Lima

9.8K 2.2K 187
                                    

"Ough!" Gibran melepas pertautan mereka, "kenapa lo gigit?" tanyanya

Mikha menunduk, "hehe... Kurang profesional," jelasnya malu. Bisa ketahuan kalau selama ini Mikha hanyak sok-sokan mengerti hubungan dewasa sementara praktek saja belum pernah.

Usapan ringan di kepalanya membuat Mikha mendongak, Gibran tak berkata apapun hanya memandangnya santai.

"Kopi kapal api," ucapnya lirih

"Hah?"

"Rasanya kaya nyeruput kopi kapal api," jelas Mikha.

Gibran tertawa terbahak. Pandangannya kembali beralih pada bangunan kokoh di depan.

"Ya elah, Bang, padahal udah dikasih cipokan masih aja keinget kenangan mantan," gerutunya, "sakit hati Mikha," lanjutnya bersidekap. Meski nada suaranya terdengar bergurau, namun goresan itu tetap terasa si hatinya.

"Besok jangan lupa jemput, ya, Bang?"

"Kenapa jadi antar jemput gini sih, Mikh. Bisa telat tiap hari kalau harus nyamperin elo dulu," tolak Gibran, tak ingin menuruti segala keinginan Mikha.

"Bang Gib mau sembuh nggak? Kalau mau sembuh, harus mau ngikutin metode dari sang ahli," ucap Mikha bangga, "lagian selama ini Bang Gib pulang pergi selalu lewat komplek ini yang jelas-jelas putar arah, nggak pernah telat, kan?" lanjutnya.

Skak mat.

"Oke, besok gue jemput," ujar Gibran mengalah.

Senyum Mikha merekah, "kalau gitu jalanin mobilnya, kita keluar dari komplek Mbak Nata, sekalian keluarin semua kenangan Bang Gib selama ini."

"Kata-kata lo kaya si Kila aja, Mikh," seloroh Gibran melajukan mobilnya.

Lelaki itu kadang dibuat bingung dengan sikap Mikha yang kadang kekanakan dan di lain waktu menjadi dewasa.

"Kenapa sampai selama ini, Bang? Padahal kalau boleh, Bang Gib jelas bisa milih wanita model apa saja yang Bang Gib suka, tapi kenapa masih terpaut dengan satu wanita yang jelas-jelas sudah dimiliki lelaki lain?"

Gibran terus menatap jalanan, "kepo amat lo, Mikh." Tangannya dengan jail menarik permen milkita yang di buka Mikha kemudian diemut sendiri.

"Tinggal jawab juga. Sesuatu itu kalau dipendem terus malah jadi penyakit hati tau," ujar Mikha sebal. Gantian menarik permen dari mulut Gibran dan mengemutnya.

Hangat. Hehe

"karena gue selalu merasa bego, Mikh, dulu saat dia masih jadi milik gue, gue bahkan seenaknya main sama banyak cewek di luar sana, gue nggak pernah memikirkan bahwa dia juga diinginkan oleh orang lain di sini.

"Saat dia sudah dimiliki orang lain, gue bahkan nggak punya kesempatan untuk sekedar melepas rindu. Bagaimana dia bahagia bersama orang lain itu membuat penyesalan selalu datang. Menyesali perbuatan gue saat dia masih milik gue, menyesali keterlambatan gue, menyesali nggak ada kejelasan hubungan antara gue sama dia.

"Kadang gue iri sama suaminya."

Gibran menarik napas dalam. "Gue udah nyoba bangun diri gue, udah mencoba move up dengan wanita lain, tapi rasanya tetap hambar. Karena setiap kali gue coba melangkah, ada bagian dari diri gue yang tertancap di sana. Di diri Nata."

Mikha meremas celananya setelah mendengar penjelasan Gibran. Seperti apakah Nata ini, hingga seorang Gibran Wiratama begitu susah melepas kenangan mereka. Sedalam apa pesonanya hingga lelaki ini bahkan tak kuasa untuk menarik dirinya ke dasaran. 

Apakah sanggup dirinya menggantikan Nata?

"Kenapa bengong?"

Mikha menggeleng, melenyapkan segala pikirannya, "kalau lagi enak-enak sama cewek lain, Bang Gib suka ngebayangin Mbak Nata?" tanya Mikha impulsif.

M O N O K R O MWhere stories live. Discover now