[TRD18 - Di Balik Jeruji Besi]

5.7K 1.5K 237
                                    

Di balik pintu yang ditunjuk Inspektur, terdapat sebuah area besar yang dipisahkan dengan jeruji-jeruji besi hitam, membentuk tiga penjara kecil untuk menahan pelaku kejahatan sementara waktu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di balik pintu yang ditunjuk Inspektur, terdapat sebuah area besar yang dipisahkan dengan jeruji-jeruji besi hitam, membentuk tiga penjara kecil untuk menahan pelaku kejahatan sementara waktu. Penjara pertama diisi oleh bajingan GS kecuali Robby, yang kuduga sedang dirawat karena dipukuli secara brutal oleh Dhimas. Penjara kedua kosong. Dan di ruang ketigalah kami menemukan tiga idiot itu. Selain mereka, ada juga empat anggota KVLR lainnya yang ikut terseret.

Anggit langsung berlari dan meraih tangan memar Dhimas yang terulur. Dhika hanya duduk menatap keluar lewat jendela kecil yang ada di sana. Sementara Ruben hanya menunduk menatap lantai kantor polisi. Entah apa yang ada dalam pikirannya.

Seolah paham, seorang petugas sipir di sana langsung ngacir entah ke mana, memberi kami privasi. Aku berjalan ke dekat Ruben. Sedih juga melihat kembaran idiot itu hanya menunduk nelangsa memperhatikan semut di lantai.

"Kan udah gue bilang, lo harus berhenti." Aku bersandar pada dinding, ikut menghitung jumlah ubin.

"Dan udah gue bilang, gue nggak tau gimana caranya." Ruben membalas dingin. "Kalau lo dateng ke sini buat ngasihani gue, mending lo pulang."

"Eh, idiot, gue susah-susah dateng ke sini, lo malah ngusir."

"Gue nggak minta lo dateng, bego." Ruben menatapku dengan sorot tajam. Namun sekilas, aku menangkap ekspresi lain—takut. Ruben sama takutnya denganku. "Lo boleh kok, pulang dan ngelupain gue. Toh gue cuma kembaran idiot lo yang kerjaannya nyusahin doang. Ngabisin duit bokap doang. Tanpa gue pun, kalian akan baik-baik saja."

Entah kenapa, ruangan ini rasanya sepi sekali, dan kami jadi pusat perhatian semua orang di sini. Tapi aku tidak peduli lagi, karena kalimatnya barusan membuat hatiku seketika mencelus. Tanpa gue pun, kalian akan baik-baik saja.

"Nggak, Ben, tanpa elo, kami nggak akan baik-baik aja," semburku. Mendadak emosiku meluap.

"Gue—"

"Tanpa lo, gue, kembaran bego lo ini, nggak baik-baik aja." Tanpa sadar, suaraku meninggi. "Lo sadar nggak sih, kalau gue masih ngasih elo duit, masih ngebiarin lo nggak pulang, itu karena gue sayang sama lo? Lo nggak tau kan, kalau gue capek hidup sendirian di rumah tanpa ada yang gangguin gue? Lo nggak ngerti kan, kalau gue takut banget masuk ke sini karena gue takut gue bakal nangis liat lo dipenjara?"

Sial, air mataku berhasil menetes. Ruben menatapku tanpa berkedip. Matanya pun menyiratkan luka, yang justru membuatku semakin teriris.

"Gue kangen elo, idiot."

Aku berbalik, meninggalkan ruangan itu. Dan di kamar mandi, aku menangis, membiarkan diriku hancur sejadi-jadinya.

[1] The Real DealTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang