Gebetan Baru Harfi

10 0 0
                                    

Hari minggu ini terlalu cerah. Tidak ada awan barang sesapuan pun. Matahari jadi leluasa merentangkan panasnya ke mana-mana. Harfi melajukan motor lebih pelan. Dia telah memasuki kompleks perumahan yang dituju. Berbekal sebuah kertas memo nan wangi berisi alamat, cowok itu berniat memberikan kejutan buat gebetannya yang baru. Luna.

Cerita awalnya singkat saja. Harfi pertama kali bertemu Luna saat sama-sama sedang belanja di toko buku. Bagi Harfi, cewek itu manis sekali. Dia jadi seratus persen melupakan buku kumpulan TTS yang diincar karena terpikat pesona Luna. Harfi memberanikan diri kenalan, sampai seminggu kemudian, Luna bersedia memberikan alamat rumahnya. Karena sekolah yang berbeda, sulit bagi mereka untuk bertemu. Jaraknya lumayan jauh. Kalau saja tidak ada toko buku 'Abadi Sejahtera Sehat Sentosa' itu, Harfi tak akan pernah tahu ada cewek semanis itu hidup di bumi nan bulat ini.

"Nah, ketemu juga," perasaan Harfi lega bukan main, selega mendengar guru fisika membatalkan ulangan harian yang rencananya akan diadakan pada jam pelajaran terakhir.

Harfi mematut diri sebentar di kaca spion. Wajah lelah, dihilangkannya dengan senyum bersemangat. Rambut acak-acakan bekas memakai helm, dikelimiskannya dengan sapuan telapak tangan. Dia meluruskan kemeja bagian bawah sembari melangkah menuju pintu rumah.

"Assalamualaikum.."

Rumah Luna lumayan adem. Angin sepoinya berasal dari dua pohon besar di halaman yang luas. Sepasang kursi rotan yang terpisah meja kaca kecil menghiasi teras. Senyum Harfi langsung tersungging membayangkan bahwa mungkin suatu saat nanti dia akan menghabiskan malam minggu di sini, duduk di kursi rotan itu bersama Luna yang menyajikan dua gelas jumbo es teh dengan taburan senyum manis dari bibirnya.

"Ehm! Waalaikumsalam."

Dengan senyum masih pada tempatnya, mata Harfi bergerak memandang sosok cowok tinggi yang bertubuh lebih kurus dari sapu lidi. Rupanya pintu rumah sudah dibukakan, dan cowok itu sedang bersandar di pintu sambil memandangnya heran.

Selama beberapa lama mereka saling berpandangan dalam diam, lamunannya akan Luna benar-benar pecah. Lalu perlahan senyum kakunya menghilang. Matanya berkedip dua kali.

"Eh, anu.. maaf. Apa bener ini rumahnya Luna? bisa saya ketemu?"

"Di sini nggak ada yang namanya Luna, tuh."

"Nggak ada? tapi, ini bener jalan Salak, kan?" Harfi mengeluarkan kertas alamatnya yang sudah lecek, mengecek kembali.

"Memang ini jalan Salak. Mungkin situ salah nyatet. Maksudnya jalan Kedondong, kali," si cowok tinggi masih memerhatikan penampilan Harfi.

"Ah, jauh amat bedanya salak sama kedondong. Masa saya bisa salah denger separah itu, sih?"

Harfi betul-betul bingung. Mendadak kepalanya jadi puyeng. Dia kepengin sekali meminta air putih, tapi gaya petantang petenteng tuh cowok sudah bikin males. Harfi lalu pamit. Dia sudah nangkring dengan wajah kecewa di atas motor. Berpikir kalau dia menelepon Luna sekarang, namanya bukan kejutan lagi.

Di kala Harfi sedang berkutat dengan pikiran sendiri, lewatlah tukang bakso yang memukul-mukul mangkok menggunakan sendok dengan berisik. Harfi menoleh sinis padanya. Sekilas membaca promo yang tertempel di gerobak yang bertuliskan: 'Hafal Pancasila, Pembukaan UUD 1945, dan dua belas nama-nama pahlawan Indonesia, gratis makan bakso di tempat, sampai puas. Saya tukang bakso. Saya bangga.'

"Bang, bakso, bang!"

Si tukang bakso meminggirkan gerobaknya di dekat pagar. "Seperti biasa, mas Alan?"

Cowok tinggi yang rupanya bernama Alan itu mendatangi tukang bakso. Setelah mengiyakan pertanyaan tukang bakso, dia bicara pada Harfi.

"Mau bakso, nggak?"

Waduh, kebetulan banget ditawarin pas lagi laper. Tapi Harfi mengingatkan dirinya sendiri untuk tidak terpedaya oleh apapun. Dia harus segera menemukan rumah Luna. Keinginannya untuk bertemu Luna tidak boleh lebih kecil dibanding hasratnya untuk mengganyang bakso lezat itu.

"Makasih, deh. Saya harus cari jalan Kedondong dulu."

"Sayang lho, ini baksonya enak banget. Makan sebentar, terus cari lagi. Tuh jalan juga nggak bakalan ke mana-mana."

"Maaf, tapi saya nggak bisa. Saya udah bertekad untuk memberikan kejutan buat gebetan saya siang ini. Tidak ada yang bisa menggoyahkan iman saya!" ucapan menggebu Harfi sontak mendapat pandangan kosong dari Alan dan abang tukang bakso.

Beberapa menit kemudian..

Harfi sudah menghabiskan dua mangkok bakso yang memang amat lezat itu. Wajahnya banjir keringat, bibirnya mendesis melawan pedasnya lumuran sambal yang menggores lidah serta kerongkongannya. Dia juga sukses bersendawa beberapa kali. Alan nyengir melihatnya.

"Kalau ngejar cewek, santai aja. Yang penting perut kenyang, pikiran terkendali."

"Betul juga kamu, Lan. Panik saya jadi berkurang."

"Ini, mas, kartu nama saya, kalau mas Harfi mau berlangganan bakso saya," abang tukang bakso menyerahkan selembar kartu nama.

"Beres, bang. Oh ya, Lan, ngomong-ngomong kamu sekolah di mana?"

"SMA Indonesia Raya."

"Itu kan, sekolahnya Luna juga!"

"Masa?"

Baru Harfi akan kembali bicara, dia melihat seorang cewek berjalan mendekat ke arah mereka. Di tangannya, tertenteng dua sachet lada bubuk, khas anak cewek yang disuruh ibunya beli bumbu dapur yang kurang di warung. Dia tampak kaget melihat Harfi, seterkejut Harfi saat melihatnya.

"Luna?"

"Kok, kamu bisa ada di rumahku?" tanya Luna keheranan. Gila, dalam keheranannya pun, nih cewek tetap nampak semanis sirup buah, pikir Harfi.

"Bukannya rumah kamu di jalan Kedondong?"

"Siapa yang bilang begitu? kan udah kukasih alamatnya."
Harfi langsung melirik Alan. Yang dilirik justru meringis dan mendekati Luna.

"Maksud kamu, Luna itu dia?" Alan menunjuk puncak kepala Luna. Otomatis Harfi mengangguk. Matanya agak berat, pasti efek mengantuk setelah makan kenyang. "Kalau makhluk ini sih, namanya Alun! Keren amat Luna."

Luna langsung menyikut rusuk Alan. "Maafin abangku, ya. Nama panjangku Aluna, boleh panggil apa aja sebenernya," katanya pada Harfi yang lantas manggut-manggut. Meski rasanya keki juga dikerjain Alan, Harfi tidak bisa terang-terangan bilang karena dia kakak Luna. Harfi perlu mendapatkan restunya.
"Ya udah, kamu kan udah ketemu sama si Alun, eh, Luna. Jadi sekarang bayarin bakso yang kita makan tadi ya. Kakak gebetan mau bobok siang dulu, dadah.."

Harfi langsung lemes. Sementara Luna, eh, Alun, mencopot sandal jepit dan dilemparkannya pada Alan. Tak ketinggalan teriakan merdunya, "Alan sialaaaaann!!!"


TAMAT.

Alan Si AlanWhere stories live. Discover now