Epilog

8K 764 99
                                    

Orang-orang mengatakan kalau wajahku mirip ibundaku. Terutama mata dan hidungku. Aku sama sekali tak tahu dari mana para selir ayahanda mendapatkan kesan seperti itu. Semenjak lahir aku tak pernah melihat wajah Ibundaku barang sejenak pun bahkan sampai usiaku sudah beranjak 8 tahun pun, beliau tak pernah terlihat. Mungkin memang seperti kata para dayang dan kasim, Ibundaku kabur dan membuangku.

Istana tempat kediamannya pun tak terlihat adanya manusia. Istana itu tak pernah dihuni siapapun walau setiap beberapa tahun jumlah selir Ayahanda terus bertambah. Anehnya, tak ada satu pun yang menjadi Ibunda Permaisuri baru. Setiap hari Istana itu akan dibersihkan dan dibiarkan begitu saja. Aku pernah menyelinap masuk ke dalamnya. rak-raknya terisi porselen, giok-giok ukiran serta buku-buku, perhiasan perempuan dibiarkan tergeletak diatas meja rias bagai kehidupan sehari-hari masih berlangsung di sini. anehnya, bukannya merasa takut aku malah nyaman berada di Istana ini. Setiap bagian tempat ini terasa begitu familiar. Terutama ranjang berlapis kain satin tersebut. Saat moodku kurang bagus, aku akan berkunjung ke tempat ini.

Ayahanda sering mengunjungiku ketika luang. Ia dan Ibunda Selir Jing De akan menghabiskan waktu mengajariku beberapa pelajaran yang tak ku mengerti. Ayahanda tak pernah menunjukkan kedekatannya dengan Ibunda Jing sekali pun di hadapanku. Suatu kali pernah ku saksikan Ibunda Jing tak sengaja menyentuh tangan Ayahanda. Ibunda Jing tersenyum malu, sementara Ayahanda hanya tersenyum singkat membantu ibunda mengambilkan kuas menulis dan melepaskan tangannya dari Ibunda Jing.

Namaku Guang Xi. Kata Ibunda Jing,  namaku pemberian langsung Ayahanda saat diriku dibawa kehadapannya. Xi berarti harapan, tetapi sampai sekarang pun aku tak mengerti harapan apa yang dimaksud Ayahanda dalam diriku. Ayahanda selalu membawaku menghadap suatu kuburan di dalam makam keluarga setiap  tahun pada hari yang sama. Entah siapa yang terkubur di dalamnya, wajah ayahanda selalu di penuhi kesedihan dan mata muram saat berkunjung kesana. Aku tak berani bertanya hingga saat ini. rasa penasaran di dalam hatiku pun bertambah setiap tahunnya.

Aku bersujud di makam orang itu. aku mencuri pandang pada Ayahanda berharap suasana hatinya tidak seburuk tahun lalu. Dia sedang menatap batu segel makan dan . . .  tersenyum? apakah aku slaah lihat? aku menegakkan tubuh, menepuk-nepuk debu yang menempel di lengan bajuku sekali lagi memusatkan penglihatanku pada sosok berbalut baju satin hitam bersulam naga emas Ayahanda. Benar, tak salah lagi beliau memang sedang tersenyum. inilah kesempatan terbaik untukku!

aku melangkah pelan menuju sisi Atahanda. Aku mendongak menatap wajahnya, sepertinya ia  tak menyadari kehadiranku. Ku gapai lengan bajunya yang lebar itu dan ku tarik-tari ringan. Ayahanda menoleh menatapku dengan tatapan heran.

"Ada apa Xi?" tanya Ayahanda selembut biasanya.

Aku menelan ludah, "Ayahanda . . . Siapa . . . yang berada dalam makam ini?" tanyaku takut-takut.

Aku menatap wajah Ayahanda. Ia terdiam setelah mendengar pertanyaanku. wajahnya kembali muram dan hatiku ikut tenggelam menyadari tak ada jawaban yang akan ku dapatkan hari ini. Mungkikah selamanya aku tak akan mendapatkan jawabannya?

"Dia Ibunda Kandungmu," suara Ayahanda membuyarkan lamunanku. "Ibunda Permaisuri-mu." Aku menatap lekat-lekat wajah ayahanda.

Baru kali ini ku dengar Ibundaku disebut dari mulut Ayahanda. namun kenapa ekspresinya begitu pahit? kali ini ia berjongkok di hadapanku, ia mengelus rambutku seperti biasanya.

"Ibundamu adalah wanita yang hebat. Ia berakhlak mulia dan cantik, perempuan yang tak akan pernah tergantikan di dunia ini," Ayahanda tersenyum, "Kau tahu kenapa namamu Xi?" disini aku menggeleng polos.

"Karena kau adalah harapan ibumu. Ia mempertaruhkan hidupnya demi kau. ia mengharapkan kehadiranmu. Ayahanda yakin, ia tak pernah menyesali keputusannya melahirkanmu bahkan akan terus mendo'akan dirimu di surga," mata Ayahanda memerah.

Ayahanda memelukku. ku edarkan tatapanku pada segel makam dihadapan kami. hatiku menghangat ketika ayahanda mengatakan hal itu. Aku bukanlah anak yang dibuang ibunda, beliau akan selalu melihatku di surga. Suatu aliran hangat tumbah di dalam hatiku. tanpa sadar air mata berlelehan dari mataku.

Strangest Empress Ever [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang