Seharusnya paman Edi merinci hal-hal apa saja yang dilarang. Sedangkan bibi Erlinda menuruti saja perintah paman Edi. Keduanya sama-sama salah karena jalinan komunikasi yang tidak terbuka.

Lili kemudian duduk di seberang meja makan yang berbentuk bulat. Dia meraih paha ayam goreng. Menggigitnya namun pandangannya tak lepas dari sosok Nadia dihadapannya.

"Ada apa? Kenapa memandangiku seperti itu?" Nadia meletakkan tulang sayap ayam di atas piring. Kemudian berganti mengambil kue lapis legit, melahapnya seketika sehingga membuat pipinya bergelembung saat mengunyah.

"Soal kejadian tadi, aku benar-benar menyesal telah menuduh kakak se...," belum selesai berbicara, celoteh Lili sudah dihentikan oleh jari telunjuk Nadia yang menempel di bibirnya. Tampaknya Nadia tak ingin gadis imut dihadapannya ini terus-terusan merasa bersalah karena menuduhnya sebagai seorang zombie beberapa saat yang lalu.

"Aku sudah bilang tidak usah dipikirkan. Jika aku seusiamu, mungkin aku juga akan melakukan hal yang sama."

"Hei, sedari tadi aku belum melihatmu sekalipun tersenyum Lili. Bisakah kali ini kamu membuang kesedihanmu dan menggantinya dengan seulas senyuman untukku?" Nadia melepaskan sentuhan telunjuknya dari bibir Lili.

Lili kemudian tersenyum. Dia merasa lega Nadia tidak marah apalagi mempermasalahkan kejadian yang nyaris merengut nyawa karena ulahnya. 

Nadia terkagum dengan sepasang lesung pipi yang dimiliki oleh Lili, menjadikan wajah Lili sangat menggemaskan ketika tersenyum.

"Huh, aku iri dengan kedua lesung pipimu," canda Nadia yang dibuat seserius mungkin dengan berlagak cemberut.

"Kakak bisa saja," tukas Lili. "Malahan aku yang iri dengan rambut kakak yang panjang dan indah itu"

"Ah, benarkah ... terima kasih," ujar Nadia tak menyangka seseorang mengagumi rambutnya. Kebiasaannya memakai jumper kemanapun dia pergi, membuat banyak orang tak menyadari bahwa dirinya mempunyai rambut panjang indah yang selalu tersembunyi di balik kerudung jumpernya.

" Mempunyai rambut panjang di saat dunia dipenuhi oleh zombie malah hanya bikin repot!" Keluh Nadia. 

Lili mulai kembali menggigiti paha ayam, mengunyah dengan ekspresi belum mengerti apa yang diucapkan Nadia.

Nadia mengelus ubun-ubun kepalanya. Kemudian dia mengernyit menahan nyeri. "Di luar sana rambutku dijambak oleh salah satu zombie hingga merontokkan beberapai helai. Rasanya masih sakit hingga sekarang." 

Lili memperlihatkan rona keprihatinan saat mendengarnya.

Setelah mengupas telur asin, Nadia melahap bulatan putih telur utuh itu langsung. Lalu karena terlalu terburu-buru dalam menelan, Nadia tersedak. Dia langsung menghabiskan satu gelas air putih untuk mengguyur kuning telur yang biasanya sering melekat di jalur tenggorokan. Setelahnya muncul suara yang tak terduga berasal dari perut Nadia. Krrryyukk kkkrruuyyuukk....

Lili terkejut mendengar suara itu. "Eh, kakak masih lapar ya?"

"Eh..., aku sendiri juga tidak mengerti mengapa nafsu makanku jadi meningkat drastis," Nadia menggaruk kepalanya. Bola matanya bergerak-gerak ke sekeliling tak berani memandang Lili karena malu.

"Ini...," Lili menyodorkan piring hidangannya kepada Nadia. "Aku lagi tidak berselera makan. Kakak bisa mengambil bagianku."

"Tapi...," Nadia agak sungkan dan merasa tidak sopan. Meski hatinya menolak berlandaskan etika, namun tatapannya tak mau lepas dari nasi goreng, telur orak-arik, tempe serta tahu yang menjadi lauk. Dia menelan ludah. Dari porsi hidangan yang tersaji, jelas Lili hanya memakan paha ayam gorengnya saja.

KILLING THE MOONLIGHTWhere stories live. Discover now