3

3.1K 99 2
                                    

Sehun tidur di sebelah diriku sambil memelukku. Aku menyukai pelukan hangatnya, aku menyukai dirinya yang sedang tenang saat tidur. Wajahnya yang sangat polos, sepeprti anak kecil. Aku ingin mencium dirinya, tapi apa daya diriku. Sesosok dalam batinku merubah wajahnya menjadi cemberut, hingga ia mengembungkan pipinya, dan ada semburat merah yang terlihat jelas di sana. Aku tersenyum seperti orang gila menatap wajahnya.

Aku sibuk terus menatapi wajahnya yang halus nan terlihat sangat polos, Sehun berubah menjadi seorang yang sangat polos, jika ia sedang tertidur. Aku ingin menertawai dirinya. Mataku menjalar melihat seluruh diri Sehun, warna rambutnya yang pirang. Ia mewarnainya. Matanya yang biasanya menatap tajam kini menyiratkan kedamaian, ia terlelap dengan mudahnya. Lalu ke hidungnya yang terlihat tajam, aku menyentuhnya. Lalu aku membawa sentuhan itu ke bibirnya yang tipis. Ia pernah menciumku dengan ini, aku terlihat seperti pengamat yang sedang melihat benda amatannya. Ia pernah membuatku gila karena bibirnya, yang membuat diriku menjadi kecanduan akan sentuhannya. Sehun yang terlelap dengan dalam, hingga aku yakin ia tak akan sadar, jika aku menyentuh dirinya seenaknya.

Aku terlelap setelah menatapi Sehun, ia mungkin adalah pengantar tidurku setiap malam.
.

.

.

Pagi menjelang, aku menyiapkan diriku untuk pergi ke kampus. Fakultas Sastra Inggris, itulah jurusan yang kupilih. Aku suka dengan bentuk kata – kata. Susunan kalimat yang bisa membuat orang mendengus sebal, jika mereka diminta untuk membaca artikel yang sangat panjang.

Aku melihat Sehun yang sedang sibuk dengan isi laptopnya. Ia mungkin harus menyelesaikan tugasnya. "Sehun, kau tidak kuliah sekarang?"

"Hm." Ia hanya bergumam menjawabku. Apa yang membuat dirinya menjadi sangat sibuk, hingga melupakan aku.

"Jongin, ayo berangkat." Sehun menyalakan motornya, tanpa membawa laptopnya.

"Lalu, laptopmu bagaimana?"

"Aku malas membawanya."

Sehun, seorang yang tidak pernah ingin dipersulit oleh dirinya ataupun orang lain. Kadang ia juga senang dengan sesuatu yang instan. "Kau sedang buat apa dengan laptopmu, tadi."

"Bukan urusanmu."

"Cepat naik, Jongin." Aku mendengus kesal, aku hanya ingin bertanya. Sesosok dalam batinku mendengus kesal, lalu menjambak rambut bonekanya yang ada di tempat tidurnya. Terlihat sangat girly, bukan?

Aku harus merasakan dinginnya angin pagi, karena Sehun yang membawa motornya dengan kecepatan maksimum. Dia mungkin sedikit gila, tapi aku menyukai cara ia menyingkapi itu. Aku memeluk dirinya yang hangat, kami sering melakukan itu, dan ia tidak pernah marah karena itu.

Jalanan New York City terlihat lengah di pagi hari, aku menyukai itu. Karena aku bisa melihat matahari terbit di ujung jalan yang tertutupi oleh gedung – gedung menjulang ke langit. Aku bisa merasakan hangat panas matahari pagi di New York, kota paling penat di seluruh Amerika. Langit yang dominan biru, dengan sebuah titik berwarna oranye, menandakan bahwa matahari akan terbit. Aku tersenyum dalam dekapan punggung Oh Sehun. "Aku tau kau menyukainya, Kai."

"Jangan memanggilku dengan nama itu."

"Terserah pada apa yang kulakukan, Jongin." Aku bisa mendengar kekehannya yang mungkin sekarang ia sedang tersenyum.

Wajah Sehun yang tersenyum simpul itu adalah sesuatu anugrah yang sangat bermakna. Sehun adalah manusia yang sangat jarang tersenyum, mungkin ia tidak tersenyum. Aku memikirkan tatapan tajamnya dengan siratan wajah yang sangat dingin, memberinya aura yang sangat kelam.

Kami sesampainya di NYU lalu aku berpisah dengan Sehun, aku hanya ingin menjaga kontak dengannya. Jika selalu aku dekat dengannya, mungkin orang akan curiga. Dan juga membuat diriku bimbang antara aku ingin menjaga kontak dengannya atau ingin selalu dekat dengannya. Sehun menjadi canduku jika ia dekat denganku. Meski kami meminta menjaga jarak tapi ada suatu dalam diri yang tidak bisa jauh oleh satu sama lain.

Friends with benefitWhere stories live. Discover now