15

48 7 0
                                    

Erga merasakan dadanya menghangat saat tahu Alika aman di dalam pelukannya. Setidaknya gadis itu tidak langsung mendorong tubuhnya dan melepaskan apa yang baru saja mencairkan sebongkah es yang tumbuh di hati Erga. Dilihatnya Alika yang masih terkejut namun sedikit tenang karna hembusan napas panjang membelai lembut dada Erga. Erga tahu, keadaan yang tadinya biasa saja, menjadi lebih canggung.

"badan lo kecil sih, makanya kejepit." Alika mengendus dan memalingkan wajahnya kesal, namun tidak melepaskan lingkaran lengan yang membelit tubuhnya. Keadaan lebih tenang dari sebelumnya saat sebuah suara membuat Erga terkikik. "lo laper ya?"

Alika membelalakkan matanya saat beberapa mata memandang kearah mereka. Sontak Alika mendorong tubuh Erga dan berdiri di sudut lift. Tepat dihadapan Erga. Ia tahu, pasti sekarang ini Erga tengah menertawakan perutnya yang berbunyi dan wajahnya yang memerah karna malu. Untung saja tak lama kemudian lift terbuka dan orang-orang berhamburan keluar.

Lagi-lagi Erga menarik tangan Alika keluar, dan melangkahkan kakinya menuju ruangan yang berada di pojok lantai paling atas tersebut. Alika hanya diam tanpa bisa mengelak karna rasa malunya masih membekas disana.

"5 menit gue keluar, habis itu kita makan di restaurant deket sini. Okay? Wait a minute." Alika menatap punggung Erga yang menghilang saat pintu tertutup. Kehangatan lengan kokoh milik Erga masih membekas di beberapa bagian tubuhnya. Terlebih lengan bagian atas. Alika tidak pernah merasakan dekapan laki-laki sehangat dan senyaman tadi. Mencoba mengusir apapun yang telah terjadi, Alika mengeluarkan buku bacaannya dan tak lupa menyelipkan headset ke telinga.

Suara berat milik Bruno Mars mengalun lembut ketika lagi-lagi perutnya berbunyi. Alika menekan perutnya dengan kedua tangan, berharap agar bunyinya tak lagi terdengar. Namun nihil. Karna detik selanjutnya sepasang kaki jenjang berdiri di hadapannya, melepas headsetnya dan menarik lengan Alika.

"katanya 5 menit?" Alika memasukkan ponselnya ke tas bersamaan dengan buku bacaannya sebelum berjalan di samping Erga.

"5 menit kelamaan buat ngasih makan cacing-cacing yang ada di perut lo."

"masih bisa gue tahan kok. Lagian, gue juga nggak laper-laper banget." Tepat setelah Alika mengatakan kalimat yang bertentangan dengan isi perut, sebuah bunyi kembali terdengar. Membuat Alika menggigit bibirnya karna lagi-lagi ia malu didepan Erga.

"nggak laper-laper banget tapi bunyinya kedengeran sampe sini. lo mau perut lo dimakan habis sama cacing-cacing itu? Nggak kan?" Alika tidak bisa mengelak lagi karna perkataan Erga ada benarnya juga. Kalau ia menunda makan lagi, yang ada bukan hanya kemugkinan terkena maag, tapi juga infeksi lambung. Sama seperti yang Ibu Alika katakan saat ia sibuk lembur.

****

Suara emas milik Adele terngiang ke penjuru restaurant saat Erga masuk kedalam. Nuansa Classic semakin terasa saat Erga menarik kursi dari meja bernomor 5. Ini bukan pertama kalinya ia datang ke restaurant ini. Terakhir kali ia datang, hanya bersama keluarga besar dan berada dalam acara formal. Erga menyukai restaurant ini bukan karna nuansanya atau apapun. Ia hanya menikmati hidangannya, dan ia jatuh cinta dengan setiap rasa masakan yang disajikan disana.

"Beef Steak dengan bumbu Bolognese, dan Cappucino Velvet." Erga melemparkan senyumannya pada waitress sebelum melemparkan tatapannya pada Alika yang masih memilih menu makanan.

"Nasi Goreng aja deh mas."

"No. Samain kayak saya aja mas." Alika menatap Erga tidak terima.

"Apa-apaan. Kan gue yang makan, kenapa jadi lo yang mesenin? Nggak ada, gue mau Nasi Goreng."

"Karbohidrat buat orang kelaperan kayak lo itu nggak bagus. Jatuhnya lemak jahat. Makan protein dulu napa. Ntar habis lo makan protein, gue beliin nasi goreng pas balik ke Jakarta." Erga menatap Alika yang tengah mengerutkan dahinya sebelum cewek itu kembali menggeleng.

"Gue mau nasi goreng, titik. Mas tulis pesenan itu di-"

"Udah mas, pesenannya yang tadi aja ditambah air mineral dua." waitress tadi meninggalkan meja Erga dengan wajah bingung karna Alika masih ngotot dengan nasi gorengnya, dan Erga yang tetap keukeuh memesankan Alika sama dengannya.

"Karbohidrat itu-"

"nggak baik buat orang kelaperan kayak lo. Jatuhnya lemak jahat. Lo pikir selama gue dirumah kalo laper makan apaan? Protein? Sayang duit gue dong kalo beli makan lagi." Erga menghela napas panjang saat kalimatnya dipotong oleh Alika.

"Segitu sayangnya ya lo sama duit? Lebih sayang duit ketimbang badan lo sendiri?"

"Kalopun gue lebih sayang duit ketimbang badan, paling nggak gue lebih menghargai apa yang gue dapetin daripada ngebuang apa yang gue dapet secara gampang." Erga mengangkat sebelah alisnya sampai pesanannya datang, membuatnya harus mengurungkan niat untuk menanyakan maksud dari perkataan Alika.

*****

Alika mengerjapkan matanya saat pandangannya masih memburam. Langit masih gelap dan ia masih berada didalam mobil. Dibalut sebuah jaket, Alika menegakkan tubuhnya dan mencoba melihat sekitar. Hanya ada dirinya di dalam mobil. Tidak ada Erga disampingnya. Diliriknya jam tangan yang menunjukkan pukul 1 dini hari. Dirogohnya tas dan diambilnya ponsel saat pintu mobil terbuka. Memperlihatkan kepala Erga yang menunduk dan mengulurkan sekantung plastik hitam.

"apaan?" Alika berdeham saat suaranya tercekat dan serak. Erga masuk dan duduk disamping Alika sembari membuka kantung plastik yang Alika yakin dari aromanya, berisi nasi goreng.

"lo tadi bilang pengen nasi goreng kan?" Erga mengulurkan sekotak nasi goreng kepada Alika. Dengan sedikit ragu, Alika mengambil nasi goreng tersebut dan membukanya. Ada seporsi nasi goreng beserta sate ayam dan kerupuk didalamnya. "Bentar lagi masuk tol. Kalo lo nggak keberatan, lo stay wake up ya. Biar kalo gue tanya rumah lo, gue nggak bangunin lo dulu."

Alika hanya mengangguk tanpa mengalihkan perhatiannya dari sekotak nasi goreng yang ada di pangkuannya. Sementara Erga menjalankan mobilnya, perlahan Alika menutup kotak nasi goreng karna tiba-tiba saja perutnya terasa penuh.

"Kenapa?"

"Kenyang. Lo sih nyuruh gue makan protein dulu. Penuh kan perut gue." Erga mengambil kotak nasi goreng dari pangkuan Alika dan memindahnya ke pangkuannya. Alika hanya menatapnya terkejut.

"Gue yang nyuruh lo makan protein kan? berarti gue juga boleh nyobain makan nasi goreng dong." Erga menyuapkan sesendok nasi goreng ke mulutnya hanya dengan satu tangan.

"Gue nggak ngerti ya. Kadang lo tuh ngeselinnya pake banget tapi kadang bikin orang ngerasa awkward tau nggak."

"bilang aja gue susah ditebak."

"whatever lah." Alika menyalakan ponselnya dan menyelipkan headset ke telinga. Mencoba tidak memperdulikan Erga yang terkekeh bersama nasi gorengnya.

**

Alika membuka pintu mobil saat mereka berhenti tepat di pekarangan. Rumah sederhana yang ada di depan mobil Erga terlihat gelap dan sepi. Alika yakin, Ibu pasti sudah terlelap dan tidak mendengar suara mesin mobil Erga karna terdengar begitu halus. Alika mengambil kunci dari dalam tas saat Erga berdiri di sampingnya.

"Lo yakin Ibu lo nggak perlu penjelasan dari gue?"

"Lo nggak lagi ngehamilin gue."

"Tapi lo pulang pagi-pagi begini sama cowok apa kata keluarga lo coba. Okedeh kalo Nyokap lo udah tidur, Bokap lo pasti masih nungguin." Tepat ketika Erga melangkahkan kaki, lengan Alika menahannya. Membuat laki-laki itu terhenti dan menatap Alika bingung.

"Bokap gue nggak nungguin gue. Mending lo pulang sekarang. Lo nggak mau digrebek satu kampung gara-gara masuk ke rumah cewek pagi-pagi begini kan?" Alika melepaskan genggamannya dan melangkah menuju halaman rumahnya yang sepi dan gelap.

Ada satu hal yang Erga tidak mengerti tentang Alika. Ada berapa banyak tembok yang gadis itu bangun sampai-sampai ia sendiri tidak tahu apa yang gadis itu pikirkan dan rasakan. Terlalu sulit untuk memilah dan melihat.

CroireWhere stories live. Discover now