Part 2 : Should I Marry My Best Friend?

128K 6.6K 120
                                    

Biya menggosokan kedua telapak tangannya, tegang. Ia sudah berdiri di depan rumahnya yang di Bandung, rumah kedua orangtuanya. Genta menghampiri Biya yang masih mematung di depan pagar kayu rumahnya itu.

“Kok nggak masuk sih lo?” Tanya Genta sambil membawa bingkisan berupa cake tiramisu kesukaan kedua orangtua Biya itu. Akhirnya Biya memberanikan diri memasuki garasi rumahnya. “I’m here for you Biya.” Bisik Genta sebelum mendapati Ibunda Biya yang sudah duduk menyambut kedatangan anak tunggalnya itu di ruang tamu.

“Sayang..” wanita separuh baya itu memeluk Biya penuh kasih sayang. Genta tersenyum pada Ibunda Biya, mencium tangan wanita itu. “Halo Genta..”

“Halo Tante,Om nya mana Tan?” sapa Genta ramah,ia memberikan bungkusan cake tiramisu itu kepada Ibu sahabatnya ini.

“Ada di dalem udah nunggu kalian dari tadi pagi, masuk yuk.” Wanita itu mempersilakan Biya dan Genta yang sudah tidak asing lagi itu untuknya langsung menuju ruang keluarga. Ayahnya Biya yang masih terlihat gagah itu menyambut dengan ramah kehadiran Biya dan Genta. Tapi itu hanya awalnya..

“Biya, kamu bulan depan bisa kan luangkan waktu kamu untuk kenalan sama anaknya temen Ayah yang dari London itu?” seketika senyum di bibir Biya menghilang, Genta langsung menoleh kepada wajah Ayahnya Biya yang tampak santai sambil meminum secangkir kopi hitamnya itu. Sementara Ibu? Tampak begitu cemas. Ia seperti sudah dapat membaca akan ada keributan atau mungkin perang dunia ketiga antara Biya dan Ayahnya hari ini.

“Yah, Biya kan udah bilang Biya nggak mau dijodoh-jodohin kaya gini. Biya mau cari pasangan hidup Biya sendiri Yah.” Jawab Biya masih dengan begitu sopan.

“Lihat kenyataan Biya, kamu terlalu asik dengan khayalan-khayalan kamu yang selalu kamu tuangan dalam novel-novel kamu itu sampai-sampai kamu lupa sama diri kamu dalam dunia nyata. Bukan dalam imajinasi kamu!” hati Biya serasa disentil oleh perkataan Ayahnya barusan. Genta menyadari perubahan mimik sahabatnya yang duduk di sisinya itu. Genta memperhatikan mata Biya yang sudah berkaca-kaca. Ini yang paling tidak disukai oleh Genta, melihat sahabat kecil kesayangannya itu menangis.

“Yah, jangan terlalu keras sama Biya..” Ibu tampak tidak sampai hati melihat putri kesayangannya itu yang kini menahan tangis.

“Maaf Om, sebenarnya ada yang mau Genta sampein ke Om dan Tante..” dalam seketika, seluruh mata tertuju pada Genta. Tapi Genta tampak begitu tenang, dia selalu dapat mengatasi segala keadaan. “Sebenernya Genta dan Biya datang berdua kesini, karena Genta mau kasih tau ke Om dan Tante kalo kami sebenernya selama ini punya hubungan khusus. Dan aku pengen untuk ke jenjang yang lebih serius sama Biya.” Ucap Genta lancar, selancar jalannya kereta express di gambir menurut Biya. Biya langsung menoleh dan menatap sahabatnya itu lekat-lekat, menunggu apakah sesaat lagi Genta akan tertawa terbahak-bahak karena semua ucapannya itu hanya cara ia untuk melucu di situasi yang rumit ini? Tapi ternyata tidak. Genta tetap tenang dan duduk dengan tegap seperti biasanya. Pandangan Biya beralih ke kedua orangtuanya yang kini menatap dirinya dan Genta dengan penuh selidik. Mencari kebohongan di mata sepasang atau lebih tepatnya yang baru mengaku sepasang kekasih itu. Untungnya Biya sadar akan gelagat orangtuanya itu, melihat sikap Genta yang tetap tenang, Biya tidak ingin menghancurkan bantuan sahabatnya ini. Biya langsung bersikap tenang sama seperti yang Genta lakukan. Walaupun sebenarnya ia benar-benar tidak mengerti ia sedang berada dalam permainan macam apa yang dibuat oleh Genta ini.

“Kamu nggak becanda Genta?” Tanya Ibunda Biya penuh haru. Terlihat jelas dari gerak tubuhnya.

“Iya Tante, sebenernya awalnya lucu juga sih. Tapi Genta sadar, Cuma Biya yang bener-bener ngerti sama semua kebaikan dan keburukan aku. Iya kan sayang?” Genta melirik Biya yang tampak berusaha menahan kecanggungannya itu saat Genta memanggilnya dengan sebutan Sayang. Tapi Biya berusaha tersenyum, lalu mengangguk pasti. Membuat kedua orangtuanya benar-benar percaya dengan semua aktingnya itu. Genta mengeluarkan kotak kecil dari saku celana jeans nya, “Sayang, karena kita udah terus terang tentang hubungan kita ini sama kedua orangtua kamu, aku pengen kamu selamanya ada di sisiku sayang.. mau kan menikah sama aku?” Genta mengulurkan tangannya ke hadapan Biya, membuka kotak kecil yang berisi cincin emas putih dengan taburan berlian di tengahnya. Biya mengedipkan matanya berkali-kali, kejadian ini memang ada, tapi hanya dalam khayalan, imajinasi. Naskah ataupun novel yang dikarangnya. Bukan dalam dunia nyata seperti ini! Biya menatap kedua mata Genta dihadapannya, kenapa baru sekarang ia sadari kalau Genta memiliki mata yang begitu teduh, tatapan matanya begitu hangat. Yang langsung membuat tubuh Biya seperti melayang tinggi, tinggi sekali. Tapi tidak sampai ke langit, karena Biya segera menyadarkan pikirannya, Genta hanya akting! Buktinya, ia baru merasakannya kali ini saja, tidak pernah disaat-saat sebelumnya. Sebelum menjawab, Biya menatap kedua orangtuanya bergantian, Ayah dan Ibunya mengangguk perlahan memberikan tanda setuju kepada dirinya. Biya menatap kedua mata Genta dalam-dalam, memberikan senyum termanis yang dimilikinya, lalu mengangguk dengan pasti.

Should I Marry My Best Friend?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang