Not Me in Your Eyes

Start from the beginning
                                    

Kedua kakiku tergerak mundur perlahan tanpa kusadari, tapi ia menyadari hal itu. Aku harus segera pergi dan lari sekuat mungkin untuk menghindarinya.

Tapi- 'grepp!'

Pergerakkanku kalah cepat darinya. Ia mencekal pergelangan tanganku sebelum aku berhasil kabur.

Oh, Tuhan.

Gemuruh di dadaku semakin bertalu-talu, tubuhku bergetar hebat, dan lidahku kelu.

Tak ada satu pun kata yang dapat kukeluarkan.

"Alice, kau tidak apa?" ia kembali bersuara untuk kesekian kalinya.

"Le-lepaskan," gumamku dengan suara bergetar. Aku mencoba menarik tanganku, tapi cengkramannya tidak membiarkanku lepas. Ia malah menarik tanganku ke arahnya, menabrakan diriku padanya.

Dan entah bagaimana caranya aku berakhir dalam dekapannya.

"Aku merindukanmu," itulah kalimat yang ia bisikan.

Kalimat yang begitu cepat mengusik tubuhku. Membuat memoriku kembali terlempar pada lima tahun yang lalu. Sesuatu yang sudah kucoba simpan rapat-rapat. Menjadikannya pandora manis di dalam pikiran sendiri.

Aku ingin menolaknya, tapi tak bisa. Rasa lain yang lebih besar mengalahkan egoku, menampik segala yang sudah kucoba untuk menahannya.

Jahat sekali.

"A-aku..." kalimatku tercekat dalam tenggorokanku sendiri. Ia mengeratkan pelukannya padaku.

Aku yakin orang-orang yang berlalu lalang menangkap pandang ke arah kami, berpikir jika kami adalah sepasang kekasih yang tengah meluapkan kerinduannya.

Ya, kami meluapkan rindu, namun kami bukanlah sepasang kekasih.

"Ikut aku," ia melepaskan dekapannya dan menarik tanganku agar mengikuti langkahnya. Dia membawaku ke gedung apartement yang baru saja kutinggalkan.

Tak ada kata-kata yang mengudara di antara kami. Hanya langkah kami yang terdengar gaduh beradu dengan lantai.

Ia membawaku dalam sebuah kamar dan entah bagimana kami berakhir dengan beradu lidah.

Kedua lengannya mendorongku, menabrakkan diriku pada dinding dingin bercat putih di belakangku. Menghimpitku dalam kuasanya.

Salah satu tangannya terangkat, menarik kepalaku semakin dekat padanya, membuat pagutan kami semakin dalam. Bibir candu yang begitu kurindukan, dan aku menikmati ini.

Tidak, ini salah.

Bukan ini yang seharusnya terjadi ketika kawan lama berjumpa, bukan? Seharusnya kami duduk bersama dengan secangkir teh hangat menemani obrolan ringan.

Bukan saling melumat bibir dan mendorong diri satu sama lain.

Aku menggelengkan kepalaku, berusaha melepaskan pagutannya dan mendorong dadanya pelan agar menjauh dariku. Tapi kuasanya lebih besar dariku, apa yang kulakukan tidak berarti apapun padanya.

"Aku merindukanmu," ia mengulang kalimatnya lagi.

Entah bagaimana yang harus kurasakan. Senang kah? Atau marah?

Senang karena ia merindukanku, dan marah karena aku yang kembali jatuh begitu mendapati dirinya di hadapanku.

Aku mendorong bahunya lebih kuat dan itu berhasil. Ia mengambil jarak namun tidak melepaskanku.

"Maaf, tidak seharusnya kita seperti ini," tuturku dengan mencoba mengulas senyum tipis. Namun, kulihat ia hanya menundukkan wajahnya, mencoba menyembunyikan wajahnya dariku.

Not MeWhere stories live. Discover now