14. Debt

41K 8.4K 1.1K
                                    

Lay mengantarkan gue dengan fisik yang selamat sampai rumah, dan ia pulang menggunakan taksi setelahnya. Meski fisik gue selamat, jangan di tanya bagaimana dengan keadaan hati gue karena organ itu sepertinya mengalami komplikasi serius. Gue bahkan tidak dapat mendefinisikan apa yang gue rasakan lagi setelah melihat kebersamaan Lay dan juga Erni.

Kepergian Lay dari rumah gue semalam membuat batin gue bertanya-tanya, apa memang gue merasa sakit hati hanya karena Lay lebih dulu menemukan pilihannya dibandingkan gue? Atau semua itu karena sosok dia sebenarnya masih bersemayam di sudut hati gue?

Mengingat tentang Erni entah mengapa membuat rasa kesal di hati gue kembali hadir. Sejak dulu Erni memang selalu mecoba menarik perhatian Lay yang tak jarang Lay abaikan. Tetapi Erni selalu mempunyai seribu alasan yang membuat sisi kemanusiaan Lay muncul, seperti mengaku kalau dirinya sedang sakit, kecelakaan di jalan, dirampok dan alasan-alasan lainnya yang tidak masuk akal bagi gue.

Lay adalah tipe orang yang tidak tegaan, hal itu juga yang membuat Erni selalu mengambil kesempatan di setiap moment yang ada. Entah dengan menumpang mobil kami untuk pulang dari kampus, ataupun di saat acara-acara luar kampus.

Tidak jarang gue marah ke Lay karena ulah Erni, tetapi lagi-lagi Lay selalu berkilah dengan kata kasihan yang dilayangkannya. Ya, Erni memang anak yang sudah tidak mempunyai Ayah yang memang harus dipedulikan dan diperlakukan dengan baik. Tetapi jika kelakuannya selalu seperti itu tentu saja gue merasa muak.

Semua itu berbanding terbalik dengan perlakuan dia ke gue. Di saat gue pergi dengan teman gue untuk mengerjakan tugas bersama, Lay dengan segala sisi keposesifannya melarang teman gue untuk menjemput gue, dan gue diharuskan pergi bersama dia dengan alasan kalau gue adalah istrinya, tanggung jawabnya.

Memang tidak ada yang salah dengan alasan Lay, alasan yang digunakannya adalah alasan mutlak. Tapi gue juga ingin dia mengerti bahwa apa yang dia rasakan sama seperti yang gue rasakan saat Erni dengan sejuta alasan miliknya meminta Lay untuk menemuinya.

Setiap gue mengungkit hal itu Lay pasti selalu beralasan jika ia selalu mengajak gue jika Erni menghubunginya, yang memang benar adanya. Tetapi meskipun Lay selalu meminta gue menemaninya rasa kesal dan muak itu tetaplah ada.

Hingga kekesalan gue terhadap Erni saat itu sudah memuncak, gue menolak untuk menemani Lay yang mendapat telepon dari Erni yang katanya sedang sakit dan berujung pada cekcoknya kami, dan perkataan Lay yang menyuruh gue untuk tidak kekanakan.

Siapa yang tidak marah di saat suaminya terus menerus dihubungi perempuan lain seolah-olah suaminya adalah pria lajang biasa yang tidak memiliki tanggung jawab? Hanya istri yang aneh yang seperti itu.

Dan di saat kemarin gue melihat sosok Erni bersama Lay, satu-satunya hal yang gue pikirkan adalah, dari banyak seluruh wanita yang baik dan juga cantik di dunia ini, kenapa harus Erni orangnya?

***

Gue sampai kantor dengan keadaan yang luar biasa suntuk. Ten yang sudah tau mengenai penyebab mood gue yang turun hari ini tidak banyak berkomentar. Berbanding terbalik dengan Anes, Tita dan Ima yang melihat gue dengan pandangan heran.

"Kenapa lo? Abis di rampok?" tanya Anes heran.

"Semacam itulah," jawab Ten yang membuat gue mendelik dan melemparkan gulungan tisu yang sebelumnya gue pakai untuk mencuci tangan.

"Sembarangan lo!" umpat gue dengan kesal.

"Kenapa sih Mbak Git?" tanya Ima dengan nada khas anak kecil miliknya.

"Abis nabrak gue," ucap gue yang membuat Tita berdecak sambil menggelengkan kepalanya.

"Kemaren sepatu, kemarennya lagi hp, sekarang mobil. Besok apa Git yang dirusakin?" sindir Tita yang membuat gue mengulum senyum miris.

"Hati! hati!" timpal Anes yang membuat gue menoyor kepalanya.

"Hatinya udah rusak sekalian sama mobilnya itu," timpal Ten yang membuat gue kembali mendelik. Sementara ketiga teman gue hanya memandang Ten dengan pandangan bertanya.

"Dia nabrak mobil mantan lakinya yang lagi sama cewek, semalem temennya yang numpang di tempat gue cerita."

"Sakiiiiit!" teriak Tita, Ima dan Anes kompak.

"Gila itu hancur lebur semua tuh pasti," lanjut Tita berkomentar.

"Berisik lo semua!"

"Sensi banget lo Git, abis berapa emang biayanya?" tanya Anes yang membuat gue terpaku.

"Anjir! Kayaknya semalem bukan gue yang bayar deh!"

***

Karena pertanyaan Anes, gue baru sadar bahwa gue belum membayar biaya perbaikan mobil. Kemarin Lay hanya bilang kalau biayanya akan di gabungkan kalau mobilnya juga sudah selesai diperbaiki. Tapi setahu gue bengkel langganan tempat kami membenarkan mobil itu tidak pernah menggabungkan dua nota mobil menjadi satu, dengan kata lain seharusnya semalam gue seharusnya bayar biaya kerusakan mobil gue.

Jadi disinilah gue sekarang, di depan gedung menjulang tinggi berlantai empat belas yang Ten bilang sebagai kantor Lay. Ya, Ten sampai mencari tau soal kantor Lay ini ke Pak Sony gara-gara gue yang merengek meminta tolong ke dia tadi.

Gue hanya ingin menyelesaikan urusan hutang-piutang gue, gue tidak mau hal ini akan menjadi bumerang untuk gue suatu hari nanti. Gue tau watak Erni seperti apa, jadi gue memilih jalan amannya saja.

Gue pun menuju resepsionis dan menelan ludah gugup. "Permisi mbak, saya ingin bertemu dengan Pak Azka Layendra."

"Apa sudah buat janji sebelumnya?" tanya resepsionis itu yang membuat gue menghela napas.

Mba ini perusahaan punya mertua saya dulu!

"Belum sih mba..."

"Baik, bisa tunggu sebentar bu. Saya akan menghubungi Pak Azka dulu," ucap Resepsionis itu.

Tidak banyak memang yang memanggil Lay dengan sebutan Lay. Rata-rata orang memanggilnya dengan sebutan Azka saat kami kuliah dan sekolah dulu. Bisa dibilang Lay adalah nama panggilan sayang gue untuknya, dan entah mengapa gue masih nyaman untuk menggunakannya sampai saat ini

"Sagita?" suara seseorang yang amat familiar membuat gue menolehkan kepala gue.

"Papah?" ucap gue dengan spontan.

"Selama siang Pak," sapa sang resepsionis begitu melihat sosok mantan mertua gue.

"Kamu ngapain di sini?" tanya mantan mertua gue dengan ramah, sudah lama sejak kami terakhir bertemu.

"Mau ketemu Lay pah, ada yang mau diomongin," jawab gue dengan sedikit kikuk.

"Oh, sebentar ya!" ucap papah sambil beranjak ke arah resepsionis, "Rina, bilangin ke Azka kalau saya tunggu di bawah," titah mantan Papah mertua gue.

"Maaf pak, tetapi Pak Azka nggakmenjawab panggilannya sejak tadi," timpal resepsionis itu.

"Gita?" Kini suara Lay yang terdengar dari belakang tubuh gue yang membuat gue berbalik arah. "Kamu kenapa kesini?"

"Saya... mau nyelesaiin urusan kemarin Mas..." ucap gue dengan kikuk karena ada mantan Papah mertua gue yang sedang berdiri di belakang gue.

Mengerti ke arah mana percakapan ini berlabuh, Lay langsung menggandeng tangan gue sambil berlalu pergi dari hadapan ayahnya. "Pah, kami makan siang dulu ya!" pamit Lay yang membuat seisi lobby kantornya melihat ke arah kami berdua.

"Itu bukannya perempuan yang fotonya ada di ruang Pak Azka ya?"

Percakapan diantara dua office boy yang kami lewati membuat dada gue sedikit berdesir.

Untuk apa Lay masih menyimpan foto gue jika dia sudah bersama dengan Erni?

[Sudah Terbit] Ombak di Palung HatiWo Geschichten leben. Entdecke jetzt