Dua Puluh Dua

2.6K 440 36
                                    

Mikha tengah mengaduk es teh dengan menggunakan sedotan. Tatapannya berpola mengikuti es batu yang berputar dalam gelas bercampur dengan teh manis. Berharap saat es batu tersebut tak lagi bergerak, bayangan Gibran juga lenyap dari pikirannya. Namun, Gibran terlalu nyata bahkan setelah beberapa hari tak menjumpai dirinya.

Mikha masih hapal cara Gibran menyugar rambut, bagaimana lelaki itu makan kupat tahu tanpa tahu, dan juga kebiasaan lelaki itu ngopi sasetan.

Gibran sudah terlalu lekat hingga untuk melepaskannya butuh tenaga ekstra dan berakibat menyakiti dirinya sendiri.

"Mikh ..."

Panggilan tersebut membuat Mikha tersadar bahkan sebelum es batunya berhenti berputar. Tatapannya tertuju pada Aidil yang duduk di hadapannya. Memandang dirinya penuh tanda tanya.

"Mie ayamnya nggak enak?" tanya Aidil kembali, memastikan.

"Enak, kok," jawabnya, mengamati mie dalam mangkoknya yang sudah mengembang tak tersentuh.

"Lo kenapa?"

Kembali, gelengan itu Aidil dapatkan sebagai jawaban.

"Gimana soal pertanyaan gue tempo hari, Mikh?"

Aidil pernah menyatakan perasaan pada Mikha, meminta dirinya untuk menjadi kekasih Aidil. Tapi saat itu Mikha hanya diam saja tak memberi jawaban.

Saat ini, Aidil kembali mempertanyakan jawabannya. Mikha belum memiliki jawaban apapun. Tapi bukankah amat jahat jika Mikha tetap merespon segala kebaikan Aidil sementara pikirannya terus saja terpatri pada Gibran.

"Dil, gue ..."

Belum sempat melanjutkan ucapannya, ponsel Mikha berdering. Ada panggilan dari Kila.

"Ya, Mbak," sapa Mikha.

"Mikh, gue dari tadi ngehubungin Gibran kok nggak bisa terus. Gue takut kenapa-kenapa sama itu anak. Soalnya semalam Gibran tampak mengenaskan. Lo bisa ..." Kila belum menyelesaikan ucapannya namun sambungan terputus.

Mikha berdiri tanpa aba, "Dil, sorry. Gue balik dulu," pamitnya.

"Gue anter ya," tawar Aidil.

Mikha sudah melangkah keluar dari ruko milik Aidil. Berpamitan sejenak pada kedua orang tua lelaki itu, "gue naik taksi aja."

Tak berselang lama taksi berhenti, Mikha pun masuk ke dalamnya. Membuka kaca dan menatap Aidil penuh permintaan maaf.

Mikha terus meremas tangannya. Memang tadi pagi saat dirinya berjemur di balkon, tirai kamar Gibran belum terbuka. Mikha pikir lelaki itu butuh tidur lebih lama hingga tak ingin matahari mengusik istirahatnya.

Tak sampai lima belas menit, Mikha sudah turun dari taksi dan sedikit berlari menuju lift yang akan mengantar ke lantai kamar Gibran. Perasaan khawatir yang melingkupi dirinya hingga berdiri di depan pintu flat lelaki itu.

Jari lentik Mikha sudah lihai mengetik angka yang berfungsi sebagai kunci pintu tersebut. Dan tentu saja terbuka.

Mikha masuk, kakinya bergerak ke sagala penjuru ruangan flat milik Gibran. Namun, tak ada tanda kehidupan di sana. Beberapa piring tergeletak begitu saja di samping kompor. Beberapa gelas masih berada di meja kecil.

Sudah berapa hari Gibran tak pulang ke tempat ini?

Jika beberapa hari ini Mikha selalu berusaha menghindari lelaki itu karena enggan sesak oleh rindu. Maka kali ini Mikha malah terperangkap oleh rasa sakit karena tak menemukan lelaki itu di manapun. Bahkan bau lelaki itu sudah tak mampu terhidu di kamarnya.

M O N O K R O MOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz