T U J U H B E L A S

7.4K 535 44
                                    

Datang di acara wisudaku ya! Hari ini pukul 7 di  cerita Sandarandika ;) tertanda —Sandara Anggraini Laksana, S. Si.—

---

Hari ini adalah hari yang indah bagiku. Pasalnya hari ini adalah hari wisudaku untuk pertama kalinya. Aku benar-benar bangga saat aku bisa berpidato singkat di atas podium. Tampak dari kejauhan, Ayah dan Bunda menangis bahagia. Aku hanya bisa memandangnya dengan sedikit menitikkan air mata.

Aku berjalan menaiki panggung untuk mengalungkan medali wisuda berwarna kuning, tali topi togaku telah dipindahkan pertanda aku sudah resmi menjadi wisuda. Aku pun langsung berdiri di podium, menyampaikan rasa terima kasihku kepada Tuhan, orang tua, teman-teman, dan tentu saja Dika –walaupun ia tak hadir di acara wisudaku ini. Aku bisa merasakan titik puncak kebahagiaanku di sini. Benar-benar diluar dugaanku, bisa lulus cepat dan bisa mencari pekerjaan lebih awal.

Setelah aku turun dari podium, aku berlari ke arah mereka. Aku memeluk Ayah dan Bunda dengan air mata yang sudah tidak terbendung lagi. Aku benar-benar bangga bisa membuat kedua orang tuaku menangis berkat keberhasilanku.

“Dara, ini awal masa depan kamu. Jangan patah semangat ya.” Wanti-wanti Bunda kepadaku setelah kami bertiga saling melepas pelukannya.

“Siap, Bun, siap!” kataku parau menahan tangis.

“Kamu ketularan Dika ya bilang ‘siap, siap’?” celetuk Ayah membuatku terkikik geli. Seperti itu lah keadaannya, Dika selalu mengatakan ‘siap, siap’ kepada siapapun. Ketularan sih ya wajar.

“Daraaa! Selamat ya! Ya ampun, udah mau ninggalin Kampus aja nih. Tunggu gue tahun depan bakal skripsi kayak lo.” Peluk Anin dari samping kananku. Ia mengenakan batik yang kainnya sama persis dengan milik Danu –mereka selalu membeli barang bersifat couple.

“Ra, tega banget lo sama gue,” gerutu Danu pagi ini, “Siapa yang nantinya bakal nyontekin gua? Tega bener lo, Ra. Parah lo.”

“Yah, udah waktunya lah, Dan, gue lulus. Gue pengen cepet cari kerja, pengen pegang duit sendiri.” kataku.

“Dika nggak ke sini?” tanya Anin kepadaku. Ku jawab dengan gelengan cepat.

“Dia nggak dateng, soalnya dia ada pelayaran lagi sama instansi lain. Apalagi kita nggak bisa saling kontak gara-gara hapenya ilang pas pesiar.” Ujarku lirih. Berusaha untuk menahan rasa rinduku saat aku tidak saling berkomunikasi dengan Dika.

“Lah, terus kalo mau kirim kabar gimana?” tanya Danu sigap.

“Dia kirim surat ke gue.”

“A-en-je-a-ye,” ejanya, “Kayak Galih dan Ratna aja lo masih surat-suratan. Hahaha.”

“Selamat ya, sayang. Aku bangga sama kamu.”

Aku terdiam saat seseorang memelukku dari belakang. Anin, Danu, dan kedua orang tuaku tersenyum-senyum. Jantungku berdetak lebih kencang, tanganku bergemetaran. Euforianya benar-benar merinding disko. Aku langsung melepaskan pelukannya dan langsung memeluknya. Kami berdua pun saling berpelukan. Aku yakin dia bakal datang.

“Gue tungguin juga, Rin.” Kataku setelah melepas pelukan kami.

“Wah, gue habis ketemu dosen dulu. Mau skripsi gini amat ya cobaannya.”

“Namanya juga orang skripsi, Rin. Dibikin enjoy aja kali.”

“Oh, ya,” seakan-akan Arin teringat sesuatu, “Ini kiriman dari Surabaya. Belom gue buka pas dateng di rumah gue.” lanjutnya sambil menyodorkan sebuah kotak kardus berbungkus kertas warna cokelat.

“Dari siapa?”

“Pake nanya lagi,” cibir Arin, “Baca tuh nama pengirimnya.”

Aku tertawa kecil saat membaca namanya –Randika Kusuma Hermawan. Aku mencoba untuk membuka perlahan hadiah tersebut. Senyumanku mulai terpatri konstan saat melihat isi bingkisan itu. Sebuah boneka teddy bear berwarna cokelat berukuran sedang mengenakan baju toga berwarna hitam dan terselempang sebuah kain biru bertuliskan ‘Sandara Anggraini Laksana, S. Si.’ Membuatku benar-benar tergelitik dengan setiap tingkahnya. Ia memberikan sesuatu yang pas untukku.

Aku melihat dalam kardus itu lagi, terdapat sebuah selempang berukuran besar berwarna biru. Tampak ada namaku dan gelarku yang menghiasi selempang itu. Ayahku dengan sigap memakaikanku selempang itu kepadaku. Aku hanya bisa senyum-senyum sendiri saat ayah memakaikanku selempang itu sembari berkata, “Biar Ayah yang ngewakilin Dika buat nyelempangin ini ke kamu.”

Aku tersenyum sambil menatap wajah ayah dengan mata yang berkaca-kaca, untungnya Bunda langsung sigap menyiapkanku tisu agar make up-ku tidak luntur terkena air mataku.

“Ini, jatuh dari kotak boneka.” Kata Bunda sambil memungut kertas berwarna biru dan disodorkan kepadaku. Dengan sangat hati-hati aku membuka surat itu.

Untuk Sandara Anggraini Laksana, S. Si.

Selamat atas wisudanya, sayang! Sekarang perjuanganmu di bangku kuliah sudah usai, tergantung sih kalau kamu mau lanjutin ke S2 atau S3, hehehe. Sekarang tinggal aku yang harus berjuang mendapatkan gelar S. Tr. Han di Akademiku.

Gimana? Kamu suka bonekanya kan? Aku berharap kamu suka meskipun kecil begitu, hehehe. Boneka itu mewakili aku untuk hadir di wisudamu. Agar aku bisa merasakan indahnya kebahagiaanmu saat wisuda menerima gelar sarjana. Seandainya boneka itu bisa bicara dan bersaksi di depanmu, ia akan menceritakan semua apa yang aku rasakan sekarang karena dilanda rindu. Hanya gemerlap bintang yang setiap malam membuatku teringat dengan kerlingan dan kedipan matamu yang indah. Kerlingan bintang bak kerlingan matamu adalah motivasiku untuk menggapai cita-citaku saat aku jauh dan tidak saling berkomunikasi denganmu.

Ngomong-ngomong nggak nyangka ya kamu udah gede banget sekarang. Dulu masih imut-imutnya, masih manja-manjanya, masih suka cubit-cubitin aku –tapi sekarang udah nggak bisa :p Sekarang kamu jadi wanita yang mandiri, cerdas, dan sabar. Maaf kalau aku masih belum bisa buat kamu bahagia, belum bisa jadi apa yang kamu inginkan, tapi aku bakal berjuang sebisaku buat kamu bahagia dan jadi apa yang kamu inginkan. Aku nggak muluk-muluk minta kamu untuk berbuat romantis sama aku, tapi aku minta kamu sayang sama aku. Terima kasih atas kasih sayangmu, menyempatkan datang jauh-jauh dari Jakarta ke Surabaya untuk menemuiku, semua motivasimu, dan semua kebaikanmu yang belum pernah terbalaskan dariku. Sekali lagi selamat wisudanya!

Salam rindu dari lubuk hatiku paling dalam, Sermatutar (P) Randika Kusuma Hermawan.”

“Ehm,” tegur Anin sambil menyenggol lenganku, “Romantis banget sih, Dik!”

Aku hanya tersenyum memandang Anin dan Danu secara bergantian. Lalu, pandanganku beralih ke kedua orang tuaku, mereka memberiku pengharapan besar untuk masa depanku. Aku berusaha meyakinkan diriku untuk bisa membahagiakan mereka.

“Dika bener-bener sayang sama lo,” celetuk Arin, “Dia berusaha memberikan kejutan kecil-kecilan buat wisuda lo.”

“Ah, dia mah emang gitu, penuh kejutan. Udah berapa kali aku dibikin kaget sama dia? Udah sampe nggak bisa dihitung pake rumus aritmetika, logaritma, apalagi statistika.”

“Bisa nggak sih, lo nggak ingetin itu ‘makanan’? Bikin gue gumoh pas dengerinnya.” Gerutu Anin yang mungkin sekarang dilanda stres karena tugas-tugas yang menumpuk, sampe pusing gue mau ngerjain yang mana dulu.”

Aku tertawa.

“Selamat atas wisuda lo, semoga lo dapat pekerjaan yang lebih baik. Gue, Anin, sama Arin bakal nyusul lo. Jangan lupa jas kuning kita, kedekatan kita, kesungguh-sungguhan kita, guyonan kita. Semoga ini menjadi awal yang baik untuk lo.” Danu menepuk pundakku sambil tersenyum.

“Dan semoga lo langgeng sama Dika. Kita bertiga selalu dukung lo, apapun yang terjadi. Lo cewek tangguh, jangan lo tangisin Dika lagi. Dika pendidikan untuk masa depannya, Dika pendidikan untuk membanggakan orang tuanya. Lo udah dewasa, jadi jangan tangisin Dika lagi, oke?”

Aku tersenyum sambil menganggukkan kepalaku.
Sekarang aku sudah dewasa, bukan saatnya untuk selalu menghadirkan air mata untuk meratapi kesedihan, tetapi saatnya menghadirkan air mata untuk secercah kebahagiaan.

***

Bagaimana acara wisudanya gengs?😂😂

SANDARANDIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang