Bagian 5

6.7K 703 33
                                    

Yun mengetuk-ngetukkan ahjari tangannya pada meja kayu merah di sampingnya. Ia menatap lekat pemandangan dihadapannya dengan jenuh. Yun memindahkan tangannya yang sedang mengetuk itu ke balik mantel bulu musangnya. Ia merapatkan tangan kedinginannya seraya menatap berkeliling. Dimana sosok dayang Ning berada? Beberapa jam lalu ia baru saja mengirimkan surat pertemuan melalui burung merpati pada dayang Ning

Yun khawatir surat itu tak akan sampai. Ia meragukan burung-burung itu. Di zamannya burung-burung merpati ini hanyalah hewan liar biasa di lapangan atau pun santapan lezat pengiring minuman keras. Jauh sekali fungsinya dengan zaman ini. Kenapa orang zaman ini lebih mengandalkan seekor makhluk berotak kecil daripada manusia yang nantinya akan dijuluki tukang pos oleh orang-orang abad dua puluh satu. Yun menggigit bibir bawahnya, jangan-jangan hewan kecil itu telah berubah menjadi daging panggang dan tengah berada dalam perut orang lain? Ataukah lebih buruk lagi, di tengah jalan burung itu kebetulan bertemu seekor burung betina lantas mengikutinya dan melupakan surat yang harus di antarnya.

Yun mendengus kesal. Dasar Merpati mata keranjang! Sia-sia saja dirinya menuggu di sini jika semua praduganya benar. Yun berdiri menopang pinggangnya. Ia menaikkan tudung kepalanya. Tepat saat ia akan melangkah, sesosok perempuan dengan mantel katun kapas putih yang membawa lampion berjalan ke gazebo. Kepala dayang Ning membungkuk memberi hormat padanya.

Yun melepas tudungnya. Ia berjalan kembali ke depan meja kayu dan duduk ke tempatnya semula perlahan-lahan.

"Kau terlambat, kepala Ning," kata Yun malas.

"Maafkan hamba, Yang Mulia. Gadis-gadis pelayan di sekitar ruang tidur hamba tak juga beranjak ke kamar sehingga hamba harus menunggu hingga anak-anak itu kembali," jawab dayang Ning sopan.

"Sudahlah, yang terpenting kau sudah datang," Yun merongoh saku dalam bajunya dan mengeluarkan kantong merah bersulam sakura, "lihatlah isinya. Ben gong ingin meminta pendapatmu," Yun memberikan kantong tersebut pada Kepala Pengurus Ning.

Ning menerimanya dengan wajah tertunduk, lantas membuka dengan alis berkerut. Kerutan di keningnya bertambah dalam saat benda di dalam kantung tersebut terlihat dengan jelas.

"Yang Mulia . . . bukankah ini adalah bulu kucing hutan? Apa ada masalah dengan bulu ini?" Dayang Ning menatap Yun keheranan.

Yun menatap dayang Ning dengan keseriusan yang tak pernah diperlihatkannya sebelumnya. "Ini adalah benda terjatuh dari pelaku yang membekapku," Yun menepuk kursi lantai di sebelahnya, mengisyaratkan Ning agar duduk.

Dayang yang menjadi kepala pengurus harta itu membungkuk hormat. Ia berjalan menunduk ke kursi lantai di samping Yun dan duduk di sana degan patuh. Yubn memasukkan tangannya yang kedinginan ke balik matel dan memegang penghangat tangan yang sudah mulai dingin. Remang-remang lampu lampion bertebaran di wajah Yun yang sedang menerawang jauh bagai kelam lautan yang tak dapat di duga.

"Siapa saja di istana ini yang memiliki bulu kucing hutan seperti itu?" Tanya Yun pada akhirnya.

"Berdasarkan jurnal rekapan harta yang hamba ingat, terdapat 3 helai besar bulu kucing hutan yang tercatat. Yang Mulia Raja memberi ke permaisuri, Jing De furen, dan An Shu furen masing-masing satu helai," kata Dayang Ning seraya menatap arah bawah.

Yun mengalihkan tatapannya menatap kejauhan langit malam hitam kelam itu. Ia menghela napas pelan. Benarkah hati perempuan-perempuan ini sekelam langit malam? Bertahun-tahun lalu Yun pernah menonton suatu film dokumenter bercerita asal-usul 'asinan manusia' dimana merupakan salah satu hukuman terkejam dalam sejarah. Dokumenter itu berisi kisah keji setelah kematian kaisar dinasti Han yang pertama. Dimana permaisuri Lv (baca Li) dinobatkan sebagai ibu suri lantas memerintahkan mencabut lidah selir kesayangan kaisar Liu Bang, bahkan mencongkel mata selir tersebut tak hanya itu telinganya bahkan di potong.

Strangest Empress Ever [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang