Part 12 : Should I Marry My Best Friend?

107K 5K 37
                                    

Berada satu minggu di negeri Hitler membuat Biya rindu akan masakan kampong halaman. Ia segera mampir menuju restoran sunda langganannya di daerah Ampera setibanya ia dan Genta mendarat di Indonesia.

“Kamu kangen masakan Indo, atau emang lagi laper sih Sayang?”

“Both. Aku pengen nambah.” Jawab Biya sambil terus melahap hidangannya. “Kamu?”

“Makananku aja belom abis Bi..” Genta menggelengkan kepalanya sambil heran menatap Biya yang seperti orang kalap itu.

“Ibu! Aku punya banyak oleh-oleh buat Ibu sama Ayah!” suara Biya terdengar riang saat menyapa Ibunya melalui handphone. “Iya iya, besok aku ke sana ya. Sekarang aku lagi di Ampera dulu sama Genta, aku kangen masakan sunda.” Lanjutnya. Genta hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Biya memang kadang masih seperti anak kecil pada Ibunya.

“Mama! Biya punya banyak oleh-oleh buat Mama sama Papa!” sekarang gantian, Biya menelfon Mama mertunya. Tidak kalah riang saat ia menelfon Ibu. Genta tersenyum memperhatikan tingkah laku istrinya itu. “Kamu kenapa sih ngeliatin aku kaya gitu? Nih Mama mau ngomong.” Handphone itu diberikan ke Genta.

“Halo Mam, iya aku udah sampe.” Sesaat Genta seperti mendengarkan ucapan Mamanya di telfon. “Iya besok aku kesana abis dari rumah Ibu ya. Salam buat Papa, bye Mam!” handphone itu dikembalikan ke Biya.

“Besok kita ke rumah Ibu siangan, terus sorenya ke rumah Mama okay?”

Genta mengangguk. “Aku ikut kamu aja.”

“Good!”


***


Kamu itu harusnya milikku.

Sms itu yang didapatkan Biya beberapa saat lalu di handphonenya. Nomornya tidak ia kenal, ia juga tidak berniat untuk membalasnya. Mungkin salah sambung.

Kamu yakin Genta mencintaimu?

Lagi-lagi sms itu masuk ke handphone Biya. Biya kini membalasnya, karena terdapat nama Genta di pesan singkat itu.

Ini siapa?

Biya membalas sms itu sesingkat mungkin. Ia mulai memikirkan sms-sms yang ia yakin memang ditujukan untuk dirinya. Biya memutar-mutar handphonennya di tangan. Menunggu si pengirim sms gelap iu membalas smsnya. Biya cemas.

Sudah satu jam, smsnya belum dibalas. Biya malah makin penasaran. Diam-diam dari Genta, Biya menelfon nomor asing itu. Mumpung Genta belum pulang kerja pikirnya.

“Halo.”

“Ya?” telfon itu dijawab! Suara seorang laki-laki.

“Ini siapa ya?” Tanya Biya.

“Wiza.”

“WIZA?” Biya langsung menutup telfon itu. Ini sudah gila. Bagaimana bisa Wiza mendapatkan nomor handphonenya? Ya tidak heran sih, dia satu rumah sakit dengan Genta, pasti sangat mudah baginya untuk mendapatkan nomer Biya dari rekan-rekan seprofesinya.

“Sayang?” Genta menepuk bahu Biya, mengejutkan istrinya itu yang sedang melamun setelah menutup pembicaraannya dengan Wiza.Biya menoleh. Ia mendapati wajah Genta yang terlihat lelah. Ia mengusap lembut pipi suaminya itu.

“Aku masakin kamu tuh, makan yuk?” ajak Biya yang langsung menarik lengan Genta.

Genta dan Biya berbincang santai sambil melahap makan malamnya masing-masing. Biya yang masih memikirkan maksud Wiza mengirim sms padanya itu kurang focus mendengar cerita-cerita Genta sehingga suaminya itu menyadari kini Biya sedang melamun.

Should I Marry My Best Friend?Where stories live. Discover now