarnya, sedikit berjengit mengetahui ponselnya di ambil alih oleh Gavin.

Nada sambung satu, dua, tiga dan tetap tidak ada jawaban. Sampai Gavin melakukan tiga kali percobaan, barulah suara Erga terdengar dari seberang. "ngapain telfon-telfon? Kangen lo?"

"Lo dimana?" Tidak ada jawaban selama kurang lebih 1 menit sebelum dengusan milik Erga terdengar. "Ga, hari ini ada latihan dan lusa udah manggung di Surabaya. Lo mau manggung pertama kita hancur?"

Terdengar kekehan kecil dari seberang sebelum suara berat milik Erga kembali terdengar. "bukannya impas ya? Lo pergi ngedate kemarin, dan gue ngedate hari ini. Impas kan?"

Gavin mengerutkan keningnya. Mencoba memahami perkataan Erga yang diluar dugaannya. "maksud lo?"

"Seenggaknya lo tahu alesan gue nggak latihan hari ini, daripada ngilang nggak tahu kemana tapi ternyata pergi berduaan. Sorry, gue nggak bisa dateng." Gavin baru saja ingin menyangkal ketika sambungan telfon sudah terputus. Naufal melirik kearah Gavin yang masih memandangi layar ponsel milik Naufal.

Naufal mengambil ponselnya dari tangan Gavin sebelum memasukkannya ke dalam saku celana. "yaudah, kita latihan berdua dulu aja," ucap Gavin menuju tempatnya semula.

CroireWhere stories live. Discover now