1

47.3K 2.5K 264
                                    

Sebagaian sudah dihapus dan tersedia di googleplay.  Jangan lupa kasih bintang dan ulasan ya 😘. Makasih

Moga suka ya

🌷🌷🌷

Sinar mentari menyelusup masuk melalui celah kisi-kisi jendela, langit biru berpadu putih membentuk riak-riak awan membingkai pagi cerah. Seperti itulah harapan Arumi untuk hidupnya yang selama ini muram, gelap, dan kosong tanpa dia di dalamnya. Menjalani hari-harinya tanpa dirinya dan tidak terasa sudah satu setengah tahun berlalu, namun sulit baginya menghapus sosok Ibra dalam hatinya. Berkali-kali ia berusaha menyingkirkan bayangnya, namun nama Ibra masih menguasai hati dan pikirannya. Pria itu terlalu lama mengisi hari-harinya, terlalu lama mengukir kenangan indah untuknya.

Dirinya seperti kehilangan arah ketika dengan berat hati harus memutuskan hubungannya dengan Ibra dan meminta kekasihnya itu menikahi sepupunya karena kesalahan yang mereka perbuat. Impiannya untuk bersama harus pupus di tengah jalan. Kini, rasa enggan menyelimuti hatinya untuk memulai menjalin hubungan baru dengan pria. Lebih baik ia sendiri, dengan begitu dirinya tidak perlu merasakan kecewa untuk kedua kalinya.

tok! tok!

"Rum, bangun! Sudah siang  nanti telat lagi,” teriak Nisa dari luar kamarnya. Bibinya itu sekarang menjadi ibu tiri Arumi, setelah tiga bulan lalu ayahnya menikahi Nisa.

"Iya Bulek, sudah bangun kok," jawabnya. Arumi masih belum terbiasa memanggil Nisa dengan sebutan ibu.

"Ya sudah cepat turun, sarapan sudah siap," pesan Nisa kemudian berlalu pergi meninggalkan kamar Arumi.

"Ya!"  teriaknya. Arumi mengambil messenger bag kemudian memakai flatshoes. Arumi tidak terlalu suka memakai higheels, itu membuatnya sedikit kesulitan jika berjalan dan cukup membuat kakinya sakit.

Arumi turun menuju ke dapur yang merangkap ruang makan kemudian menaruh tas di kursi sebelahnya, "pagi, Ayah, Bulek," sapanya dengan mencium pipi kanan kiri ayahnya dan Nisa lalu kembali ke kursinya.

"Pagi. Gimana kemarin sama, Ferdi?" tanya Sadewo, menyesap kopi yang disediakan Nisa.

Huh! Kenapa pagi-pagi sudah bahas dia sih.

"Nggak gimana-gimana, Ayah,” jawabnya biasa saja. Tangannya menyuapkan nasi goreng ke mulutnya.

"Kok gitu?" Sadewo melihat putrinya dengan kerutan di dahinya, sedangkan yang ditatap biasa saja.

"Ya, emang gitu. Memang maunya Ayah, gimana?" Arumi mendesah pelan. Ia tahu maksud dari ayahnya yang memperkenalkan dirinya dengan anak temannya.

"Ya kalau Ayah maunya kamu nikah, kalau memang belum siap pacar atau tunangan dulu."

"Baru kenal kok langsung pacaran, Yah. Arum itu masih seneng sendiri, puas-puasin main, Ayah," jawab dia.

"Sudah Mas, jangan dipaksa nanti pasti ada waktunya,” sahut Nisa. Sebagai wanita dia bisa mengerti bagaimana perasaan Arumi, karena itu dia tidak setuju dengan rencana Sadewo yang ingin menjodohkan Arumi dengan anak kenalannya. Nisa bukannya tidak setuju, hanya saja cinta tidak bisa diatur apalagi dipaksa.

"Tapi kapan? Ini sudah satu tahun setengah, Nis. Umurnya juga sudah banyak," bantah Sadewo lagi.

“Ya tapi jangan dipaksa begitu, Mas.”
Kalau sudah begini, pembicaraan ini bisa membuat mereka beradu mulut. Lebih baik Arumi berangkat kerja saja.

"Nanti Arum pikirkan, Ayah." Arumi meminum susunya dan berdiri menyambar tas dan kunci motornya. "Arum berangkat dulu," pamitnya mencium tangan kedua orangtuanya.

JODOH ARUMI (SUDAH TERBIT) REPOST Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang