Shiya Melangkah Lagi

22 0 0
                                    

Jam kosong di kelas. Shiya mengajak Alan nongkrong di tepi lapangan upacara. Mikirnya rada lama, karena teman satu gengnya sedang bersiap makan bakwan ke kantin. Setelah perundingan yang agak alot, Alan memilih pergi bareng Shiya. Hati Shiya serasa menghangat, meskipun dia hanya menang melawan segumpal bakwan jagung yang lembek di tengah, dan garing di tepian.

"Lan, kenapa sih, kamu ini nggak pernah bisa serius?" tanya Shiya setelah mereka hanya berdua saja. Menyuarakan keresahannya selama 52 minggu lebih 730 jam Shiya mengenal Alan.

"Ya namanya manusia, aku pun pernah serius, Shi."

Shiya meneruskan pandang. Alan sudah meluruskan kakinya yang panjang dan memasukkan kedua tangan ke saku. Tampangnya mengernyit, menatapi kejauhan.

"Oh, ya? kapan kamu bisa serius?"

"Waktu tidur," tatapan Shiya berbalas. Tapi secepat kilat dia membuang muka mendengar jawaban yang disertai cengiran lebar Alan.

Tuh, kan, di balik muka sok seriusnya pun rupanya dia sedang bercanda. Tapi yang seperti ini memang sudah resiko Shiya. Berani mengajak Alan ngobrol, harus siap makan hati dan menambah stok rasa sebal.

"Di mana-mana, tidur itu merem, bukannya serius," giliran Shiya yang mengikuti jejak Alan. Dia meluruskan kaki, lalu menggerak-gerakkan telapak kaki berbalut flat shoes.

"Di aquariumnya si Alun, ikannya nggak pernah merem tuh, kalau tidur."

"Memangnya ikan tidur?"

"Memangnya ikan nggak tidur?"

Sesaat bibir Shiya memberengut, menyadari dia sudah dibikin kesal dua kali bahkan sebelum lima menit ngobrol.

"Jangan ngambek, dong. Lagian kamu semangat banget ngomongin ikan. Kenapa nggak ngomongin aku aja?"

"Kan, kamu duluan yang nyebut-nyebut ikannya Alun!"

"Soalnya kamu tanya tentang kapan aku bisa serius. Memang aku selalu serius waktu tidur, lebih tepatnya bermenit-menit sebelum tidur. Saat aku diam sendirian itu, aku memikirkan banyak hal, Shi. Sesuatu yang biasa aku tanggapi ngaco setiap hari, nggak lagi bisa dikacaukan. Banyak bayangan yang muncul dari kepalaku. Orangtua, teman-teman, Alin, Alun, kamu, bahkan ikannya si Alun ikut-ikutan aku pikirin."

Shiya tersenyum samar. "Apa yang kamu pikirkan tentang orangtuamu sebelum tidur?"

"Banyak. Ayah yang teratur kegiatan paginya, seneng ngerjain anak-anaknya tapi bete kalau dikerjain. Terus Ibu yang lagi keranjingan bikin kue kering karena punya oven baru, yang nggak boleh disentuh satu bijipun sama anak-anaknya karena bakal buat arisan PKK. Aku merasa ulah mereka itu berharga sekali, kebiasaan sebentar, akan habis saat mereka mulai renta dan aku dewasa."

Rupanya mengajak Alan ngobrol tidak hanya penuh resiko, namun juga menjanjikan sesuatu yang nyaman. Sulit dijabarkan, Shiya hanya menganggap kenyamanan itu sama halnya dengan duduk di sofa super empuk, dikelilingi bantal-bantal gemuk, selimut ekstra hangat, dan saat menoleh ke kiri dan kanan, hanya ada berbagai sajian makanan dan minuman kesukaannya, lalu dinina bobokan suara gerimis dari luar.

Alan yang seperti biasa adalah favorit Shiya, namun Alan yang sekarang ini adalah yang paling disukainya.

"Kalau temen-temen?" kini Shiya menarik kakinya dan bertopang dagu.

"Meskipun di antara mereka aku yang paling ganteng, tapi aku merasa sudah memilih teman-teman yang tepat. Aku merasa klop sama mereka. Kamu tahu, Shi, masa SMA bisa menggambarkan masa depan. Banyak orang bertemu sahabat di SMA, dan terus terjalin sampai benar-benar dewasa. Banyak juga yang bertemu satu orang spesial, yang membekas di sini," dia menunjuk dadanya, "dan berakhir dengan pernikahan. Aku kepengin seperti itu, Shi." Penjelasan Alan diakhiri dengan pandangan yang lama di mata Shiya.

Kalau saja jantung Shiya adalah inti bom, sedangkan pembuluh darahnya adalah kabel picu dan Alan adalah remote controlnya, pasti saat ini organ itu sedang dalam proses meledak. Tiba-tiba Shiya merinding di mana-mana. Dia tidak terbiasa dengan Alan memandangnya seperti itu. Tanpa diberi aba-aba, anggota gerak di tubuhnya mulai berulah salah tingkah, seperti menggaruk telinga dan menarik-narik bagian atas kaus kaki.

Ungtungnya, sebelum Shiya bikin malu dengan menggaruk-garuk tanah juga, panggilan dan sosok Utari datang bagaikan unta di padang pasir, yang bisa membawanya kabur rasa salah tingkahnya secepat mungkin.

"Lan, kamu ditungguin ibu kantin," pemberitahuan Utari nampaknya sama sekali tidak membuat Alan terganggu. Dia dan Shiya bangkit menghadapi Utari. Perhatian Alan langsung teralihkan sepenuhnya, mengamati Utari yang sedang bicara, dengan seksama.

"Bilangin deh, hari ini absen makan bakwan, dirapel besok aja."

"Kamu nggak ditungguin buat makan, tapi buat bayarin lima belas biji bakwan yang dimakan sama geng kamu, tuh."

"Waduh, emangnya hari ini tanggalnya ganjil semua?"

"Kenapa kalau ganjil semua?"

"Berarti jatahku buat bayarin makan mereka." Alan langsung merogoh setiap saku yang menempel di seragamnya. "Pinjem duit, dong, Ut."

"Sori, nggak bawa uang cash. Ibu kantin kan, nggak terima kartu kredit," tolak Utari sembari menyibakkan rambut dengan tampang sok penting.

Alan melotot sebal lalu beralih menatap Shiya, "Shi, pinjem duit ya, uang jajan tadi pagi dijarah semua sama Alun. Boleh dong, Shi, kan ada pepatah, meminjami lebih baik dari pada tidak meminjami."

Tentu saja Shiya sudah tahu tidak ada pepatah semacam itu. Dia pun paham betul sifat Alan yang asal todong ini, sedari Utari menolak, dia sudah mengeluarkan dua puluh ribuan cetakan terbaru, dari saku. Lembaran itu masih lurus, kelimis, berkilauan dan nampak sayang untuk dibelanjakan. Namun Shiya rela melepasnya untuk si tengil satu ini.

Setelah menerimanya, cowok itu ngacir ke kantin tanpa pamit. Shiya menggertakkan gigi, gemas sendiri. Cuma Alan yang bisa membuat emosinya berayun-ayun tak tentu begini.

Tapi karena itulah, mungkin, Shiya jatuh cinta padanya. Berharap Alan adalah satu orang spesial yang selalu membekas di hati. Senyumnya perlahan terbit, bukan dari arah timur, tetapi dari dasar hati.

Shiya menggamit lengan Utari untuk mengajaknya masuk kelas. Mereka sudah melewati beberapa kelas ketika Alan berlari mengejar dan menghentikan langkah mereka. Shiya sudah sangat geer mengira Alan datang lagi untuknya. Dia lalu melongo ketika Alan bicara pada Utari.

"Kelupaan mau ngasih tahu kamu, Ut, di gigi geraham kanan kamu ada cabe ijo nyempil, di gigi taring yang sebelah kiri ada jagung juga yang nyangkut. Tenang, anak-anak di kantin udah tahu kok, tapi nggak akan pada ngaku kalau tahu. Ngetawain kamu-nya juga diem-diem aja kok, nggak terang-terangan. Udah dulu, ya!"

Utari buru-buru mengeluarkan cermin. Wajahnya merah karena kaget dan malu. Rupanya Alan benar. Shiya meringis.

"Ih," Utari mengentakkan kakinya. Sambil berwajah keki, dia mengeluarkan kekesalannya yang sudah amat mendalam. "Alan sialaaaan!!!!"

TAMAT.

Alan Si AlanWhere stories live. Discover now