LIMA PULUH EMPAT : Jalan-jalan

Mulai dari awal
                                    

Aldrich tersenyum ketika menyadari Yura sudah turun, ia menghampirinya dan memeluk pinggang perempuan itu posesif. Mencium pipinya dengan mata yang berbinar-binar. "Ayo jalan-jalan."

Yura mengembuskan napas pelan. "Sesenang itukah hanya untuk berjalan-jalan? Kau seperti anak kecil."

"Karena ini memang mengingatkanku saat aku masih kecil, dulu sekali sering berjalan-jalan dengan ibuku setiap akhir pekan. Begitu menyenangkan," balas Aldrich lirih.

"Kalau begitu ayo."

Yura berjalan terlebih dahulu keluar dari rumah, setelah Aldrich keluar dan menunggu di depan gerbang rumahnya, Yura mengunci pintu dan memasukan kuncinya ke dalam tas kecil yang akan dibawanya.

"Ayo," ucap Aldrich antusias sembari menggenggam tangan Yura.

Mereka berjalan menuju jalan besar, menyusuri trotoar yang tidak terlalu padat oleh pejalan kaki.

"Kau mau aku ajak ke mana?"

"Ke mana saja, asal bersamamu." Aldrich mengangkat genggaman tangannya dan mencium tangan Yura, membuat perempuan itu sempat tersipu walau hanya sebentar.

"Karena aku malas pergi ke tempat yang jauh, berputar-putar di jalan ini boleh ya? Tidak apa-apa?"

"Tidak apa-apa."

"Oh ya, nanti temani aku membeli sesuatu untuk Dave."

"Dave?" Dahi Aldrich mengernyit tidak suka.

"Dia minta dibelikan sesuatu," jelas Yura sambil merapatkan tubuhnya ke Aldrich karena ada beberapa pejalan kaki yang berjalan bersamaan dari arah berlawanan.

"Apa saja?"

"Gelang, dream catcher, lalu lighstick."

"Dasar anak-anak," cibir​ Aldrich.

"Jangan seperti itu, setidaknya biarkan dia senang."

"Baiklah, aku menyetujuinya. Tapi kalau dipikir-pikir, aku banyak mengalah hari ini."

Yura dan Aldrich berbalik di suatu tikungan, Yura menunjuk satu toko kecil dan menawarkan untuk makan ramen yang disetujui Aldrich begitu saja.

"Tentu saja kau harus mengalah, jangan terlalu egois."

Mereka kemudian duduk dengan dua cup ramen yang sudah matang setelah menunggu beberapa saat, Yura dibuat tertawa kemudian ketika menyadari sesuatu.

Ia kira Aldrich itu termasuk orang yang serba bisa di segala hal. Melempar pisau saja tepat sasaran, lalu otaknya juga cerdas. Tapi tak dapat disangka Aldrich tak pandai menggunakan sumpit.

"Jangan ejek aku," ujar Aldrich kesal, cemberut.

"Tapi kau ini lucu sekali tahu, masa tidak bisa menggunakan sumpit? Pisau saja bisa kau kendalikan dengan tepat."

"Itu urusan yang berbeda."

"Iya-iya."

"Kalau begitu suapi aku, nona yang pintar menggunakan sumpit."

Yura terkekeh pelan, lalu menyuapi Aldrich bergiliran dengan dirinya sendiri.

"Bagaimana? Enak?"

Aldrich mengangguk. "Enak, dan pedas."

"Kau suka?"

"Suka, tapi tidak sebanyak rasa sukaku untukmu."

Yura berdecak, Aldrich mulai lagi melontarkan kata-kata untuk menggodanya.

"Dasar laki-laki."

Aldrich tersenyum, memamerkan pesonanya yang berhasil menarik hati hampir semua perempuan yang melihatnya. Laki-laki itu kini membuka mulutnya, minta disuapi lagi.

"Manja," celetuk Yura, tetapi tetap menurut dengan menyuapi Aldrich hingga ramen-nya habis.

"Setelah ini kita mau ke mana?" tanya Aldrich.

"Bagaimana kalau melihat-lihat cherry blossom?"

"Boleh."

Aldrich kembali menggenggam tangan Yura erat, seolah gadis itu akan pergi jika ia tak melakukannya.

Keduanya kembali berjalan, kini tampak lebih banyak berinteraksi dan lebih mesra. Di mana Aldrich sering melontarkan ucapan yang sukses membuat Yura tertawa dan memukul lengan Aldrich sebagai responnya. Atau Aldrich yang menggeram setiap kali ada laki-laki yang berdiri dekat dengan Yura.

"Indah dan cantik sekali!" seru Yura ketika mereka telah sampai di tempat yang Yura maksud.

"Tapi tidak secantik senyumanmu."

Yura mendengus. "Berhenti menggodaku."

"Aku tidak menggodamu, aku hanya berusaha berbicara sesuai dengan kenyataan alias jujur."

"Ya ya terserah."

Yura dan Aldrich bersandar pada pagar, menghirup udara seakan tidak ada lagi hari esok.

Aldrich tersenyum ketika Yura menyandarkan tubuh padanya, ia segera mengelus puncak kepala perempuannya itu dan menciumnya lembut.

"Aku​ harap hubungan kita terus seperti ini," ucap Yura tiba-tiba.

"Maksudmu?" balas Aldrich tidak mengerti dengan alis bertautan.

"Maksudku, karena salah satu dari kita yaitu kau tidak seperti orang kebanyakan, aku harap hubungan ini berjalan normal. Seperti sekarang, tidak ada pisau, tidak ada luka yang kau torehkan, dan tidak ada rintihan sakit yang keluar dari mulutku."

Aldrich memiringkan kepalanya. "Aku hanya berharap kau senang jika bersamaku."

Yura menyisir rambutnya dengan tangan dan tersenyum lebar. "Begitulah."

Tiba-tiba Yura mendorong Aldrich mendekati salah satu pohon di sana. "Diam, karena aku ingin memotretmu."

Aldrich hanya menurut, lagipula ia tidak ingin merusak suasana hati Yura yang sepertinya sedang bagus hari ini.

"Satu ... dua ... tiga"

 tiga"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

A/n : maaf kalo work saya ngaret update-nya.


Pusing gara-gara nulis MPB dua kali, di wattpad lagi adegan so sweet, sedangkan di word Aldrich nusuk kaki Yura pake piso. Kan jadi bingung.

Jadi maaf kalo update cerita hasilnya kacau balau, nyesuain sama otak saya haha.

Ok, see you.

My Psychopath Boyfriend (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang