"Kita naik sekarang." Nara merasakan Kirana mengetatkan pelukan dilehernya sampai-sampai ia kesusahan mengambil napas.

"Tidak apa-apa, aku akan membantumu." Isakan mulai ditunjukkan Kirana ketika Nara menggeser tubuhnya mendekati tangga besi.

"Baiklah, kita diam disini sampai Papa Sonda datang menyelamatkan kita." Seketika Kirana diam dan tubuhnya berangsur melemas.

Kenapa harus Sonda, kenapa harus selalu dia yang bisa membuat Kirana tenang? Kenapa bukan dirinya yang sebentar lagi akan menjadi Ibu dari bayi yang dikandungnya. Nara tertunduk sedih, ia telah gagal... Ia tidak bisa menangani Kirana seorang diri, bagaimana ia bisa merawat bayinya kelak! Apa ia harus tergantung pada Sonda seperti halnya Kirana? Dengan cepat Nara menggelengkan kepalanya, ia wanita mandiri yang tidak membutuhkan pertolongan siapapun.

"Kau tidak apa-apa?" Tahu-tahu Sonda sudah berjongkok di dekatnya dan berusaha mengambil alih Kirana dari tangan Nara.

"Syukurlah kau cepat datang." Gelagapan Nara memberi jawaban. Tentu saja ia merasa lega atas kedatangan Sonda.

Dengan cekatan Sonda memeriksa keseluruhan tubuh Kirana yang menggigil kedinginan. Ia sempat menarik napas lega ketika melihat tubuh Kirana tidak mengalami luka sedikitpun. Kenapa ia bisa seceroboh itu, membiarkan Kirana bermain sendirian di balkon kamar mereka.

Tatapan Sonda beralih kearah Nara yang sedang menaiki tangga besi untuk keluar dari kolam renang, "kau perlu bantuanku?" Ia merasa amat bersalah melihat Nara yang basah kuyup karena menyelamatkan Kirana. Karena keteledorannya, hampir saja ia kehilangan dua nyawa wanita yang harus dijaganya.

"Tidak apa-apa aku bisa sendiri." Nara menaiki anak tangga satu persatu penuh kehati-hatian.

"Hati-hati tangganya li...cin." Sonda sempat tertegun ketika melihat Nara keluar dari kolam renang dengan pakaian basah yang mencetak jelas lekuk tubuh sempurnanya.

Tidak ada yang lebih indah dari apapun yang pernah dilihatnya. Kesempurnaan tubuh Nara membuat Sonda diam tidak bergerak, lagi-lagi darah lelakinya berdesir dan jantungnya berdegup halus. Nara terlalu indah untuk diabaikan begitu saja, rambut basahnya yang sedikit berkilau terkena sinar matahari pagi membuat Sonda terpukau, silhuet tubuhnya yang tergambar dibalik dress tidur yang dipakainya mampu membangunkan sisi liar yang selama ini ia hindari. Sonda menelan salivanya beberapa kali untuk membasahi tenggorokannya yang tiba-tiba saja kering.

Merasa di perhatikan, Nara dengan cepat meninggalkan Sonda tanpa mengucapkan apapun. Ia terlalu malu dengan keadaannya, ia tidak siap melihat tatapan Sonda yang seolah-olah menelanjanginya. Bagaimanapun juga Sonda seorang pria normal yang memiliki hasrat terhadap lawan jenisnya.

Nara melenggang pergi meninggalkan Sonda seperti seekor bangau, tidak ada kata apapun ketika ia melihat Sonda terpukau menatapnya.

***

Seolah tidak terjadi apa-apa, Nara bersikap sewajarnya meski ia sering kali memergoki Sonda sedang melamun dengan pandangan tidak fokus. Seperti kali ini, ketika Sonda sedang menyisir rambut Kirana di depan cermin meja rias milik Nara. Sonda menghentikan sisirannya yang membuat Kirana protes dan mengambil sisir dari tangan Sonda lalu menyisir rambutnya sendiri.

"Kita tidak akan membiarkan pintu menuju balkon terbuka, selamanya kalau perlu." Nara berdiri di depan pintu balkon yang sebagian besar terbuat dari kaca, ia telah menguncinya dan kuncinya ia pegang lalu ia tunjukkan pada Sonda sambil tersenyum.

Lagi-lagi bayangan Nara yang tersorot matahari membuat Sonda diam seribu bahasa, ia merasa tidak sanggup kalau setiap saat harus di suguhi pemandangan seindah ini. Nara terlalu menggoda untuk diabaikan.

Nara berjalan mendekati Sonda yang langsung membuat jantung Sonda berdebar hebat, "kuncinya kamu yang pegang." Diraihnya tangan Sonda dan diletakkan anak kunci di telapak tangannya. Refleks Sonda menarik tangannya sampai anak kuncinya terjatuh dan masuk ke bawah sofa.

"Maaf," Sonda menunduk mencari anak kunci yang terjatuh, begitupun dengan Nara yang ikut menunduk sampai kepala mereka berbenturan satu sama lain.

"Aww..." Nara dan Sonda sibuk mengusap-usap kepala masing-masing.

"Maaf," Permintaan maaf Sonda malah ditertawakan Kirana. Kirana terkikik melihat dua orang dewasa beradu kepala dan saling menunduk. Kejadian di hadapannya begitu menggelikan menurutnya.

Spontan Nara tertawa di susul Sonda yang juga tertawa menertawakan kekonyolannya sendiri. Kecanggungan mulai mencair setelah Kirana memberikan responsnya.

"Kamu yang angkat sofanya, aku yang akan mengambil kuncinya,"

"tidak masalah." Dengan enteng Sonda mengangkat satu sisi sofa dan menunggu Nara mengambil anak kunci yang tergeletak di bawahnya.

"Kau yang pegang," Nara menyerahkan kuncinya pada Sonda yang telah kembali menurunkan sofanya.

"Apa tidak sebaiknya kau pegang. Aku jarang berada di rumah kalau suatu saat kau membutuhkannya bagaimana?"

"Aku yakin tidak membutuhkan kunci ini." Nara menjawab penuh keyakinan.

"Atau begini saja, kita simpan kunci ini jauh dari jangkauan Kirana." Mata Sonda menatap setiap celah supaya bisa menyimpan kuncinya dengan aman.

"Kotak P3K." Sonda dan Nara menjawab bersamaan dan lagi-lagi membuat mereka kembali tertawa,

"pemikiran kita sama." Ucapan Sonda langsung di iya kan Nara. Sonda lalu berjalan mendekati kotak P3K yang tergantung di dinding persis dekat conecting door yang menghubungkan kamarnya dengan kamar Kirana, ia menaruh kunci balkon didalamnya.

"Kita beri kejutan untuk Kirana sekarang supaya dia melupakan kejadian di kolam renang tadi," Sonda berbalik dan menatap Nara. Sementara Kirana masih anteng menyisir rambutnya yang sudah rapi.

"Ide yang bagus, kita akan mengajaknya kemana?" Nara begitu antusias menyambut ide Sonda.

"Bukan kemana, tapi disini." Ia menunjuk connecting door dan membukanya perlahan. "Kirana pasti akan senang."

***

Seperti dugaan mereka sebelumnya. Kirana begitu senang dengan mata berbinar, ia menuju lemari mainan yang didalamnya berisi banyak boneka lalu meminta Sonda untuk membukanya dan langsung terpekik gembira ketika ia menyentuh satu persatu bonekanya yang berada di bawah.

"Kirana suka?" Sonda dan Nara memperhatikan kebahagiaan Kirana sambil tersenyum.

Kirana mengangguk malu-malu dan kembali fokus pada boneka-bonekanya, ia tertawa senang ketika melihat panda putih pemberian Nara ada diantara tumpukkan bonekanya. Ia mengambilnya kemudian memeluknya erat seolah-olah mereka sudah berpisah lama.

"Mulai sekarang semua ini milikmu dan selamanya akan menjadi temanmu." Tanpa disangka-sangka Kirana berdiri dan menghambur kearah Nara minta di peluk. Nara kaget, ia bergongkok dan menyambut pelukan Kirana penuh suka cita, matanya sampai berkaca-kaca. Tidak ada kebahagian lain selain mendapatkan pelukkan seorang anak kecil dengan tulus.

Tangis tidak dapat dibendung, akhirnya Nara menangis dan memeluk Kirana erat.

Aku akan berusaha menjadi Ibu yang baik sampai kapanpun.

***

Tidak sebanding memang dengan lamanya all readers menunggu. Tapi inilah yang hanya bisa aku tulis, semoga ide kedepannya lancar dan aku dapat melanjutkan dengan cepat.

Minal aidzin wal faidzin mohon maaf lahir dan bathin

HARUSKAH?Where stories live. Discover now