Tiga

12.8K 2.7K 267
                                    

"Lo sadar nggak sama yang lo omongin?"

Mikha mengangguk mantap. Dia memang selalu mengikrarkan dalam hati bahwa apapun yang terjadi, dirinya akan terus berada di sekitar Gibran. Meski harus menjadi benalu sekali pun.

"Hati gue nggak sebercanda itu, Mikh," ucap Gibran tegas. Tak habis pikir dengan perkataan Mikha.

Mikha menoleh ke arah Gibran, "emang Mikha kelihatan bercanda?" tanyanya sedikit ketus, karena merasa diremehkan. "Kenapa memang dengan Mikha?" Mikha menyentuhkan tangannya di dada kiri Gibran, "hati abang sakit, dan Mikha siap jadi obat tapi Abang tolak gitu aja?" Lengan halus itu mengetuk dua kali di tempat yang sama, "Abang yang gila!"

Gibran terhenyak, ketukan yang tak seberapa kuatnya itu nyatanya mampu menekan hatinya. Mikha yang beberapa hari ini memenuhi telinganya dengan suara rengekan tiba-tiba berbicara tegas layaknya wanita dewasa.

"Orang sakit itu kalau ditawarin obat pasti mau, orang buta itu kalau ditawarin pegangan pasti seneng banget. Nggak kaya Abang yang sok kuat, maunya sendiri tapi tau-tau udah tenggelem di dasar laut."

Gibran tertegun, Mikha benar dan dirinya salah. Ditatapnya bola mata Mikha yang terlihat berkobar acap kali berucap padanya. Menenggelamkan diri di sana, mencari jalan, haruskah dirinya menerima atau malah lari?

"Tapi nggak sama lo, Mikh!" tolak Gibran, berusaha memikirkan alasan yang tepat.

Mikha mendongakan dagu, menantang Gibran, "kenapa memang sama Mikha?"

"Lo terlalu kecil, Mikh," dan polos. Gue nggak mau ambil konsekuensi bikin lo sakit hati.

Mikha tersenyum menyeringai, "Mikha udah 23 tahun, Bang, udah sembilan tahun ngerasain menstruasi tiap bulan. Muka Mikha juga nggak kalah cantik sama artis. Dada Mikha juga nggak kalah seksi daripada model-model di luar sana, dan tentunya Mikha udah bisa reprod--" ucapan Mikha terpotong saat Gibran menutup mulutnya.

"Gue cuma punya jatah waktu tiga puluh menit buat nganter lo ke rumah dan ini udah lebih dari tujuh menit. Jadi, mending lo diem atau gue suruh keluar dan pulang sendirian," potong Gibran tak ingin mendengarkan ucapan Mikha.

Meski dongkol, akhirnya Mikha mengangguk. Jujur ada pergolakan batin yang dirasakan Mikha. Siapkah dirinya dengan semua konsekuensi yang diucapkannya? Namun, hati kecil Mikha memintanya untuk tetap berdiri di sana, di sebelah Gibran.

Selama perjalanan ada saja hal konyol yang dilakukan Mikha, seperti memainkan dua jarinya di lengan kiri Gibran. Selalu ditepis memang, tapi malah membuat Mikha senang. Dia senang Gibran terusik olehnya, menandakan bahwa dirinya di notice.

Gibran mencoba pasif, meski jengah dengan kelakuan gadis di sampingnya. Seperti saat ini Mikha dengan sintingnya mencari bulu tangan Gibran yang putih. Konyol tapi Gibran tak melarangnya.

Setidaknya seperti ini lebih baik, daripada wajah tertekuk gadis itu karena ucapannya tadi. Atau daripada mendengar celotehan Mikha yang tak jelas.

Tak sampai tiga puluh menit, Outlander hitam milik Gibran sudah tiba di depan gerbang kokoh milik keluarga Wibisana. Namun, hingga menit pertama, Mikha tetap menempelkan pantatnya di jok mobil. Gibran menoleh hendak menyuruhnya keluar.

Mikha sendiri sedari tadi masih mengamati Gibran, berharap wajah tampan lelaki itu yang nanti malam akan menjadi temannya dalam mimpi, "gimana sama tawaran Mikha?"

"Lo masih mau bahas yang tadi? Kan udah gue bi---"

"Kasih Mikha waktu buat buktiin kalau Mikha kuat buat menghantam kenangan Bang Gib soal Mbak Nata."

"Mikh..." Gibran mulai lelah dengan Mikha yang ternyata lebih keras kepala dari yang dipikirnya.

"Deal," ucap Mikha memajukan kelingkingnya untuk ditautkan dengan milik Gibran. Namun tangan lelaki itu masih bertengger manis di setiran mobil. Mikha tak habis akal, ditariknya lengan lelaki itu. Menautkan kelingkingnya secara paksa. "Deal," ucap gadis itu bangga.

M O N O K R O MWhere stories live. Discover now