Zea

4.1K 165 91
                                    

Crokk…

“Hahh…. !! Apa yang kamu lakukan … kenapa kamu memotong tanganku ? , darahnya terus keluar!! Bagaimana ini ? …Arrgghhh …. Sakit!!” pekikku kesakitan dan panik saat Akira sahabatku riba-tiba menebas tangan kiri ku dengan pedang milik ayahnya yang ada diatas meja.

“Ada apa denganmu Ra, kenapa kau lakukan ini ?” tanyaku memelas.
Akira hanya diam, dan tiba-tiba dia mendorongku.

brukkk…….
Aku mendapati tubuhku terjatuh dari ranjang, ku perhatikan sekitarku, ternyata tak ada Akira dalam pandangan, yang ada hanya cahaya menyilaukan dari sela-sela kelambu jendela kaca kamarku.

“ah… Cuma mimpi rupanya” aku mendesah dengan melepas segala ketegangan yang baru saja aku rasakan.

“Zea.. bangun sayang… ayo sarapan” ajak mamaku yang begitu perhatian.

“Iya ma, sebentar” jawabku.
Ya, itulah namaku, Zea, lengkapnya Zea Liviana. Aku anak semata wayang, karena orangtuaku sibuk, aku sering di rumah sendirian.

Mengundang sahabat-sahbatku ke rumah sudah menjadi hal yang sangat biasa, karena aku juga nggak boleh sering-sering keluar rumah. Alasanya sihh, karena aku cewek katanya.

Sahabatku ada dua, yang pertama Akira Yamada, dia berasal dari negeri Sakura, Jepang. Menurut rumor yang beredar, ayah Akira (pak Yamada) adalah anggota dari Yakuza, geng mafia sadis yang terkenal di Jepang. Ibu Akira, sudah meninggal. Menurut rumor yang beredar juga, Ibunya meninggal ditangan pak Yamada sendiri saat masih berada di Jepang. Akira pernah cerita bahwa ia biasa di bentak dan di pukul oleh Pak Yamada. Kasihan dia, mungkin karena itu aku sering mimpiin dia.

Shabatku yang kedua namanya Nasya Alfiana, dia sangat sederhana, keluarganya juga bukan keluarga mampu seprti keluarga Akira, tapi dia selalu memimimpikan jadi orang kaya. Seringkali keluh kesahnya membuatku muak.

Hari ini hari Minggu, aku mengundang mereka untuk bermain dan makan siang di rumahku, mungkin setelah sarapan nanti mereka sudah standby di sini.

“Hemhh… pagi-pagi gini udah mendung aja” gerutu mama yang sedang bersiap-siap pergi meeting dengan client bersama papa.

“Ya udah ma, kalo gitu ayo kita berangkat, nanti keburu hujan,” ajak papa lembut.

“Iya pa, ya sudah sayang, mama berangakat dulu ya, baik-baik dirumah” pamit mama padaku.

“Iya ma, hati-hati di jalan ya?” tanggapku.

“Iya” jawab mama santai.

“daa.. sayang” imbuh papa.

“daa..” jawabku dengan tersenyum.

Tak berselang lama setelah mama dan papa berangakat, terdengar suara kilat bersambaran, langit pagi pun menjadi gelap muram disertai hembusan angin kencang, membuat suasana berubah seram.

“Yah…. kayaknya mau hujan deras dehh, mungkin mereka nggak jadi dateng” Kataku diliputi kekecewaan.

Benar saja, hujan mengguyur begitu deras, hembusan angin kencang seakan memaksa jendela-jendela dirumahku terbuka.

-------

Aku begitu takut, sudah satu jam hujan mengguyur tak kunjung reda. Aku yang sedari tadi berada di ruang tamu mulai merasa bosan. Di sofa ruang tamu aku tiduran sambil membolak-balikan tabloid edisi terbaru.

“Huahh… aku kok ngantuk ya ? hemmhhh…” aku pun tertidur.

Tok… tok… tok.. tok… tok… tok.. brok… brok.. brok. ...
suara keras gedoran pintu membangunkan tidurku yang entah sidah berapa lama.

“Siapa sihh! masak ujan ujan gini ada tamu ?” gerutuku kesal.

Dar… dar..
suara sambaran petir membuat aku yang masih ngantuk benar-benar tejaga, suasana pun jadi mencekam. Aku membuka pintu dan ternyata…..

Diary Merah (END)Where stories live. Discover now