04

56 8 0
                                    



Gavin mengambil sebuah map berwarna biru saat semua mata tertuju padanya. Hari ini, dimana setelah melihat beberapa para pelamar, Fara dan Pak Adit memutuskan untuk para personil Wild Band lah yang akan memilih para pelamar. Dan Gavin memilih seorang perempuan yang meskipun penampilannya terbilang sangat biasa, namun Gavin tau, dibawah tatapannya gadis itu punya standar pendidikan yang tinggi.

Cowok itu menaruh map biru ketengah meja sembari melirik satu persatu orang yang hadir dalam rapat kali ini. Dan untuk terakhir kalinya, ia menatap Fara. Berharap kalau keputusannya tidak akan pernah salah. Fara yang tahu arti tatapan Gavin hanya melemparkan senyum dan mengangguk samar. Membuat hati Gavin sedikit tenang dan lega.

Pak Adit mengambil map tersebut dan melihat berkas-berkas pelamar yang dipilih. Membuatnya sesekali mengerutkan alis ataupun melirik Gavin. Namun setelah mengajak Fara berbincang, Pak Adit menutup map tersebut dan mengangguk.

"Besok, saya dan Fara yang akan melakukan sesi interview pada pelamar yang terpilih. Dan untuk jadwal show kalian, akan saya update lagi siang ini."

Pak Adit bangkit disusul rekan-rekan pegawai kantor yang lain. Menyisakan dirinya, Fara, Naufal dan tentu saja, Erga. Gavin menghela napas panjang saat tatapan Erga tertuju padanya.

"Lo udah pertimbangin semuanya?" Tanyanya ketika Gavin membalas tatapan matanya. Gavin mengangguk mantap ketika tatapannya dengan Fara bertemu. "Bagaimanapun keputusan lo, gue ikut." Dan Erga pun beranjak dari tempatnya. Meninggalkan ruang rapat dengan suara pintu yang berdebum ringan.

"Gue harap semuanya baik-baik saja selama gue di Amrik. Semoga dengan adanya manager, kalian bisa lebih terkontrol. Tenang, gue percaya sama apapun keputusan lo."

Gavin tersenyum mendengar kalimat Fara yang selalu bisa membuatnya tenang. Bagaimana bisa ia membayangkan hidup sendiri tanpa hadirnya Fara yang selama 21 tahun bersamanya. Fara bukan hanya kakak perempuannya, tapi Fara adalah sahabat sekaligus teman Gavin yang sangat mengerti dirinya. Melebihi Mama. Maka, ketika Fara memutuskan untuk pindah ke Amrik, Gavin sedikit kecewa. Berpisah dengan Fara seperti ada sebagian dirinya yang hilang.

"Calon manager kita, cewek kan?" Pertanyaan Naufal membuat Gavin sadar dan menatap teman satu band nya itu malas. Fara terkikik sebelum akhirnya bangkit dan ikut meninggalkan ruangan rapat. "Bro, cewek kan?" tanyanya lagi ketika Gavin tak kunjung menjawab.

"Kalo gue milihnya banci, mau apa lo?" jawab Gavin yang ikut bangkit dan melangkah keluar.

****

Bunyi bising yang berasal dari dapur dan aroma kopi yang tercium sudah menjadi keseharian Alika beberapa bulan belakangan ini. Selain berdiri sembari merapikan buku-buku di toko, juga mencari artikel untuk tugas-tugas akhir semester yang akan dilakukan 2 minggu mendatang. Ada banyak hal yang harus ia lalui sebelum benar-benar berhenti dan membuat Ibu nya bangga. Apalagi setelah ayah dan kakaknya yang pergi tanpa kabar. Membuat orang yang benar-benar ia percaya, tak bisa lagi ia andalkan.

Bunyi lonceng pintu terdengar. Membuat Alika buru-buru memakai topinya dan merapikan file-file yang ia buka di komputer kasir. Tanpa sadar, kedua matanya telah berair. Hal yang benar-benar Alika benci.

"Caramel Macchiato sama cheesecake strawberry."

Alika segera menulis pesanan seorang pelanggan yang baru saja datang. Sengaja ia tidak menatap si pelanggan supaya air matanya tidak terlihat oleh orang lain. Tidak selain dirinya sendiri. Alika membalikkan badan untuk mengantarkan pesanan pelanggan tersebut dengan kepala yang masih menunduk.

CroireWhere stories live. Discover now