02. Double Trouble

53.2K 9.4K 802
                                    

Senyuman canggung. Hanya itu yang bisa gue berikan di saat mata kami berdua bertemu di dalam restaurant itu, dan respon Lay pun hanya tersenyum.

Azka Layendra atau yang akrab disapa Lay oleh orang-orang terdekatnya merupakan mantan suami gue yang telah bercerai dengan gue empat tahun yang lalu. Lay berasal dari kata Layendra. Saat kecil dulu Azka Layendra tidak bisa mengeja huruf 'z' secara benar, sehingga ia memilih untuk dipanggil dengan sebutan 'Lay'.

"Eh, anjir! Lo kok nggakbilang mantan laki lo se-hot itu sih?" pekik Tita heboh di samping gue, sementara gue hanya memasang wajah watados milik gue.

"Kayaknya di foto nggakgitu deh Git," celetuk Ima yang gue benarkan dalam hati.

"Ya di foto kan pas gue masih pacaran, dia masih cungkring, agak dekil juga," jawab gue sejujur mungkin.

"Eh gila, ini sih udah berisi, lumayan hot, dahinya itu loh bikin nggak nahan," kata Anes seperti seorang fangirl yang sedang mengagumi idolanya.

Ya, dahi yang dulu sering gue kecup di saat dia sedang merajuk. Cara itu cukup ampuh untuk mengubah mood-nya. Tentu saja di tambah kecupan-kecupan pada bagian lain setelahnya.

"Liat deh kayaknya anak divisi lain juga banyak yang minat," komentar Ima yang membuat gue melihat sekeliling. Dan benar saja, sebagian besar populasi perempuan yang berada di ruangan ini baik yang sudah menikah ataupun belum memandang Lay penuh minat.

"Kalau mereka tau itu mantan suami lo gimana ya Git?" tanya Tita penasaran.

"Nggak pada percaya paling, ya kalau enggak mereka bersyukur," jawab gue berpura-pura cuek, "lagian siapa tau dia udah punya istri lagi..." tambah gue dengan getir. Entah mengapa perasaan tidak menyenangkan hadir di dalam hati gue.

Anes, Ima dan Tita pun memandang ke arah gue dengan kompak setelah mendengar ucapan gue.

"Kok dari nada yang lo gunakan kayak nggak rela gitu sih Git kalau misalnya dia punya istri lagi?" tanya Anes yang membuat gue spontan mendelik.

"Masa lalu hanyalah masa lalu, Nes," kata gue dengan penuh keyakinan bermaksud untuk meyakinkan diri gue sendiri.

"Coba Ten duduk deket kita ya, pasti dia kaget tuh kalau mantan suami lo modelan kayak gitu," ucap Ima yang gue iyakan di dalam hati.

Selama ini Ten selalu meledek gue akan seperti apa rupa mantan suami gue sampai-sampai gue menolak dijodohkan dengan beberapa temannya yang memiliki penampilan di bawah standar.

Gue bukan tipe yang terlalu pemilih soal wajah, tetapi untuk penampilan tentu saja gue memilih orang yang terlihat rapih dan juga wangi. Setidaknya hal itu dapat meningkatkan kadar ketampanan seseorang. Kalau ganteng tapi urakan dan juga bau kan bikin risih juga.

"Eh iya Git, kalau dia beneran udah nikah lagi gimana?" tanya Anes tiba-tiba yang membuat kerongkongan gue terasa kering. Gue pun memilih untuk meminum teh tarik yang ada di depan gue untuk membasahi kerongkongan gue.

"Ya nggak gimana-gimana," jawab gue mencoba terlihat cuek.

Dalam perbincangan gue dan ketiga teman-teman gue, sesekali gue mencuri pandang ke arah mantan suami gue yang ternyata beberapa kali juga sedang melihat ke arah gue.

"Tapi di tangannya nggak ada cincin loh," kata Ima setelah memperhatikan Lay yang masih sibuk berbincang dengan Bos Sony.

"Waktu nikah sama gue juga ga pernah pakai cincin," timpal gue cuek.

"Jangan bilang itu yang bikin lo cerai?" tanya Ima curiga.

"Itu hanya salah satu faktor. Masih banyak faktor-faktor lainnya," jawab gue.

"Faktor ranjang juga?" tanya Anes yang membuat gue spontan mendelik.

"Itu bukan hal yang bisa di bahas di tempat umum kayak gini!" desis gue tajem.

"Tapi dari look nya sih kayaknya oke untuk urusan ranjang juga," timpal Tita yang spontan membuat gue melotot.

"Tita otak lo ya!"

"Adzkiya Sagita Ardiningrum, he's truly hot!"

***

Gue memilih untuk segera pulang sesaat setelah acara selesai. Gue malas mengurusi Bos Sony yang pasti akan memaksa untuk mengantarkan gue pulang meskipun dia tahu gue membawa mobil sendiri saat ini. Jadi sebelum semuanya sadar, gue lebih memilih untuk pergi duluan dari acara tersebut. Gue juga belum siap untuk berbasa-basi dengan mantan suami gue yang semakin .... ah sudahlah.

Di tengah perjalan gue merasakan sesuatu yang aneh terjadi dengan mobil gue, sehingga gue memilih untuk menepikannya. Mobil gue mati, dan saat gue men-starter ulang pun tidak mau menyala.

"Brengsek!" umpatan kasar dari mulut gue berjalan dengan sangat mulus tanpa bisa gue cegah. Setelah menyalakan lampu darurat gue pun memilih untuk membuka kap mesin.

Melihat deretan kabel dan juga alat-alat yang tidak gue mengerti membuat gue ingin menangis. Gue pun kembali ke dalam mobil untuk mencoba menghubungi teman-teman gue. Dan sialnya handphone yang sejak tadi gue pakai guna mengalihkan perhatian gue dari anak-anak divisi lain mati total karena kehabisan daya, hal itu membuat gue mengumpat untuk kesekian kalinya.

"Sialan!" umpat gue sambil menendang ban mobil. Tetapi yang ada kaki gue terasa sakit akibat tendangan yang cukup kencang tadi.

"Aduh sepatu mahal gue jadi lecet!" teriak gue frustasi.

Sudah jatuh, tertimpa tangga, dan kepala benjol ini namanya.

Gue melihat sekeliling dan tidak ada orang lain di jalan ini karena ini merupakan jalan alternatif lain untuk menuju rumah gue. Jalan ini memang lebih sepi dibandingkan dengan jalan arteri yang biasa gue lalui. Gue memilih jalan ini bermaksud untuk mempersingkat jarak dan waktu tempuh, tapi nyatanya gue dihadapkan dengan situasi tidak mengenakan seperti ini.

Gue memilih untuk masuk mobil dan menelungkupkan wajah gue ke setir. Gue berharap ada seseorang yang akan lewat dan membantu gue nanti, dan gue memilih untuk tetap berada di dalam mobil agar lebih aman. Setidaknya gue masih punya pertahanan terakhir kalau ada orang jahat.

Suara ketukan di kaca jendela mobil membuat lamunan gue akan apa hal yang harus gue lakukan jika ada orang jahat nanti buyar.

"Mobilnya kenapa?"

Di luar, ada mantan suami gue.

Gue tau dia bukan orang jahat, tetapi kenapa rasanyatidak lebih baik di bandingkan bertemu dengan orang jahat?

[Sudah Terbit] Ombak di Palung HatiWhere stories live. Discover now