Part 8 : Should I Marry My Best Friend?

111K 5.7K 54
                                    

Dengan modal bohong, Biya dan Genta berhasil tidak pergi untuk berbulan madu. Alasan Biya sangat dapat diterima oleh kedua keluarga, apalagi kalau bukan Genta yang sedang memiliki pasien kritis di rumah sakit. Alhasil, malam pertama mereka ini dilalui di apartemen baru mereka yang menjadi hadiah dari Papanya Genta itu.

Genta yang asik menonton tv, sementara Biya yang sudah terdampar di tempat tidur saking lelahnya, lagi-lagi membuat keheningan di pasangan baru ini. Biya yang hanya menggunakan short dan kamisol satin itu berusaha untuk memejamkan matanya, walaupun sudah berusaha selama sejam, tetap selalu gagal. Biya keluar dari kamarnya.

“Gen, gue laper!” seru Biya pada Genta, suami yang tetap hanya menjadi sahabat baginya itu. Genta menoleh pada Biya yang wajahnya sudah berlipat menahan rasa laparnya itu.

“Kulkas kita kan masih kosong, belanja bahan makanan di bawah yuk?” Genta tersenyum pada Biya. Supermarket yang berada di lantai satu gedung apartemen Genta dan Biya memang buka dua puluh empat jam, jadi kapanpun perut mendadak lapar, tidak masalah bagi para penghuni apartemen itu. “Ganti baju kamu dulu.” Ucap Genta setelah Biya menyetujui ajakannya untuk berbelanja makanan itu.

“Emang kenapa sama baju gue?” Biya menatap pakaian yang ia kenakan di tubuhnya itu.

“Terlalu kebuka Biya, banyak cowok dibawah.”

“Lo juga cowok.”

“Aku suami kamu.”

“Tapi kan juga Cuma sementara.”

“Tapi aku nggak akan macem-macem sama kamu.”

“…”

Biya tidak menjawab. Tapi juga tidak mau mengganti pakaiannya. Genta hanya menatapnya dengan bingung. Melihat sikap Biya yang tetap pada pilihannya untuk tidak berganti pakaian, Genta segera bangun dari duduknya.

“Yuk!” Genta meletakkan jaketnya ditubuh Biya. Lalu menarik tangan istrinya itu keluar dari apartemennya.

“Apaan sih nih?” Tanya Biya mengambil jaket Genta dari tubuhnya itu. Jaket Genta yang sangat kebesaran di tubuh Biya tentu saja dapat menutupi setengah tubuhnya itu.

“Udah pake aja.”

“Nggak mau.” Biya mengembalikan jaket itu ke tangan pemiliknya. Ia menyilangkan kedua tangannya di depan dada selama menunggu pintu lift terbuka. Genta hanya diam melihat sikap Biya yang menurutnya lagi kumat itu.

Genta meninggalkan Biya dengan berjalan lebih cepat. Mengambil trolley belanjaan. Dan mulai mengambil segala makanan yang dipilihnya. Sementara Biya malah asik sendirian di tempat majalah yang terletak di bagian pojok belakang supermarket itu. Pasangan sahabat ini lagi-lagi bertengkar.

“Cari majalah apa nih? Mau gue bantu?” sapa seorang pria.

“Eh, apaan sih lo!” Biya melempar tangan seseorang di pundaknya. Ternyata pria yang menyapanya tadi.

“Sendirian aja malem-malem begini? Nggak kesepian?” Tanya orang itu lagi tanpa menghiraukan sikap kasar Biya padanya. Supermarket yang terlihat sepi pada pukul dua dini hari mendukung pria itu untuk berbuat seenaknya pada Biya. Biya menarik nafasnya panjang dan siap-siap untuk berlari. Sayangnya tangan pria itu sudah mencengkram pergelangan tangan Biya dengan sangat keras dan kasar sehingga Biya sendiri merasakan sakit pada bagian tubuhnya itu. Biya sudah menarik nafas panjang, mengambil ancang-ancang untuk berteriak memanggil Genta, hanya Genta yang bisa membantunya. Persetan dengan gengsinya yang segunung.

BUK!

“Kamu nggak apa-apa kan?” Genta menarik Biya setelah berhasil meninju pria yang tadi menggoda Biya itu. Genta letakkan kembali jaketnya ditubuh Biya. Biya hanya diam, mengikuti langkah Genta dalam gandengannya.

Should I Marry My Best Friend?Where stories live. Discover now