03. Still There

50.1K 9.3K 1K
                                    

Dengan berat hati gue pun membuka pintu mobil dan berhadapan langsung dengan mantan suami gue yang sudah empat tahun ini tidak pernah gue temui lagi.

"Mobilnya kenapa?" ulang dia.

"Mogok," jawab gue dengan sedikit kikuk.

Gue pernah mengalami hal ini sebelumnya di saat gue masih menikah dengannya. Bedanya saat itu gue yang menelepon dia, dan begitu gue membuka pintu mobil gue memeluk dia.

Lay kemudian beranjak ke kap mobil yang sebelumnya sudah gue tutup, dan membukanya, dia melihat isi di dalamnya sementara gue hanya memperhatikan dari belakang punggungnya.

Punggungnya yang sandar-able dan peluk-able itu terpampang nyata di depan gue yang membuat hati gue sedikit berdesir. Punggung itu adalah punggung yang dulu sering gue peluk, punggung itu juga yang dulu akan gue lihat ketika pagi hari begitu bangun tidur saat ia sedang marah.

"kabel di terminal minus aki kendur, dinamo ampere nya aus," ucapnya setelah melihat lihat isi di dalam kap mobil. Ia kemudian menepukkan kedua tangannya yang terlihat kotor, begitu kontras dengan kulitnya yang putih.

Gue pun masuk ke dalam mobil dan mengambil tisu basah yang selalu gue sediakan di dalam mobil dan memberikannya ke dia yang langsung ia terima tanpa banyak kata.

"Masih sering lupa untuk mengecek mobil ke bengkel secara rutin?" tanyanya yang membuat gue menganggukan kepala gue dengan pelan. Ternyata dia masih ingat dengan kebiasaan gue.

"Boleh pinjem handphone nya? Mau telepon bengkel," ucap gue yang membuat dia langsung mengeluarkan ponselnya dari dalam kantong celananya.

Dengan perasaan gugup gue pun memencet tombol ponselnya, dan ponselnya terkunci. "Password-nya?" tanya gue.

"Masih sama," ucapnya yang membuat gue menekan angka delapan empat kali pada tombol ponselnya. Wallpaper ponselnya yang dulu merupakan foto gue kini telah berubah menjadi wallpaper bawaan ponsel tersebut.

Handphonenya kan udah ganti bodoh! Dan lo masih mengharapkan dia masih nyimpen foto lo Git?!

Gue baru menekan angka nol di ponselnya sebelum gue menyadari kalau gue tidak tahu nomor bengkel yang bisa gue hubungi.

"Kenapa?" tanyanya yang membuat gue terpaku.

Gue hanya terdiam tatkala ia mengambil ponselnya di tangan gue dan menelepon entah siapa, sepertinya pihak bengkel.

"Mungkin setengah jam lagi mobil derek dari bengkel akan kesini," kata Lay setelah menyelesaikan panggilannya.

"Makasih," ucap gue dengan sedikit canggung yang di jawab anggukan singkat olehnya. Setelahnya kami terdiam dan suasana pun berubah menjadi lebih canggung lagi.

Haruskah gue memulai pembicaraan duluan?!

Gue harus manggil dia apa? Mas seperti saat kami menikah dulu? Sayang saat waktu kami masih pacaran? atau Azka saat seperti kami belum pacaran?

"Mas boleh pulang, saya akan nunggu orang bengkelnya," ucap gue pada akhirnya.

Hal yang selanjutnya terjadi adalah Lay masuk ke dalam mobil gue yang membuat gue cukup terkejut. Kalau begitu sepertinya tanda ia akan menunggu sampai orang bengkel datang. Gue pun akhirnya memilih untuk kembali masuk ke dalam mobil karena kaki gue sudah cukup pegal saat ini.

Hanya setengah jam, gue harus bertahan dengan kondisi ini.

Menit demi menit berlalu, dan kami masih di selimuti keheningan. Sebetulnya banyak pertanyaan yang berkumpul di otak gue. Empat tahun sudah berlalu, tentunya banyak hal yang ingin gue ketahui seperti ke mana saja ia selama ini? Kenapa ia seolah menghilang ditelan bumi setelah sidang putusan perceraian kami dibacakan? Apakah ia sudah memiliki keluarga baru? tapi entah mengapa gue tidak bisa mengutarakannya saat ini, lidah gue masih terlalu kelu karena pertemuan secara tiba-tiba ini. Jadi gue lebih memilih untuk diam.

"Sudah berapa lama kerja sama Pak Sony?" Suara milik Lay memecah keheningan di antara kami.

"Ini masuk tahun ketiga," jawab gue.

"Sudah lama juga ya?"

"Ya, begitulah...,"

Setelahnya keheningan kembali menyelimuti. Gue hanya bisa mendengar deru napas kami.

"Mas gimana selama ini? Saya nggak pernah denger kabar Mas lagi sejak sidang terakhir."

"Saya pindah ke Ausie, melanjutkan kuliah sekalian freelance di sana."

Keheningan. Lagi-lagi itulah yang terjadi di antara kami. Pertemuan ini terasa begitu canggung.

"Papah mamah apa kabar, Mas?"

"Baik. Ayah Ibu sendiri kabarnya gimana?"

"Baik-baik aja kok Mas."

Kami kembali terdiam setelah basa basi yang tidak penting ini. Rasanya gue lebih baik terjebak bersama Reyhan dan Ten yang absurd selama berjam-jam di bandingkan dengan mantan suami gue yang kini benar-benar berubah. Dia jauh lebih terlihat dewasa, bahkan dari tutur katanya pun sudah terlihat berbeda.

"Mas?"

"Hm?" Gumaman khas miliknya akhirnya gue dengar kembali.

"Sebaiknya Mas pulang, saya di sini baik-baik aja. Toh, orang bengkel sudah mau datang. Saya nggakmau menimbulkan salah paham sama pasangan Mas."

"Ini sudah malam, lagian cuma sebentar," jawabnya dengan tenang.

Sebetulnya gue mengangkat topik itu untuk mengetahui statusnya saat ini, tetapi sepertinya pancingan gue tidak berhasil.

"Mobil itu sama seperti manusia, butuh di urus dan diperhatikan juga. Ini bukan yang pertama bukan? Seharusnya kamu mengambil pelajaran dari kejadian dulu."

"Mobil itu urusan laki-laki," ucap gue dengan spontan.

"Memang yang memakai mobil hanya laki-laki?" tanyanya yang membuat gue bungkam. Perdebatan kecil yang menjadi awal keretakan hubungan rumah tangga kami timbul kembali.

"Mungkin memang mobil lebih banyak di urus oleh laki-laki ketimbang perempuan, tetapi kamu seharusnya bisa lebih bijak untuk lebih mempedulikan kendaraan yang kamu pakai sehari-hari dengan mengeceknya secara rutin."

Dia selalu mementingkan kendaraan yang di gunakannya karena menurut dia kendaraan yang di pakai sehari-hari tidak berbeda dengan kakinya sendiri. Dulu dia yang akan selalu membawa mobil gue ke bengkel dan mengeceknya secara rutin semenjak kejadian mogok waktu itu.

Setelah gue berpisah dari dia, tentunya gue jarang terpikirkan akan hal itu. Yang penting mobilnya bisa jalan adalah hal yang paling utama selain membawanya untuk di steam secara rutin. Untung urusan onderdil dan lain-lain gue benar-benar buta. Hanya Ayah atau kakak sepupu gue yang mengeceknya sesekali. Itu pun saat gue pulang ke kampung halaman di Purwokerto. Gue memang jarang memperhatikan kendaraan gue.

"Lain kali akan saya lakukan Mas," ucap gue pada akhirnya untuk menghindari perdebatan lebih lanjut.

Gue memilih untuk menyandarkan tubuh gue ke jok dan memejamkan mata gue. Gesture yang gue gunakan setiap kali memilih untuk mengakhiri debat. Terlalu banyak perbedaan kecil di antara kami untuk memandang suatu hal yang berujung pada cekcok. Itu salah satu faktor yang membuat gue memilih untuk berpisah, meski sejujurnya rasa itu tetap ada.

[Sudah Terbit] Ombak di Palung HatiWhere stories live. Discover now