12

47 6 0
                                    






Dara mengetukkan jari-jarinya saat seorang pelayan menghampirinya dan meletakkan secangkir cokelat panas diatas meja. Beberapa hari belakangan ini ia memang sedang disibukkan dengan tugas praktikum yang harus segera ia selesaikan. Bahkan, Dara belum tahu bagaimana kabar terakhir Alika setelah genap 1 bulan bekerja sebagai manager artis. Terakhir kali Dara pergi kerumah gadis itu, hanya ada Ibu yang ia temui. Alika tidak ada dirumah karna ada beberapa hal yang membuatnya harus tetap tinggal di kantor. Tepat ketika Dara menyeruput cokelat panasnya, bel pintu masuk caffe berbunyi. Disusul dengan wajah Erga yang terlihat sedikit berantakan dari biasanya. Laki-laki itu melambaikan tangannya dan menyusul Dara yang telah lebih dulu menyeruput cokelat panasnya.

"Lama ya?"

"Se-lama cokelat nya jadi, but it's okay."

"Habis ngambil gitar nya Gavin. Dia harus nganter Fara ke kampus buat ngambil berkas-berkasnya sebelum berangkat ke Amrik." Dara mengangguk sembari mengaduk cokelat panasnya. Ada hal lain yang membuat Dara merasa nyaman berada di sekitar Erga. Rasa nyaman dan aman yang muncul entah darimana. Di satu sisi, Dara hanya meyakinkan dirinya kalau mereka hanyalah teman dan tidak lebih dari sekedar seorang fans dengan salah satu idolanya.

Namun, ketika membayangkannya pun Dara merasakan hal lain yang menyesak paru-parunya. Pengap. Dan hal lain yang akan ia lakukan setelahnya adalah melantunkan lagu-lagu mellow dan membiarkan air matanya mengalir diantara untaian kata bernada.

"Kamu dateng ya pas aku manggung hari Jumat nanti?" Dara mendongak. Meninggalkan perhatiannya dari cokelat panas menuju laki-laki yang telah memikat perhatiannya belakangan ini.

"Boleh buat kelas VVIP."

"request is accepted." Erga mengeluarkan selembar kertas dari dalam saku jaketnya dan diulurkannya pada Dara yang menatap kertas itu penuh perhatian. Kertas yang bersampul beberapa band dan penyanyi-penyanyi solo yang akan tampil Jumat mendatang.

"Ini legal kan?"

"Kamu kira aku nggelapin tiket ini dari Alika? Yaiyalah emang." Dara tertawa. Membuat Erga terkekeh pelan.

"Alika ngamuk lho."

"Biarin ah. Ntar juga diem sendiri. Kalaupun nggak mau ngomong, ntar juga lupa pas hari H nya. Dia kan nenek-nenek, pikun." Dara terkekeh. Dalam hati ia berharap bahwa selamanya ia akan tetap mendengar lelucon Erga dan tawanya yang membaur jadi satu.



*****


Kamis telah datang. Itu artinya kesibukan telah menyambut Alika. Apalagi besok adalah hari dimana band yang menjadi tanggung jawabnya tampil. Ia benar-benar harus membereskan semuanya dengan baik dan benar. Bahkan, sudah 2 hari ini Alika tidak pulang ke rumah dan lebih memilih menginap di kantor ketimbang harus datang pagi-pagi dan masih harus menyempatkan waktunya untuk bergulat dengan kemacetan kota Jakarta. Hari ini sama dengan hari sebelumnya. Melewatkan sarapan dan baru bisa mengisi perut saat hari mulai padam. Untung saja Alika tidak punya penyakit apapun yang berkaitan dengan perut, alhasil dia sedikit tenang jika ia melewatkan sarapan dan makan siangnya.

"Al, berkas proposal buat manggung besok udah lo kasih ke Pak Adit kan? Sorry banget kemarin gue harus balik, nyokap gue nggak ada jadinya gue masak sendiri." Alika mendongak saat suara Rania, admin kantor sekaligus assisten Pak Adit.

"Udah kok. Udah ditanda tanganin juga. Tuh di meja gue." Tunjuk Alika pada map berwarna biru yang tergeletak di atas mejanya.

"Al, gitar gue udah diambil kan sama bassist-nya?" Alika menolehkan kepalanya dan mendapati Naufal tengah duduk di sofa ruangannya.

"Seinget gue sih tadi Gavin nitipin gitarnya ke Erga. Tau tuh diambilin beneran apa nggak. Mending lo telfon deh tuh anak."

"telfonin dong, gue nggak ada pulsa."

"Gila aja lo. Masa artis nggak punya pulsa." Naufal terkekeh sembari menaik turunkan kedua alisnya. "Bilang aja lo nggak mau pulsa lo berkurang. Dasar lo artis peritungan." Naufal tertawa melihat raut wajah Alika yang kesal karna lagi-lagi cewek itu lah yang harus turun tangan.

"Lo belom sarapan sama makan siang ya?" Alika menatap Naufal saat nada sambung masuk ke ponselnya disusul suara berat dari seberang.

"Lo dimana?! Gitarnya Gavin udah lo ambil belom?" tanya Alika yang bersyukur Erga mengangkat telfonnya dengan cepat. Alhasil, dia bisa mengalihkan perhatiaannya dari pertanyaan Naufal.

"Udah. Bawel amat sih."

"Besok lo manggung."

"Udah tau."

"Bisa nggak, nggak usah nyela dulu omongan orang?" Alika mendengus kesal. "Bassist nya Naufal udah di ambil belom?"

"Mana gue tau."

"Ya harusnya lo tanya dong. Inisiatif kek nanyain punya temen. Kalo sampai bassist nya Naufal nggak diambil, kalian mau manggung tanpa bassist?"

"Lo kenapa marah-marah mulu si? PMS ya? Gue beliin Kiranti?"

"Nggak usah." Dan Alika mematikan sambungan telfonnya saat pandangan Naufal terarah padanya. "Biar gue hubungin staff admin-nya."

"Nggak usah. Mereka udah gue tanyain kok. Katanya udah diambil sama Gavin tadi malem dan sekarang ada dirumahnya. Nanti biar gue aja yang ngambil. Lo makan gih, muka lo pucet." Naufal bangkit dari duduknya dan menatap Alika dengan pandangan meneliti. "Udah kayak Panda tuh kantong mata. Bisa buat nyimpen duit."

"Iya, bawel amat sih." Alika tertegun saat sadar bahwa ia baru saja membalikkan kata-kata Erga.

"Ntar kalo lo sakit, besok siapa yang nemenin kita manggung? Udah ah, pokoknya lo harus makan. Biar gue suruh Tito beliin lo makanan ya?

"Nggak usah. Bentar lagi kerjaan gue selesai kok, gue bisa cari makan sendiri." Naufal menghela napas sebelum keluar ruangan dan meninggalkan Alika sendirian.


****

Gavin mengetuk pintu bertuliskan Manager Artist room yang ada di sebelah studio musik milik kantor produksinya. Tidak ada jawaban sampai suara derap kaki terdengar dan pintu terbuka. Gavin melihat wajah Alika yang benar-benar lelah. Ada lingkaran hitam di bawah matanya, bibirnya yang putih dan pucat juga badannya yang kecil menjadi sedikit lebih kecil dari biasanya. Rambut nya yang sering ia kucir ke belakang, kini ia cepol keatas membentuk bulatan tak beraturan. Anak-anak rambutnya juga mulai terlepas dari cepolan. Intinya, Gavin melihat Alika malam ini begitu berantakan.

"Kalau ada orang pesen itu, didengerin trus dilaksanain. Bukannya didengerin trus dilupain." Gavin melangkah masuk ke dalam ruangan, disusul Alika yang berada di belakang. Gavin menaruh kantung plastik berisi makanan yang ia beli tadi di atas meja kecil dan membukanya satu persatu.

"maksudnya?"

"Lo belom makan dari tadi pagi? lo nggak kasihan sama lambung lo?"

"Gue nggak punya maag kok. Meskipun gue nggak makan seharian juga perut gue nggak kenapa-napa." Alika duduk disamping Gavin dan melihat Gavin yang mulai membuka satu persatu makanan.

"Perut lo nggak kenapa-napa, tapi wajah lo yang kenapa-napa. Sekarang lo makan deh." Gavin menyodorkan piring plastik berisi nasi dan beberapa potong ayam, salmon dan salad kepada Alika.

"Jangan bilang Naufal yang ngadu ke lo ya?"

"Dia khawatir sama wajah lo. Harusnya lo berterimakasih sama dia." Alika hanya mengendus pelan dan mulai menikmati makanannya. Ternyata tidak memasukkan makanan ke dalam perut selama seharian penuh membuatnya menjadi monster yang kelaparan. Porsi yang biasanya ia makan menjadi bertanbah dan akhirnya membuat perutnya terasa penuh. "Kenyang?"

"Banget. Thanks ya. Gue kira gue bakal jalan sendirian tengah malem lagi buat nyari makan."

"jadi selama ini lo nyari makan tengah malem sendirian?" Alika mengangguk sembari meneguk air mineral yang Gavin bawa tadi.

"Habis, kerjaan gue selesainya jam segituan. Apa boleh buat. Mau delivery pun gue juga nggak bisa. Yaudah gue jalan aja." Gavin menggelengkan kepalanya.

"mulai besok, kalo lo emang mau nginep di kantor, bilang sama gue atau sama Pak Adit. Biar kalo lo laper, kita ada stok makanan di dapur." Alika mengangguk dan memberikan hormat kepada Gavin.

CroireWhere stories live. Discover now