3. ʙᴇᴛʀᴀʏᴀʟ ꜰʀᴏᴍ ʜᴇʀ ʟᴏᴠᴇʀ

Start from the beginning
                                    

Jimin tersenyum kecil mendengarnya. Ia memerhatikan dengan saksama Anha yang menghela napas tatkala sudah selesai berkutat dengan kuku jemarinya. Lantas potongan kuku yang berhamburan di atas rok putih tersebut, Anha angkat dan tempatkan tepat di depan wajah Jimin. "Lihat. Kukumu panjang sekali. Beruntung kau tidak berusaha mencakar wajahku kala itu."

"Awalnya aku memang berencana seperti itu."

Sontak Anha membulatkan matanya, menatap tak percaya pada Jimin yang kembali mengayunkan kaki-kakinya. Namun, menyadari bahwa barangkali lelaki itu hanya bergurau, Anha hanya bisa mengembuskan napas pendek, mengembalikan roti milik Jimin yang sempat diambilnya dan berucap lirih, "Dasar aneh."

"Memang." Si Park itu kemudian menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. Anha benar-benar tidak mengira bahwa Jimin akan mendengarnya. Bisa jadi apa yang ia katakan melukai hati pemuda itu. "Aku memang aneh, An. Kau pun sudah tahu bagaimana aku."

Anha jadi tak enak hati, sungguh. Ditatapnya iris jelaga itu dengan miliknya. Mencoba berbicara dalam diam kendati itu tak menghasilkan apa-apa. Alhasil, ia menunduk, meratap pada flatshoes kulit miliknya yang memiliki noda di ujungnya. "Maaf. Aku tidak bermaksud menyinggungmu. Sungguh."

Namun Jimin diam saja. Ia masih menatap dengan pandangan sulit.

"Jim?" panggil Anha. Gadis itu menyentuh bahu Jimin untuk menyadarkan. "Aku minta maaf."

"Penuhi dulu keinginanku. Setelahnya, aku akan memaafkanmu."

Jemari lentik itu sesekali mengetuk meja hingga menimbulkan nada acak yang sebenarnya cukup mengganggu rungu, namun sang pelaku seolah tak mengindahkannya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Jemari lentik itu sesekali mengetuk meja hingga menimbulkan nada acak yang sebenarnya cukup mengganggu rungu, namun sang pelaku seolah tak mengindahkannya. Lagipula, rasanya Anha memang perlu mengalihkan beban-beban berat yang bersarang di kepalanya. Terlebih mengenai keinginan Jimin yang diajukannya beberapa saat yang lalu.

"Aku ingin kau tetap berada di sampingku."

Anha tidak tahu harus merespon apa. Ia sempat diam sejenak dan menatap betapa kesungguhan tergurat pada raut wajah Jimin, sebelum akhinya berlalu tanpa meninggalkan sepatah kata apa pun lagi.

Bukannya tidak mau atau tidak sudi. Anha hanya bimbang. Di satu sisi ia merasa seperti berkhianat pada Taehyung, namun di sisi lain ia juga kasihan dengan Jimin. Pemuda itu seolah lama sekali tidak merasakan yang namanya kasih sayang. Memijat pelipis pelan dengan jari telunjuknya, Anha malah mendapati ponsel di sakunya bergetar dengan lantunan lagu lawas milik band kesukaannya yang terputar.

"Hallo," sahut Anha cepat tatkala melihat nama kekasihnya itu terpampang jelas di layar ponsel. "Ada apa, Tae?"

"Ke kantorku sekarang juga. Aku rindu."

Hati Anha merasa lebih baik saat mendengar sang kekasih mengucap rindu. Akan tetapi, jadwal Anha sangatlah padat hari ini. "Maaf. Tapi sepertinya tidak bisa. Masih banyak pekerjaan yang harus kulakukan, Tae. Bagaimana kalau setelah aku selesai bekerja saja?"

Enigma, The Shadow [Re-write] | ✔Where stories live. Discover now