Part 18 : Should I Marry My Best Friend?

106K 5K 57
                                    

“Saya, Karina Sjahana, dengan ini mau mengklarifikasi tentang hubungan saya dengan laki-laki di samping saya ini, Dimas Adisaputra, yang kini sudah resmi menjadi tunangan saya..”

What the hell? Aku mematikan tv ku dan bergegas ke kamar, kuganti pakaian rumahku dengan dress simple dibalut cardigan berwarna senada. Kuikat rambutku yang terurai menjadi satu ikatan. Tanpa pikir panjang, kuraih tasku disusul dengan mengunci pintu kontrakanku dengan baik sebelum taksi yang sudah kupesan membawaku pergi meninggalkan rumah kecil itu.

“Gue udah kasih tau lo beberapa waktu lalu, tapi lo nggak peduli. Jangan salahin Karin kalo sekarang dia bener-bener ninggalin Genta dan lebih memilih Dimas.”

Rasanya aku ingin membekam mulut Wiza saat itu juga melalui handphone. Tapi semua itu kuurungkan, yang penting saat ini aku sudah mendapatkan alamat tempat tinggal Karin di Jakarta, dan itu sudah lebih dari cukup untukku.

“Kesini ya Pak.” Kuberikan secarik kertas kecil berisi tulisan tanganku, tulisan yang akan mengarahkanku menuju tempat tinggal si model yang sangat kubenci itu.

“Kayaknya ini non rumahnya, kita udah sampai.” Supir taksi itu memberhentikan laju mobil di depan salah satu rumah bergaya minimalis di daerah Kebayoran. Aku menatap rumah itu, memperhatikan segala sesuatu di sekelilingnya. Ya, setidaknya rumah ini lebih nyaman dibandingkan dengan kontrakanku sekarang.

Aku memutuskan untuk mengontrak rumah kecil di daerah Bintaro untuk tempat tinggalku saat ini. Rumahku yang di Pondok Indah sudah menjadi milik orang lain, jadi ya terpaksa aku harus mencari tempat tinggal lain, karena aku masih belum mau untuk tinggal kembali bersama Genta.

“Mau ditinggal atau ditunggu Non?” supir taksi itu kini menatapku dengan cemas, seperti tahu bahwa aku kesini dengan niat yang gila. Aku hanya tidak terima dengan perlakuan Karin pada Genta. Genta sudah berkorban sampai nekat menikahiku hanya untuk karier nya, bahkan Genta juga rela mengorbankan perasaannya hanya untuk wanita itu, tapi bagaimana mungkin kini dia dengan mudahnya mematahkan hati Genta begitu saja dan bertunangan dengan pria lain.

“Tungguin aja Pak, saya Cuma sebentar kok.” Jawabku seraya membuka pintu taksi itu. kakiku dengan cepat langsung melangkah menuju pintu utama. Untung rumah ini tidak memiliki pagar, jadi memudahkanku untuk langsung menuju pintu rumah itu.

Aku mengetuk beberapa kali, belum ada jawaban. Aku menekan bel yang terpasang di sisi kiri pintu, tapi sepertinya bel itu hanya pajangan rumah alias mati. Jadi aku memutuskan untuk kembali mengetuk pintu rumah itu. kali ini lebih kencang dari sebelumnya.

“Ya sebentar!”

Kudengar teriakan dari dalam rumah, aku melangkah mundur daripada harus perutku yang besar ini beradu dengan pintu.

“Biya?” Karin menyapaku dengan sejuta keterkejutan. Terlihat sekali dari wajahnya.

“Ya. Gue kesini Cuma mau mengingatkan lo, kalo Genta itu selama ini masih nungguin lo balik dari Singapore. Apa belom cukup pengorbanan dia sampe-sampe harus nikahin gue demi karier lo waktu itu?”

“Demi gue? Lo bilang Genta nikahin lo demi gue?”

Karin tampak sedikit emosi ketika menanyakan itu padaku. Aku mengangguk dengan yakin.

“Setelah menikah sama lo, gue emang masih suka ketemu sama Genta. Tapi lo tau apa? Apa yang diomongin sama dia nggak jauh-jauh dari dunia lo. Sampe gue bosen, yang dia sebut selalu Biya, Biya dan Biya! Apa itu yang namanya cinta?” Karin tampak menggebu ketika mengatakan itu semua. Ia kembali mengatur nafasnya, “Apalagi, setelah gue tau kalo lo sekarang lagi hamil anaknya dia..” Karin melirik kea rah perutku yang super besar ini. “Gue yakin, sekarang Genta udah sepenuhnya milik lo. Kalo dia menikahi lo hanya demi karier gue dan dia bener-bener mencintai gue, dia nggak akan mengambil resiko besar dengan  membuat lo hamil seperti ini. Genta laki-laki yang sangat bertanggung jawab Bi, dan gue yakin, sebelom kalian melakukan itu, Genta udah berpikir lebih panjang sebelumnya.”

“Tapi nggak mungkin! Gue pisah sama dia sekarang, maksud gue, gue ngejauhin dia sekarang hanya untuk nyatuin lo sama dia lagi. Gimana mungkin sekarang lo malah tunangan sama orang lain!.” Sergahku cepat.

Karin tampak tersenyum padaku, senyuaman yang tulus. “Masuk yuk, pasti capek kan berdiri terus dengan perut sebesar itu?” Karin mengulurkan tangannya ke tubuhku, menuntunku untuk masuk ke dalam rumahnya. Aku hanya mengikuti kemana ia menuntunku. Sampai akhirnya aku duduk di sebuah sofa berukuran untuk tiga orang. “Diminum Bi.” Ucap Karin ramah sambil memberikanku segelas orange juice.

“Kar, gue mohon. Batalin pertunangan lo sama Dimas, Genta nggak mungkin bisa hidup tanpa lo Kar. Kali ini, gue mohon, kembali ke Genta.” Aku menggenggam kedua tangan Karin. “Gue akan lakuin apa aja Kar, asal lo bisa sama Genta lagi.”

“Bi.. gue sama Genta itu udah lama banget mutusin hubungan kita. Dan sekarang laki-laki yang gue cintai Cuma Dimas. Nggak mungkin gue ngebatalin pertunangan ini.” jawab Karin dengan tenang sambil menunjukkan cicin pertunangannya dengan Dimas. “Genta sangat mencintai lo Bi.” Kali ini gantian, malah Karin yang mengusap-usap punggung telapak tanganku.

“Gue udah beberapa bulan ninggalin apartemen kami, dan Genta nggak pernah peduli. Dia nggak pernah yang bener-bener mohon ke gue untuk balik ke apartemen kami.”

“Genta itu selalu punya cara sendiri untuk menyelesaikan masalahnya. Lo tau, waktu dia memutuskan untuk nikah sama lo, dia nggak bilang apa-apa sama sekali sebelumnya sama gue. Dan gue tau beberapa minggu kemudian, kalo ternyata sebagian kecil alesannya adalah untuk ngebantu karier gue.” Karin menatap mataku lekat-lekat, “Tapi itu hanya sebagian kecil Bi, sebagian besarnya, gue rasa lo juga sebenernya udah tau. Dia panic waktu ngedenger lo mau dijodohin sama keluarga lo, dia takut kehilangan lo kalo lo sampe menikah dengan laki-laki lain. Sebagai sahabat, dia terlalu sayang sama lo. Sampe dia sendiri nggak sadar, kalo sebenernya dia itu mencintai lo, bukan hanya menyayangi lo sebagai sahabat.”

Sebulir air mata menetes di pipiku. Bagaimana mungkin Karin yang sangat kubenci ini kini malah menjadi sangat baik padaku. Tanpa berpikir lagi, aku segera memeluk tubuh Karin yang ramping itu, jauh berbeda dengan tubuhku yang kini jauh lebih berisi apalagi ditambah perut besarku ini.

“Gue nggak abis pikir gimana bisa lo memohon gue untuk kembali sama Genta seperti ini. dia kan sekarang suami lo Bi, harusnya lo pertahanin dia, bukan nyerahin dia ke gue seperti ini.” Karin mengusap punggungku, sementara aku masih terisak. Mungkin aku memang wanita gila, yang menyerahkan suaminya sendiri kepada mantan kekasihnya. Apalagi aku saat ini sedang mengandung anaknya.

“Gue Cuma mau Genta bahagia. Gue ngerasa bersalah banget karena dia harus menikahi gue demi ngebantu gue dari perjodohan itu. gue Cuma pengen Genta dapetin apa yang dia mau, miliki apa yang dia cintai. Dan itu Cuma lo Kar. Apapun akan gue lakuin untuk Genta.” Ucapku terbata-bata diiringi tangis.

“Anak ini?” Tanya Karin lagi.

“Gue nggak akan menyangkal, Genta adalah Ayahnya. Gue nggak pernah berhubungan dengan laki-laki lain. Gue nggak akan misahin anak gue dengan Ayahnya sendiri, tapi, gue bisa membesarkannya sendiri. Tanpa Genta. Tanpa sepupu lo juga.” Aku melepaskan pelukanku. “Wiza pernah menawarkan diri untuk menggantikan tempat Genta. Tapi gue langsung menolaknya. Gue nggak mau karena masalah pribadi gue, lagi-lagi harus makan korban.”

“Kenapa kamu bohong sama aku?”

Kubalikkan tubuhku mencari asal suara itu. aku segera menghapus air mata yang masih tersisa di kedua pipiku. Matanya menatapku dalam, tangannya mengepal dengan kencang di sisi tubuhnya. Nafasku seperti berhenti sesaat.

“Kenapa selama ini kamu selalu bilang kamu dan Wiza memiliki hubungan khusus? Kenapa kamu nggak pernah jujur sama aku?” tanyanya padaku bertubi-tubi. Rahangnya mengeras, menunjukkan amarah yang teramat sangat. “Kenapa kamu harus berpura-pura Biya? Dimana kamu tinggal sekarang? Apa kamu tau aku udah hampir gila nyariin kamu!” bentak Genta padaku. Tubuhnya masih berdiri dengan tegap di hadapanku dan Karin, Genta tidak mendekatkan dirinya padaku, ia hanya menatapku dengan tatapan yang mematikan.

“Genta..” ucapku terbata. Air mata lagi-lagi segera kuhapus begitu kurasa ada sesuatu yang membasahi pipiku.

“Aku mohon Bi, aku mohon.” Kali ini Genta berjalan mendekatiku, berlutut di hadapanku. Kedua tangannya menggenggam erat tanganku. Matanya berkaca ketika menatapku, “Aku nggak tau harus ngelakuin apa lagi supaya kamu percaya kalo aku bener-bener mencintai kamu. Nggak ada satupun yang melebihi kamu dan anak kita di hatiku.” Ucap Genta sungguh-sungguh. Disenderkan kepalanya di kedua lutuku. Air matanya mulai perlahan membahasi kakiku. Ia terisak.

Kubelai rambutnya yang sudah mulai memanjang dengan lembut, “Maafin aku.”

Should I Marry My Best Friend?Donde viven las historias. Descúbrelo ahora