55 - Cerpen

109 9 0
                                    

Judul : Rindu, I Miss You
Uname Wp : leenurul
Tema : Masa Remaja
Cerpen/Drabble : Cerpen

Rindu, I Miss You
Bukan tak bersyukur. Tapi aku hanya ingin hidup bahagia, dengan keluarga yang sempurna.
-Rindu-

Sepenggal kalimat yang kutuliskan dalam lembar buku diary. Aku dalam keadaan tidak baik, saat menuliskan kalimat itu. Hatiku dilanda kegelisahan, kecemasan, dan kesedihan, yang seolah tak akan ada habisnya.
Aku memiliki keluarga yang lengkap. Ada Papa, Mama, Adik, dan Nenek. Bisa dikatakan kami adalah keluarga yang sempurna dan berkecukupan dalam hal materi. Tapi meskipun begitu, aku sama sekali tak bahagia.
Bagi Papa tidaklah sulit untuk mendapatkan banyak uang. Sebagai pelatih dan Atlet Paralayang, penghasilan yang ia dapatkan sudah lebih dari cukup. Ia telah melanglang buana mengikuti banyak perlombaan dan turnamen-turnamen yang bergengsi. Akibat dari kesibukan itulah, Papa jarang pulang dan hampir tidak pernah berada di rumah. Sempat berembus kabar, kalau Papa telah memiliki Wanita Idaman Lain. Dan gosip itu membuat Mama marah besar.
Tadi siang, sepulang sekolah. Aku mendengar keributan lagi yang berasal dari kamar Papa dan Mama. Aku mencoba mendekati pintu agar bisa mendengar lebih jelas. Apa ini tentang perselingkuhan, yang sering mereka pertengkarkan akhir-akhir ini.
"Kamu selalu melemparkan semua kesalahan kepadaku, apa kamu tidak pernah bercermin pada dirimu sendiri?!"
Papa berkata dengan kencangnya. Aku saja sampai gemetaran, sedangkan Mama. Seperti apa kondisinya saat itu, aku pun merasa sangat khawatir.
"Bukankah aku sudah pernah bilang, agar kamu berhenti menjadi penyanyi dari panggung ke panggung!" kata Papa dengan suara yang masih tinggi. "Apa gajiku masih kurang untung menghidupi kamu dan keluarga kita, hah?!"
Iya. Itu adalah alasan kedua kenapa Papa selalu marah pada Mama. Aku sedih, marah, dan kecewa dengan keadaan ini. Kenapa Tuhan tidak membiarkan hidup keluargaku berjalan harmonis dan bahagia. Kenapa selalu ada pertengkaran di setiap kali Papa pulang dari luar kota ataupun luar Negeri. Padahal aku selalu ingin memeluk Papa, bercanda, tertawa, dan menghabiskan waktu seharian bersama setelah hampir satu bulan tidak bertemu. Tapi kenyataan yang kudapatkan justru berlainan. Walaupun Papa ada di dekatku, tapi aku dan Shella tidak pernah merasakan kasih sayangnya.
Aku kadang berpikir. Apakah mereka sudah tidak menyayangi kedua putrinya? Sehingga mereka terus saja bertengkar tanpa memedulikan perasaan kami.
"Kenapa kamu melarangku untuk bernyanyi?"
Aku tertegun dalam diam. Yang kutahu, Papa sangat tidak menyukai profesi lama Mama sebagai seorang penyanyi panggung. Image buruk yang melekat sebagai wanita penghibur. Di mana pagi dijadikan malam dan malam dijadikan siang. Papa begitu menentangnya.
"Bernyanyi adalah hobiku, dan kamu tidak berhak mengatur kesenanganku. Karena mulai sekarang, aku ingin kita cerai!"
Jleb!
Seperti tertusuk timah panas yang begitu dalam, aku sampai tidak bisa berkata apa pun. Yang kurasakan hanya tetesan air mata yang panas membasahi pipiku. Kakiku terasa lemah, dan hanya gagang pintu yang bisa menjadi tumpuanku untuk tetap berdiri.
Tiba-tiba pintu kamar Papa dan Mama terbuka setelah terdengar suara pecahan kaca. Aku yang panik segera menarik kakiku mundur dua langkah. Papa keluar dan menatapku terkejut.
"Rindu!" panggilnya tersenyum getir.
Tidak ada suara yang keluar dari bibirku. Hanya derai air mata yang terus membanjiri wajahku. Aku pun tidak ingin berbicara dengan pria yang sudah berlaku kasar pada Mama. Sehingga dengan tatapan kemarahan, aku berlari pergi menuju kamar dan meninggal Papa.
***
"Kakak. Papa dan Mama ke mana? Kok nggak pulang-pulang?"
Apa yang bisa aku jelaskan pada gadis kecil berumur tujuh tahun ini. Sejak enam bulan yang lalu, Papa dan Mama telah resmi bercerai. Papa mengambil tanggung jawab untuk mengurus aku dan Shella, tapi seperti biasa. Papa melanggar janjinya. Selama enam bulan itu pula, Papa belum pulang untuk sekedar menengok keadaan kedua putrinya.
"Papa dan Mama sedang berlibur. Nanti mereka juga pulang, kamu yang sabar ya!"
Aku berbohong dan Shella dengan polosnya hanya mengangguk mengiyakan.
"Rindu!" Tiba-tiba Nenek berteriak memanggilku dari dapur. "Kerjaan kamu belum selesai, tapi kamu sudah enak-enakkan santai di kamar!"
"Iya Nek. Aku akan selesaikan!"
Aku bergegas dari kamar. Tidak ada pilihan lain, selain mengikuti semua perintah Nenek. Mulai dari mencuci piring, memasak, membersihkan rumah, sampai mencuci pakaian. Semua itu aku lakukan seorang diri. Kadang sikap Nenek yang kasar, membuatku berpikir. Bahwa Nenek tidak menyukaiku, bahkan membeda-bedakan kasih sayangnya padaku dan Shella.
Tapi aku tetap menghormati Nenekku itu. Walau bagaimanapun, dialah yang merawatku dan Shella. Saat Papa dan Mama melupakan tanggung jawabnya sebagai orang tua. Terkadang aku lalai mengerjakan tugas sekolah karena pekerjaanku di rumah yang tiada hentinya itu.
Pernah pada suatu hari, aku ketiduran di kelas dan ketahuan tidak mengerjakan PR. Setelah semalaman begadang mencuci baju Nenek dan Shella yang ditumpuk selama seminggu. Akibat ulahku itu, wali kelas memanggil Nenek ke sekolah. Beliau membicarakan tentang nilai-nilaiku yang menurun. Sesampainya di rumah, aku dimarahi habis-habisan oleh Nenek. Bahkan aku dihukum tidak boleh masuk ke dalam rumah selama satu hari. Aku tidur beralaskan lantai dan berselimutkan angin.
Tapi Tuhan tidak sejahat itu padaku, ia mengirim Bibi datang ke rumah dan khawatir melihatku tidur di luar. Ia dengan baiknya membawaku pulang dan menginap di rumahnya. Untung saja jarak rumah kami lumayan dekat.
***
Di rumah Bibi, aku diperlakukan dengan sangat baik. Mereka—Paman, Bibi, kedua sepupuku, Anis dan Maya, memberiku makan, tempat tidur dan juga kebahagiaan. Di rumah merekalah aku merasakan bagaimana kehidupan keluarga yang sebenarnya. Keluarga yang bahagia, saling berbagi dalam kesederhanaan.
Saat sedang bersiap untuk tidur. Tiba-tiba aku memaksa Bibi untuk menceritakan keluargaku atau lebih tepatnya kenapa Nenek begitu membenciku. Karena yang kutahu, Bibi sudah pasti mengetahui segalanya tentang keluargaku.
Setelah dipaksa, akhirnya Bibi menceritakan asal usulku yang sebenarnya. Di mana Nenek tidak merestui hubungan Papa dan Mama. Hingga akhirnya Nenek terpaksa menikahkan mereka, karena Mama lebih dulu mengandungku. Itu artinya aku adalah anak di luar nikah yang tidak diharapkan Nenek. Pantas saja Nenek membenciku. Aku tidak bisa menahan air mataku setelah mendengar kenyataan itu.
"Kamu yang sabar ya Rin. Aku yakin, lambat laun semuanya akan baik-baik saja!"
Sebagai sahabat, Anis selalu memberiku ketenangan dan semangat. Baik di rumah maupun di sekolah. Karena kebetulan, kita berada di satu kelas yang sama.
***
Paginya, aku memutuskan untuk pulang lebih awal. Kalau Nenek tahu aku menginap di rumah Bibi, dia pasti akan marah. Dan benar saja, dia sudah ada di luar rumah ketika aku tiba di depan rumah. Dia sudah menenteng ember yang berisi air, yang langsung disiramkan ke seluruh tubuhku.
"Dasar anak tidak tau malu. Menginap di rumah orang kayak nggak punya rumah saja!"
Dia benar-benar murka sampai menyeretku masuk ke dalam rumah dalam keadaan basah kuyup. Setelahnya aku hanya bisa menangis tersedu-sedu di dalam kamar mandi.
"Kakak." Shella datang dan segera lari memelukku. Kami pun sama-sama menangis.
Tapi Nenek seolah tidak punya belas kasihan terhadapku. Dia tetap menyuruhku bekerja, mengerjakan seluruh pekerjaan rumah. Semuanya aku kerjakan hingga sore menjelang. Aku sampai kelelahan karena bekerja tiada henti.
"Heh, enak banget ya duduk di situ. Nggak tahu apa kalau kamu harus segera masak!" Nenek kembali menegurku.
"Maaf Nek. Tapi aku sangat lelah. Aku boleh istirahat sebentar aja kan, Nek?"
"Tidak ada istirahat. Kamu harus cepat pergi ke dapur, ayo!" bentaknya.
Aku tidak bisa menolak lagi dan pergi ke dapur untuk memasak. Padahal saat ini tubuhku begitu lemah, rasanya seperti tertusuk-tusuk jarum, dan kepalaku juga sangat pusing. Setiap mencium bau makanan, rasanya mual dan ingin muntah.
Saking tidak kuatnya berdiri dan menahan sakit. Tiba-tiba saja aku merasa hidungku panas. Saat aku pegang, setetes darah membasahi telunjukku. Aku yang terkejut tidak bisa menahan tubuhku yang langsung limbung dan terjatuh di lantai. Aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya, karena semuanya langsung gelap.
***
Saat tersadar, aku sudah berada di rumah sakit. Tertidur di kasur bangsal yang di sekat oleh gorden putih. Ketika akan bangun, tiba-tiba aku mendengar obrolan dokter dan juga Nenek.
"Setelah saya melakukan pemeriksaan yang lebih lanjut, dari gejala-gejala yang ditimbulkan. Tes lab dan radiologi, dapat saya simpulkan bahwa cucu Ibu menderita Leukimia stadium lanjut, atau yang biasa disebut dengan kanker darah."
Kanker darah? Aku terkejut bukan main setelah mendengar vonis dokter. Hingga aku tidak bisa menahan air mataku untuk kembali menangis, merenungi nasibku sendiri.
"Kita harus melakukan kemoterapi, untuk pengobatannya. Sebelum kanker itu menyebar ke seluruh tubuh, dan cucuk Ibu tidak bisa hidup lebih lama lagi."
Aku pun mendengar suara tangisan Nenek yang tersedu-sedu, sambil menyebut, "Ya Allah. Cobaan apa lagi ini?"
Aku yang tidak tahan mendengar tangisan Nenek, segera keluar dan memeluknya dengan erat. Awalnya Nenek terkejut, tapi kemudian ia membalas pelukanku.
***
Aku ingat dengan pepatah yang mengatakan. Bahwa semua musibah dan kejadian yang terjadi pada kita, pasti selalu ada hikmah di belakangnya. Aku percaya itu, karena semenjak aku sakit. Aku mulai mendapatkan perhatian Nenek. Dia merawatku sangat baik, menemaniku, dan memberiku semangat. Saat aku drop sekalipun, Nenek selalu ada bersamaku.
Sudah tiga bukan semenjak aku menjalani kemoterapi. Tapi belum membuahkan hasil yang maksimal, karena sel kankernya hanya berkurang sedikit. Keadaan itu membuat Nenek semakin putus asa.
"Nenek akan telepon orang tua kamu ya! Biar mereka tahu dan bisa pulang menemani kamu."
Aku mengangguk mengiyakan. Karena jujur saja, aku pun sangat merindukan mereka. Namun hasilnya tetap sama seperti tiga bulan yang lalu. Telepon Mama atau Papa sama sekali tidak bisa dihubungi. Nenek sampai menangis karena bingung harus mendapatkan uang dari mana lagi untuk pengobatanku. Papa memang selalu mengirimkan uang, tanpa pernah menelepon kami. Tapi dua bulan terakhir ini, kami tidak mendapat kiriman uang dari Papa.
"Udah Nek! Pasrahkan saja semuanya sama Allah. Kalau memang Rindu harus pergi, aku ikhlas."
Nenek tidak menjawab apa pun. Dia dan Shella malah memelukku dengan erat. Aku pun memutuskan untuk tidak melanjutkan pengobatanku. Harapanku untuk mendapatkan cangkok sumsum tulang belakang dari Papa atau Mama, telah sirna. Sekarang aku ikhlas, kapan pun Tuhan mengambil nyawaku.
Saat aku divonis menderita kanker darah, aku sempat merah pada Tuhan. Ya Allah, kenapa kau memberikan penyakit itu padaku. Dari sekian banyaknya gadis di dunia ini, kenapa harus aku. Apa aku harus meninggal sebelum melihat keluargaku bersatu.
Tapi dalam sekejap aku beristigfar. Maafkan aku ya Allah, aku telah bodoh, dan sangat berdosa karena menyalahkan takdirmu. Aku seharusnya sadar, Jodoh, hidup, dan mati seseorang sudah dituliskan olehmu saat aku lahir ke dunia.
"Nenek harus coba telepon mereka lagi!" katanya, tapi aku segera mencegah tangan Nenek mencari nomor Papa di buku telepon.
"Sudah, cukup Nek. Jangan ganggu Papa dan Mama lagi. Aku tidak pernah tau kapan Malaikat Jibril akan mencabut nyawaku, tapi satu hal yang aku inginkan. Bahwa Nenek akan ada di sampingku, saat aku mengembuskan napas terakhirku. Aku ingin terlelap di pangkuan Nenek, dan aku ingin Nenek yang membimbingku mengucapkan dua kalimat syahadat di telingaku. Hanya itu, sudah cukup."
Nenek kembali tak berdaya dan mulai menangis lebih kencang lagi. Sampai aku merasakan kepiluan hati yang dirasakan olehnya. Shella pun begitu, bahkan ia tidak melepaskan pelukannya kepadaku.
***
Selama aku masih hidup, aku mencoba untuk bertahan. Aku melakukan apa pun rutinitas yang biasanya kulakukan. Aku tidak mau berlarut dalam sakit dan terpuruk terlalu jauh. Aku juga rutin menulis keseharianku di dalam buku diary. Berharap suatu saat nanti, buku itu akan menjadi kenangan bagi keluargaku.
Hari ini, Shella, Nenek, Anis, dan keluarga Bibi. Mengajakku pergi piknik ke sebuah taman bunga yang sangat indah. Aku menikmati kebersamaanku dengan mereka, walau aku hanya terduduk di kursi roda sambil memandangi kegembiraan yang mereka rasakan. Aku sudah cukup bahagia, karena sekarang sebagian keluargaku telah bersatu lagi.
"Andai saja Mama dan Papa ada di sini juga. Aku pasti akan sangat bahagia."
Tiba-tiba saja, aku merasakan tubuhku sangat sakit dan lemah. Kepalaku pusing dan darah mulai mengucur dari hidungku. Mereka yang telah menyadari keadaanku, segera berlari panik untuk menghampiriku. Terutama Nenek yang langsung membawaku ke dalam pelukannya.
"Nek, kita bawa Rindu ke rumah sakit sekarang juga!" kata Anis mengusulkan.
Tapi aku menyentuh tangan Nenek demi melarangnya.
"Tidak Nek, ja-ngan bawa aku ke ru-mah sakit." Aku berusaha berucap meskipun rasanya sangat sulit. "Aku ingin kalian di dekatku, di saat aku menutup mata untuk terakhir kalinya."
Aku bisa mendengar suara jerit tangis Shella yang begitu dominan. Namun aku tidak bisa meraihnya dan membelai wajahnya, tanganku terlalu rapuh. Aku sudah tidak tahan lagi, semua tubuhku terasa sangat sakit. Bahkan suara mereka yang menangis dan memanggil namaku mulai samar-samar kudengar.
Nenek mulai mendekatkan bibirnya ke telingaku. Dan menuntunku mengucapkan dua kalimat syahadat. Setelah dilafalkan dengan sempurna, tiba-tiba saja mataku tertutup dan tubuhku terasa sangat ringan.
***
Hidup dan mati manusia hanya Allah SWT yang tahu. Tidak ada satu manusia yang bisa mengetahuinya. Sampai kapan dia akan hidup di dunia, dan kapan akan kembali ke Sang Pencipta.
Begitu pun aku yang sedang menunggu hari itu tiba. Ketika Allah melepaskan semua rasa sakit dan penderitaanku di dunia. Tapi sebelum aku benar-benar pergi, aku ingin mengatakan sesuatu pada Mama dan Papa lewat surat ini.
Satu hal yang membuatku masih terasa berat ketika harus meninggalkan dunia ini. Yaitu Shella, adik kecilku yang manis dan lucu. Terakhir kali, aku selalu melihatnya menangis. Aku tidak bisa memberikannya kebahagiaan. Jadi aku mohon pada Mama dan Papa, berikanlah Shella kebahagiaan yang tidak bisa kalian berikan padaku. Dia berhak untuk semua itu.
Rasanya sangat tidak pantas, jika aku katakan. Bahwa hidupku, masa mudaku yang seharusnya di penuhi kebahagiaan, harus direnggut karena ketidakadilan yang kalian berikan padaku. Tapi jangan sedih, aku tidak marah pada kalian. Walau bagaimanapun kalian adalah kedua orang tuaku. Yang sampai kapan pun akan selalu kusayangi dan kuhormati.
Kalian berdua tidak perlu mengkhawatirkanku lagi, karena percayalah. Aku sudah berada di tempat paling indah. Di mana kebahagiaan akan aku dapatkan tanpa harus kuminta. Tapi di dunia ini, hanya ada satu yang ingin kuminta dari kalian berdua. Tolong, berikan Shella kebahagiaan sebuah keluarga yang sesungguhnya. Jika mungkin, kembalilah bersatu. Demi Shella.

Dari Rindu, yang selalu merindukan kasih sayang.

Mensive 5th Month Wattpedia [CLOSE]Where stories live. Discover now