[24] Pada Satu Titik Temu

Start from the beginning
                                    

Ponselnya kemudian bergetar. Arisa Nandrika. Rena kembali menghela napas. Tepat ketika ia menekan tombol jawab, suara Laras yang menyambut, "RENA!! GILANG—"

***

BRAKK!

Pintunya terbuka dengan kasar. Napasnya tersengal. Tangannya gemetar. Tiap mata di sana sembab. Kecuali milik laki-laki itu. Dan ketika Rena melihatnya, jantungnya serasa berhenti.

"Maaf."

Bibirnya gemetar. Emosinya membuncah tak keruan. Dia mendengus kasar dan melangkah maju dengan menghentak. "Maaf?!"

"Rena—"

"Dasar oon!" serunya, nyaris memukul bahu laki-laki itu jika saja Risa tidak menahannya. Air matanya yang semula sudah berhenti mengalir kini kembali menggenang. Dipeluknya laki-laki itu.

Mendengar suaranya, Rena tidak bisa merasa lebih lega.

"Gue gak apa-apa," kata si laki-laki, serak.

Rena mendengus dan melepas pelukannya. Ia menatap wajah Gilang yang masih penuh luka dan lebam. Lalu pandangannya beralih untuk melihat pendetak jantung yang sengaja dilepas laki-laki itu.

Ia malah menyengir, "Hehe, gue gak suka alat itu. Jadi gue lepas aja."

Risa menyeletuk, "Padahal tadi udah dimarahin suster."

"Gak ada kapoknya Gilang tuh."

Rena menyumpah kesal. "Gue hampir kena serangan jantung, tau gak?!"

Gilang menggedikan bahunya pelan. "Salahin Risa sama Laras, mereka yang berniat ngerjain lo." Ia tertawa, lalu meringis kesakitan.

"Rasain!" ketus Rena dan kemudian mengoceh bahwa Gilang tidak seharusnya banyak bergerak dan tidak seharusnya melepas alat seenaknya. Tapi pada akhirnya, ia tersenyum lega. Setidaknya, Gilang sudah kembali. Dan sekarang, tinggal satu masalah yang harus diurus.

Raffa.

***

Ia tiba sedikit terlambat. Ketika langkahnya tak lagi dituntun cahaya matahari, melainkan lampu jalan. Taman yang dimaksud Raffa berada beberapa meter di depannya. Taman tempat mereka bermain dulu, sekaligus tempat mereka pertama kali bertemu. Pertama kali bertukar nama, hingga terakhir kali saling tatap.

Rena jadi berandai-andai, jika dulu taman itu tidak dibangun, akankah mereka tetap bertemu?

Pandangannya berhenti bergulir ketika menemukan punggung Raffa. Laki-laki itu sedang menunduk, satu tangannya berada di saku celana.

Rena tidak perlu memanggil sebab detik berikutnya, laki-laki itu berbalik dan mereka bertemu pandang. Raffa tersenyum.

Rena tidak balas tersenyum.

"Masih pakai seragam?" tanya Raffa, sebagai topik pembuka. Basa-basi belaka. Rena mendengus.

"Tadi, abis dari sekolah langsung ke rumah sakit," jawabnya. Ia mengalihkan pandang pada bangku taman, lalu pada lampu yang tak jauh dari sana. Remang dan berkedap-kedip.

"Rumah sakit?"

"Gilang kecelakaan. Cowok itu emang kebangetan." Rena memberi jeda sejenak. Matanya kembali memandang Raffa. "Di sini gelap," katanya kemudian.

"Mau pindah?"

Meski Rena meragukan pendengarannya pada saat itu, ia hampir merasa yakin bahwa Raffa enggan pergi dari taman. Seolah ada yang mengikatnya di sana. Atau mungkin, seolah ada yang mengikat mereka di sana.

Rena menggeleng. "Gak usah, di sini aja gak apa-apa."

Raffa tersenyum lagi.

Kali ini, Rena ikut tersenyum.

Detik berikutnya, ia sadar, Raffa sedang menggenggam album biru yang dulu pernah diberinya. Album usang itu...

Tanpa sadar, Rena tersenyum semakin lebar.

Tapi kemudian, ia merasa hampa.

Hatinya hampa, bukan karena merasa kehilangan. Melainkan karena separuh dari jiwanya masih hidup di masa lalu.

"Maaf," katanya. Raffa tidak segera menjawab. Kepala perempuan itu menunduk, menahan suaranya agar tidak serak dan gemetar. "Maaf. Maaf. Maaf."

***

[ RUR ]

9/6/2017

Chapter selanjutnya akan dari sudut pandang Raffa. Dan mungkin juga akan ada sudut pandang dari Rena & Gilang. Yay!

Btw, Gilang-nya gak kenapa-napa kok HEHE. Terimakasih buat semua yang masih bertahan baca sampai sejauh ini :') You all are my moodbooster.

R untuk RaffaWhere stories live. Discover now