Sebelas

2.8K 628 79
                                    

Mikha masih berdiri di samping ranjang Gibran. Menyesapi kembali segala perih yang menyebar lewat pori-pori. Merasa bodoh karena menawarkan obat, tapi ternyata dirinya sendirilah yang malah terluka.

Bodoh. Bagai terjerembab dalam labirin yang dibuat sendiri.

Gibran sudah lelap dalam tidurnya. Dengkuran tipis terdengar dari tempat Mikha berdiri. Mungkin efek obat yang diminum tadi.

"Lo baliknya gimana, Mikh? Mau gue pesankan grab? Takutnya alamat rumah lo aja, nggak tahu," tawar Gibran sesaat sebelum benar lelap.

Dilambungkan kembali. Hati Mikha membuncah. Gibran ternyata pengertian, kan?

"Mas Gibran ini royal banget, Mbak. Tiap kali pesen makanan gitu, suka dilebihkan. Sisanya ditinggal di pos satpam. Jadi, kita-kita ikut makan," begitu ungkap satpam yang tadi dimintai tolong memapah Gibran sampai apartmennya.

Kembali, angannya dijatuhkan... Gibran memang baik dengan semua orang. Perhatian dengan sesama manusia. Bukan hanya dirinya saja.

Wake up, Mikha!

Merutuki diri karena kesalahannya yang dengan lancang memberi seluruh hatinya untuk Gibran. Hingga tak tersisa untuk dirinya sendiri.

Memang, hal paling menyedihkan dari mencintai adalah kita memberi namun urung menerima.

Kakinya dengan lancang mendekati ranjang. Menatap wajah lelaki itu dengan seksama. Entah, dengan mantra apalagi yang harus Mikha ucapkan supaya lelaki itu terbangun hanya dengan Mikha di hatinya.

Punggung tangannya menyentuh kening Gibran. Memastikan bahwa demamnya sudah menurun. Saat tiba-tiba ponselnya berdering.

"Hallo, Mas. Udah sampai?"

"Udah. Lo dimana?"

"Tunggu lima menit lagi Mikha turun," jawabnya.

Mendekatkan wajahnya pada Gibran, tersisa beberapa senti saja. "Cepet sembuh," hanya itu yang terucap. Entah untuk luka hatinya atau untuk badannya.

Mikha melangkah meninggalkan Gibran. Meminta semesta menjaganya dalam lelap. Hingga terbangun menyapa fajar dengan harapan.

---

"Ini apartmen siapa, Mikh?" tanya Nando. Nggak biasanya Mikha mampir main sepulang dari kegiatan apapun.

"Punya temen. Tadi dia sakit, jadi Mikha anter."

Nando memicingkan matanya, menelisik kebenaran dari ucapan Mikha, "sejak kapan lo punya temen sampai main ke apartmennya?"

Nando ingat. Dulu saat sekolah dan harus kerja kelompok dirumah temennya, Mikha memilih mengerjakan tugas di rumahnya seorang diri. Dan teman lainnya hanya ikut nebeng nama saja. Hanya karena Mikha enggan main ke rumah teman atau temannya main ke rumahnya.

"Mas, cowok kalau suka sama cewek itu gimana?"

Nando ganti menoleh. Sedikit memelankan laju mobilnya, "ada yang suka sama lo?"

Mikha menggeleng, "Mikha suka sama cowok tapi kenapa rasanya sakit ya, Mas. Mikha udah sok asik kaya cewek pada umumnya, tapi sampai sekarang belum ada kejelasan gimana."

Nando memberhentikan mobilnya di pinggir trotoar. Serius, belum pernah Mikha menceritakan hal sedeteil ini pada dirinya. Mungkin ini efek Januar menikah. Mikha jadi nggak punya tempat untuk curhat.

"Resiko jatuh cinta memang selalu sakit. Namanya juga jatuh. Tinggal kita mau ambil pilihan, habis jatuh terus meratapi nasib atau memperjuangkan."

"Terus kenapa Mas Nan masih jomlo sampai saat ini? Apa karena nggak mau berjuang juga?"

"Siapa yang mau gue perjuangkan, Mikh. Gue aja nggak tahu apa gue masih punya hati atau nggak?"

"Mas Nando masih punya hati dan suatu saat akan menemukan seseorang yang siap menjaga hati Mas Nan."

"Ya semoga aja. Biar nggak dilangkahi lagi sama lo. Udah cukup sama Janu aja."

Yaaah. Terlalu lama jika menunggu Nando bertemu dengan tambatan hatinya. Bisa sampai Mikha dicap jadi perawan tua.

Tapi, ya tapi kalau Gibran mau diajak bersanding di pelaminan. Kalau tidak?

---

"Mikh! Kemarin Bos Gibran lo anterin sampai apartemen?" tanya Ardan tiba-tiba.

Mikha baru tiba, meletakan tasnya. "Iya. Emang kenapa?"

"Si bos di rawat."

Keterangan dari Ardan mengejutkan Mikha. Padahal semalam saat ditinggal lelaki itu sudah mendingan. Kenapa sekarang jadi harus berurusan dengan rumah sakit?

Lagi. Gibran tak memberi kabar apapun padanya.

"Iyah. Nanti gue sama anak-anak mau jenguk si bos. Lo mau ikut sekalian?"

Mikha mengangguk. Hatinya resah. Sungguh. Andai bisa, dirinya ingin terbang sekarang juga. Memastikan Gibran dalam keadaan baik-baik saja atau tidak.

Sepanjang hari dirinya makin tak fokus pada pekerjaan. Semakin menjadi bulan-bulanan Rinda. Tapi bukan Mikha kalau tidak cuek dengan segala omongan Rinda.

Alasan kenapa dirinya bekerja di tempat ini ya karena Gibran. Kalau bukan karena lelaki itu, Mikha lebih memilih belajar dari Januar dan melanjutkan bisnis Papanya. Sudah jelas jadi bos. Tinggal tunjuk sana sini.

Tapi. Yasudahlah. Nasi sudah menjadi bubur. Merangkak dari bawah tak ada salahnya, bukan? Merangkak dari atas nanti malah jungkir balik.

Pukul empat sore Mikha sudah siap beranjak dari tempat. Jarum panjang masih di angka sepuluh. Sebelas. Dua belas.

Akhirnya. "Bawa mobil sendiri, Mikh?"

Mikha menggeleng. Jujur saja ada rasa ketakutan sendiri jika harus nebeng dengan teman-temannya ini. Mengingat dulu dirinya pernah di cekoki minuman haram itu, walau hanya satu gelas.

"Ikut gue aja kalau gitu, Mikh." Ajak Ardan yang membaca raut wajah bingung Mikha.

Tanpa pikir panjang, Mikha mengangguk. Selama ini baru Ardan saja bisa mengobrol dengan Mikha. Mikha memang cerewet di hadapan Gibran saja.

Tiba di depan ruang rawat Gibran. Bu Rinda yang pertama mengetuk pintu. Lelaki itu tengah terbaring di ranjang dengan selang infus di tangannya. Ada seorang wanita paruh baya, yang diyakini ibu Gibran. Dan seorang wanita. Shila. Wanita itu sudah sampai terlebih dahulu.

Miris. Orang lain bahkan lebih tahu lebih dulu dari dirinya.

"Nggak dapet Kila. Dapet yang lebih cakep..." Bisik seseorang dibelakang Mikha. Lirih tapi menancap.

Bu Rinda menoleh pada Mikha. Menarik lengannya untuk maju.

Wajah Gibran tampak terkejut menemukan Mikha di sana. Mikha meletakan parsel buah yang di berinya tadi.

Jika biasanya nyalinya selalu tinggi tiap kali bertemu Gibran sekarang menjadi ciut bahkan tinggal tiup saja hilang. Bagaimana tidak, Shila duduk sambil memegang rantang bubur. Menyuapi lelaki itu.

"Cepet sembuh," kembali hanya dua kata itu yang terlontar dari mulut Mikha.

Gibran tidak menjawab. Lelaki itu hendak duduk tapi terhalang tangan Shila. "Tiduran aja, kalau belum bisa."

"Makasih, ya. Udah repot-repot jenguk Iban. Mungkin kecapekan aja. Besok atau lusa udah boleh pulang. Bisa balik kerja lagi," ujar Ibu Gibran berterima kasih.

Gibran tampak pias menatap wajah Mikha yang sudah memerah. Entah menahan amarah atau apa.

Kurang dari lima belas menit. Ardan berpamitan. Secara otomatis yang lainnya ikut pulang. Mikha yang terakhir menyalami Gibran.

Kemudian pada Shila. Ada tatapan berbeda dari yang diberikan Shila pada Mikha. Entah apa.

Mikha kembali menoleh pada Gibran sebelum menutup pintu. Pandangan lelaki itu tertuju padanya.

Satu kedipan itu meluncur bersamaan dengan satu tetes air mata. Cepat sembuh. Sekali lagi. Mikha merapalkan mantra yang sama. Mungkin lelaki itu akan sembuh nantinya. Entah bersama dirinya atau tidak.

M O N O K R O MTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang