10. ᴅᴇᴇᴘ ɪɴ ʜɪꜱ ʜᴇᴀʀᴛꜱ

Start from the beginning
                                    

Merendahkan tubuh dan membawa benda lucu tersebut dalam genggaman, Jimin bisa mengamati bagaimana bulir-bulir salju buatan itu menghujam tubuh mungil Santa di dalamnya. Terlalu asik dengan dunianya, si Park itu tanpa sadar menulikan telinga hingga sensor pintu yang baru saja berbunyi tak dapat ia dengar.

"Kukira kau sudah tidur."

Satu vokal serak melecut di udara. Jimin tersadar dan lekas berbalik, mengalihkan atensi pada figur Anha yang tengah melepas alas kaki dan menaruhnya di rak. Wanita itu terlihat sedikit lesu dengan pandangannya yang kuyu. Pun kedua kaki jenjangnya harus diseret paksa terlebih dahulu agar mampu beranjak dari sana—menghampiri Jimin.

"Jim?"

Si pemilik nama lekas mengerjap. Beberapa detik yang lalu kesadarannya seperti disedot oleh vacum cleaner raksasa tatkala menatap visual Anha yang tidak main-main. Kendati wajahnya lesu dan sedikit berminyak, Jimin harus mengatakan bahwa wanita itu amatlah cantik—memesona. Membasahi bibirnya canggung, Jimin menyahut, "Kupikir aku harus menunggu terlebih dulu."

Mengangguk samar sebanyak dua kali, Anha lekas melepas jas putih yang membalut tubuhnya seharian, menyampirkan di salah satu kursi dan netranya secara tak sengaja melihat sesuatu yang tengah Jimin sembunyikan di balik punggung. "Apa itu?" tanya Anha dengan iris menyipit.

Jimin gelagapan bak pencuri yang baru saja tertangkap basah tengah mencuri satu kilogram emas. Melangkah mundur secara perlahan agar tidak terlalu ketara, si Park itu tahu-tahu saja sudah merapat dengan dinding. "B-bukan apa-apa, kok."

Wanita itu menghela napas pendek, membiarkan pening merambat perlahan. Ia menelengkan kepala dengan lengan yang terlipat di atas dada. "Jimin," Anha menegur. "Sekarang kau berada di bawah pengawasanku. Aku bertanggung jawab atas apa yang akan kau lakukan nantinya. Jadi tolong, jangan memersulitku."

Jimin menundukkan kepala, membiarkan matanya terfokus pada pias lampu termaram yang terpantul di atas keramik. Anha benar. Jimin memang sudah terlepas dari pengawasan pihak rumah sakit, tapi tidak dari pengawasan wanita Jung ini. Lantas, Jimin tidak bisa berbuat apa-apa selain pasrah melihatkan sesuatu yang tadi sempat ia sembunyikan.

"Dari mana kau mendapatkan benda itu?" Jimin melirik ke arah nakas yang rupanya bergeser sedikit dari posisi semula sebagai jawaban. Ada beberapa ikat rambut yang masih berhamburan karena ia tidak sempat mengembalikannya. Anha mengusap wajahnya frustasi. Hari ini benar-benar buruk. Jadi, mendecakkan lidah dengan satu embus kasar yang lolos dari ceruk bibirnya, Anha melanjutkan sembari berlalu dari sana, "Tolong buang snowglobe itu jauh-jauh, dan jangan lupa untuk membereskan kekacauan yang kau perbuat. Kalau kau bersedia, silahkan benahi juga dapurku yang berantakan. Aku lelah sekali, ingin lekas beristirahat."

Jimin hanya bisa terdiam sembari menatap sendu kala wanita itu berjalan menuju kamar di sayap barat ruangan ini. Pintu bercat cokelat dengan alat penangkal mimpi buruk yang tergantung itu menelan tubuh Anha dalam hitungan detik.

Si Park itu agaknya masih belum bisa memahami apakah para wanita akan bersikap demikian setelah melalui hari yang berat?

Masih terpaku di posisi semula, Jimin kembali melirik snowglobe yang ada di tangannya, memutar perlahan dengan iris yang tak pernah lepas pada santa berbalut mantel merah di dalam kukungan kaca tersebut. Ada sedikit retak di bagian belakang, mungkin ini akibat terhempas tadi. Well, Jimin rasanya tidak tega untuk membuang snowglobe semanis ini. Jadi, ia berencana untuk menyimpannya secara diam-diam.

Menempatkan bokong sekal di atas kursi dengan penghangat ruangan yang berderik, Jimin mendadak melunturkan senyuman di wajahnya. Sekarang ia sudah mengetahui alasan dibalik Anha yang menyuruhnya untuk membuang benda ini.

Enigma, The Shadow [Re-write] | ✔Where stories live. Discover now