Bagian 6 part 2

7.8K 706 62
                                    


Istana Kecermelangan Abadi dipenuhi wangi pembakaran dupa. Ruangan utama yang sebelumnya berhias barang mewah kini dikosongkan dan di pasang kain-kain putih tanda berduka. Para selir yang biasanya berbaju bagus mengubah penampilan mereka. Semuanya mengenakan baju katun putih, mereka mengikat rambut mereka dengan kain putih serendah bahu dan tak mengenakan perhiasan apa pun lagi. suara isak tangis para selir memenuhi ruangan, mata mereka bengkak berair karena kesedihan ataukah asap dupa yang menyengat tak dapat dipastikan.

Papan berukir nama An diletakkan di atas meja persembahan, aneka kue dan buah kesukaannya semasa hidup diletakkan di atas meja, berjejeran rapi. Wadah dupa berbahan perunggu itu berhias safir biru dan mutiara. Peti mati besar hitam diletakkan di belakang meja persembahan di tutup kain putih bertulisan duka dalam aksara kuno. Yun melangkah lebar menuju ruang penuh duka tersebut. Asap dupa memabukkan dan tajam menusuk penciumannya. Matanya bagai di sengat bawang merah, air mata berlomba keluar dari pelupuk matanya.

Yun menyeka matanya yang nanar dengan lengan baju kuning beras sepinggangnya. Ia mengenakan baju tanpa pengingat ketat sepanjang tumit. Walau sudah di katakan seorang permaisuri tak perlu mengikuti acara berkabung seorang selir, Yun tetap ingin pergi. sekalipun semasa hidup An Shu berlaku tak baik padanya, Yun memilih memaafkan semua tindakannya. Perempuan itu telah mati, segalanya tak patut di bawa-bawa saat orang telah tiada. Yun mengenakan sanggulan tinggi berhias jepit perak bentuk capung dan bunga seadanya demi menghormati acara berkabung An Shu.

Yun sudah 3 hari di tahan para pelayannya di dalam istana. Keinginannya untuk datang melayat selalu ditolak. Saat ia berkeras para dayangnya selalu mengatakan hal seperti ini tak bagus bagi bayi dalam kandungannya. Hingga hari ini, ia mengarang-ngarang alasannya dengan mengatakan athlaknya sebagai permaisuri akan di anggap buruk, hingga menyangkut hubungannya dengan raja, baruhlah para pelayannya terdiam dan bergegas mempersiapkan keberangkatannya.

Yun berhenti tepat di depan meja persembahan, para pelayan, kasim, dan selir berlutut menghormat padanya saat ia memasuki gedung besar tersebut. Yun membuka mulutnya bermaksud membicarakan sesuatu, kepulan asap dupa tebal diatas altar menggelitik tenggorokannya. Yun terbatuk-batuk beberapa saat.

"Berdirilah . . . . semuanya," guman Yun di sela batuknya.

Ling'er menyodorkan selembar sapu tangan pada Yun. Ling'er yang berdiri di belakangnya itu menepuk-nepuk punggung Yun bermaksud meredakan sedikit penderitaan majikannya. Yun menutup hidungnya dan terbatuk sekian detik, untuk membiasakan diri berada di dalam asap menyengat ini. Yun melepaskan sapu tangan dari hidungnya. Ia menoleh dan tersenyum kecil pada Ling'er yang matanya juga berair tapi ekspresi wajahnya khawatir. Yun menerima dupa yang diberikan seorang kasim dengan baju serba putih. Lantaran statusnya lebih tinggi dari An, Yun hanya berdiri dan berdoa saja, setelah itu dupa tersebut ia berikan pada kasim pendek bermata sipit. Yun berbalik, tatapannya terjatuh pada sesosok anak perempuan kecil mengenakan baju putih dan topi rajut dari jerami memanjang. Anak itu mungkin berusia 4 atau 5 tahun, mata anak itu benar-benar sayu dan bengkak. Ia ditemani 2 orang dayang tua berlutut membakar uang kertas untuk orang di alam sana, wajah gadis itu memerah akibat terus menerus berada di depan baskom perunggu dengan api menyala-nyala. Yun menebak mungkin anak ini adalah anak perempuan An Shu, wajah munggil itu mirip sekali dengan An Shu.

Yun terdiam mengamati anak itu cukup lama. Hatinya teremas menyaksikan putri itu. Kini gadis munggil itu harus hidup sendirian di dalam istana berbeda tanpa kehadiran seorang Ibunda menemaninya. Yun mendesah pelan. Yun tak habis pikir, kenapa perempuan berkepribadian angkuh itu bunuh diri begitu saja? Benarkah karena raja tak berkunjung ke tempatnya lantas ia frustasi dan memutuskan bunuh diri ataukah . . . . seseorang membunuhnya. Rasa dingin menjalar dari punggung Yun, tangannya juga ikut mendingin. Jika memang kemungkinan seperti itu, kemungkinan juga dirinya ada dalam bahaya. Kejiwaan pelaku itu mungkin sudah tak stabil atau menggila. Yun mengalihkan tatapannya pada sosok agung di sudut ruangan, perempuan bertampang agung itu tengah menyeka air matanya. Segala tingkah lakunya begitu lembut dan lemah, bahkan wajahnya juga pucat. Apakah Jing De pembunuhnya? Yun tak habis pikir kenapa perempuan itu sampai rela berbuat begitu jauh? Benarkah karena haus kekuasan?

Strangest Empress Ever [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang