15. Gaping Wound

41.2K 8.5K 684
                                    

"Kamu ada perlu apa ke kantor saya?" tanya Lay begitu kami sampai di salah satu restaurant yang berada di dekat kantornya.

Pertanyaan yang Lay layangkan terinterupsi oleh pelayan yang membawakan buku menu ke hadapan kami berdua.

Pandangan gue mulai gelisah saat melihat buku menu yang tekesan elite dan juga interior restaurant yang terlihat cukup elegan ini. Gue pun kembali mengkhawatirkan isi dompet gue saat ini.

Meski ini pertamakalinya gue kesini, gue bisa menjamin kalau restaurant ini memiliki menu dengan harga yang cukup tinggi. Dan ketika gue membuka buku menu, ketakutan gue berubah menjadi nyata. Nominal angka yang tertera di dalam buku menu tersebut tidaklah manusiawi bagi seorang karyawan biasa seperti gue. Mungkin gue harus berpuasa seminggu hanya demi makan siang di restaurant ini.

Gue kesini untuk bayar utang, bukan untuk nambah utang!

"Saya nggak laper, Mas," ucap gue sambil menutup buku menu yang ada di depan gue.

Lay hanya melihat gue sekilas sebelum kembali sibuk dengan buku menunya.

Hhhh... sabar deh gue ngeliatin dia makan. Harusnya gue makan roti dulu sebelum kesini!

"Dua Barbecue baby back ribs, untuk minumannya saya minta Berry Blush dan juga fresh orange juice."

Gue melotot begitu mendengar menu yang di sebutkan oleh Lay, harga minuman yang sempat gue intip tadi berkisar di antara enam puluh sampai tujuh puluh ribu. Untuk harga makanannya gue tidak mau membayangkannya. Mungkin berkisar antara seratus lima puluh ribu sampai dua ratus ribu. Terlalu mahal untuk ukuran satu kali makan!

"Baik saya ulangi ya pak pesanannya, Dua Barbecue baby back ribs, dan untuk minumannya Berry Blush dan juga fresh orange juice." ulang pelayan itu yang di jawab anggukan singkat dari Lay.

Setelah pelayan itu pergi, gue pun memilih untuk kembali membuka percakapan. "Mas, saya kesini cuma untuk bayar utang."

"Utang apa?" tanya Lay.

"Jangan pura-pura nggak tau Mas, semalem yang bayar kerusakan mobil saya Mas bukan? Bengkel langganan Mas itu nggak pernah menggabungkan nota untuk mobil yang berbeda sejak dulu."

"Bukannya saya udah bilang nggak usah kemarin?" tanya Lay yang membuat gue bungkam.

Di satu sisi sebetulnya gue ingin uang di dompet gue tetaplah aman, tapi di sisi lain ego gue mengatakan kalau gue harus menanggung biaya perbaikan itu. Kalau Erni sampai tau, dia pasti akan menginjak-injak gue.

"Mas, saya nggak mau hal ini akan menjadi beban untuk saya ke depannya. Utang tetaplah utang mas."

"Saya nggak pernah menganggap itu hutang."

"Mas─"

"Lebih baik kamu pakai uang itu untuk orangtua kamu," potong Lay yang membuat gue terdiam.

Dia... ngedenger semua obrolan gue sama Ibu?

"Ibu dan Ayah jauh lebih butuh uang itu di bandingkan saya Git," ucap Lay yang membuat gue mengembangkan senyuman getir.

"Saya tau uang segitu mungkin nggak berarti untuk Mas, tetapi itu hasil kerja keras saya Mas."

"Saya nggak bermaksud untuk merendahkan kamu Git..." ucap Lay dengan sedikit frustasi. Topik keuangan memang sejak dulu menjadi topik yang sensitif di antara kami.

"Karena saya tau uang itu hasil kerja keras kamu, makanya uang itu lebih baik di gunakan untuk Ayah dan Ibu, seperti yang kamu inginkan sejak dulu!"

Selama kami menikah Lay memang menjalankan kewajibannya untuk menafkahi gue secara lahir dan juga batin, tetapi uang penghasilan dari usaha konveksinya memang hanya cukup untuk keperluan kami berdua, tidak lebih.

Gue yang merasa sebagai tulang punggung keluarga pun tentunya memilih untuk bekerja agar uang hasil kerja gue bisa di pakai untuk mengirimi kedua orangtua gue. Mungkin tidak dalam jumlah yang banyak, tetapi itu setidaknya bisa membantu mereka.

Lay awalnya memang mendukung keputusan gue, tetapi semenjak kami kehilangan calon anak pertama kami akibat faktor kelelahan dan juga stress karena pekerjaan, Lay meminta gue untuk berhenti bekerja yang tentunya gue tentang. Hal itu juga yang menjadi faktor lain yang membuat kami berpisah.

Setelah bercerai Lay memang tidak menafkahi gue karena waktu itu hakim memutuskan jika Lay tidak wajib untuk menafkahi gue. Mungkin karena saat itu gue yang menggugat dan juga tidak ada kehadiran anak yang menjadi tanggungan, lagi pula saat itu Lay belum memiliki pekerjaan tetap seperti sekarang.

Menikah memang tidak hanya butuh cinta, di dalamnya terdapat banyak kerumitan yang bahkan sebelumnya tidak pernah gue pikirkan. Menyatukan dua prinsip dengan latar belakang keluarga yang berbeda ternyata cukup pelik, belum lagi pengaruh orang luar. Hal itu menimbulkan masa-masa yang sulit baik untuk gue maupun Lay.

"Dari dulu Mas selalu boros, bahkan untuk makan siang kayak gini aja Mas hampir ngabisin setengah juta sendiri! Uang itu seharusnya Mas bisa pakai untuk hal yang lebih bermanfaat. Misalnya untuk─" ucapan gue terhenti saat gue menyadari kalau gue tidak lagi berhak mengatur hidupnya seperti saat gue masih menjadi istrinya dulu, "maaf kalau saya lancang, seharusnya itu bukan ranah saya."

"Misalnya untuk?" tanya Lay sambil melihat ke arah bola mata gue langsung yang membuat gue menelan ludah gugup.

"Lupain Mas, nggak seharusnya saya ngomong kayak gitu," kilah gue sambil mengalihkan pandangan ke arah lain.

Seorang pelayan yang datang mengantarkan minuman menginterupsi percakapan kami. Suasana kembali hening sampai pelayan itu pergi dari meja kami.

"Misalnya untuk apa?" ulang Lay dengan nada sedikit menuntut.

"Untuk masa depan anak Mas, di bandingkan menghambur-hamburkan uang untuk hal yang nggak perlu masa depan anak mas jauh lebih penting!" ucap gue dengan sedikit emosi.

Perkataan gue seolah membuka luka lama, impian kami akan kehadiran anak yang dulu kami sangat nantikan harus pupus di saat kabar duka itu datang. Ia harus pergi di saat belum melihat dunia, di saat kandungan gue menginjak bulan ketiga.

Tidak hanya Lay yang terpukul saat itu, tentunya gue merasa jauh lebih terpukul. Bagian dari diri gue harus pergi, bahkan tanpa bisa gue lihat sebelumnya.

"Harusnya kamu tau, saya sudah menyiapkan itu bahkan sebelum saya kehilangan calon anak pertama saya," ucap Lay yang membuat gue seketika bungkam. Mendengar ucapan Lay membuat luka di dalam hati gue menganga begitu lebar.

[Sudah Terbit] Ombak di Palung HatiWhere stories live. Discover now