Envy (Part 1)

1K 45 10
                                    

by Sierra Louiza 

wattpad: http://www.wattpad.com/SierraLouiza

     Pesta berlangsung sangat meriah. Semua orang tampak menikmati suasana pesta. Saat semua orang asik berdansa diiringi alunan musik merdu nan melankolis, dia berjalan ke tengah kerumunan orang di lantai dansa. Layaknya seorang ratu, dia tidak perlu mempercepat langkahnya. Dia berjalan lambat-lambat penuh keanggunan juga kesombongan yang tak mungkin pernah bisa lepas dari sosoknya. Orang-orang disekitarnya bahkan rela menyingkir demi memberinya jalan seolah mereka tau itulah yang sepatutnya dilakukan.

     Semua orang di kanan kirinya memandang takjub kearahnya, terpesona akan aura yang dia pancarkan. Keanggunan, kekuatan, kesombongan, dan intimidasi. Semua ada jadi satu dalam sesosok yang dibalut gaun sutra lembut berwarna merah darah, seolah mempertegas dominasinya. Namun tatapan matanya hanya tertuju pada satu orang, yaitu pemuda yang berdiri di ujung jalan setapak yang telah dibukakan oleh orang-orang di sekitar lantai dansa. Pemuda itu telah mengamatinya sedari tadi. Tatapannya terkunci pada sosok wanita anggun yang kian mendekat ke arahnya, berdiri diam seolah kehilangan apapun yang menyebabkannya berada ditempat itu selain menanti wanita itu menghampiri. Dia menelan ludah saat si wanita sampai di dekatnya lalu mencondongkan bibir merah darah ke telinga si pemuda.

     Jantungnya berpacu saat dia membisikkan kata itu. Hanya satu sapaan kecil namun telah mampu membuatnya bagai terhipnotis. Masih dengan posisi condong si wanita melirik ke sebelah kanan pundak sang pemuda ke arah seorang gadis yang berdiri jauh di seberang meja saji memandang nanar ke arah mereka. Sang pemuda mengikuti arah pandangan si wanita lalu keduanya pun bertemu pandang. Si wanita membisikkan kata-kata lagi ke telinga pemuda tanpa susah-susah membuatnya berpaling lagi padanya.

     “Ikutlah denganku. Tinggalkan dia.”

     Sesaat sang pemuda tampak bimbang. Namun tidak butuh begitu lama untuk sang pemuda mengikuti langkah si wanita menjauh dari tempat itu. Wanita itu bahkan tidak bersusah payah menengok ke belakang untuk memastikan si pemuda mengikutinya. Dia tau pemuda itu akan mengikutinya.

     Si gadis menggeleng-gelengkan kepalanya tanda tak percaya lalu dia pun berlari keluar pesta dansa membiarkan minumannya tumpah di gaunnya. Seulas senyum kecil tanda kemenangan menghiasi wajah si wanita tanpa si pemuda bisa melihat. Namun bilapun pemuda itu melihatnya dia tidak akan perduli lagi karna pemuda itu telah sepenuhnya terjerat dalam genggaman si wanita.

     Kini mereka telah berada di sudut terjauh pesta dansa. Berdiri berhadapan di udara terbuka, tengah berdansa di atas sebuah gazebo mengikuti alunan musik samar dari dalam ruangan. Pemuda mengamati cara si wanita memposisikan dari, bergerak tanpa canggung dari sisi ke sisi tanpa khawatir kakinya yang mengenakan sepatu bertumit tinggi akan tersandung gaunnya sendiri. Seolah dia telah biasa melakukannya ratusan bakan ribuan kali dalam ribuan malam dan ribuan pesta dansa.

     Pemuda menambatkan matanya ke mata sang wanita yang hanya sejengkal di bawahnya. Menyadari bahwa wanita itu mungkin lebih tua darinya. Tetapi sulit untuk menebak berapa sesungguhnya umur si wanita. Mungkin dua tahun diatas umurnya atau bisa jadi sepuluh tahun lebih tua dari si pemuda tetapi juga bisa jauh ribuan tahun lebih tua dari yang bisa dibayangkan. Tidak ada yang pernah tau hal sesungguhnya dari sang wanita selain hanya kecantikan abadi dari waktu yang seolah dibekukan.

     Selama sesaat mereka hanya diam dan berdansa. Lalu wanita itu mengeluarkannya lagi. Sebuah suara yang keluar dari bibir penuh yang semakin bertambah merah.

     “Kau sadar telah meninggalkannya demi aku kan?”

     Sang pemuda hanya mengangguk.

     “Kau tau betapa hancurnya dia saat kau memilih mengikutiku.” Kali ini bukan pertanyaan, tapi sang pemuda mengangguk lagi tanda persetujuan.

     “Dia bisa saja sedang meraung-raung di luaran sana tanpa tujuan dan bertindak tanpa pikir panjang.”

     Sang pemuda menelan ludahnya pahit namun tidak berhenti berdansa dengan si wanita. Wanita itu tersenyum pada si pemuda. Senyumannya menancapkan es tepat ke jantung si pemuda. Tetapi itulah dia, racun yang tidak bisa kau tolak minum. Belati yang tak bisa kau tolak untuk pegang.

     “Tidak ada jalan untuk kembali.” Suaranya berubah menjadi bisikan parau. “Dia telah hancur. Kau telah menghancurkannya. Dan sekarang, sebentar lagi, kau juga akan ikut hancur.”

     Sang wanita melepaskan diri dari dekapan sang pemuda. Perlahan beringsut menjauh.

     “Tidak. Tunggu, jangan tinggalkan aku.”

     Tatapan mata mereka masih saling beradu saat dia meluncur santai hingga sang pemuda merasakan ujung jari si wanita lepas sepenuhnya dari genggamannya. Hanya satu dari wanita itu yang masih tertinggal di tangan sang pemuda. Sebuah belati berukir dari perak, tajam dan berkilauan di bawah sinar rembulan. Pemuda itu menatap nanar ke telapak tangannya.

     “Kumohon jangan tinggalkan aku. Aku belum tahu namamu. Jangan lakukan ini padaku.”

     Sang wanita berjalan semakin menjauh. Mendengar ibaan sang pemuda di belakangnya bagai alunan musik merdu di telinganya.

     “Kumohon kembalilah, aku telah mencampakkannya. Aku tidak punya apa-apa lagi.”

     Wanita itu terus berjalan, mengigat setiap langkahnya adalah kematian bagi sang pemuda.

     “Lakukan.. lakukanlah...”

 

     Dan malam ini dia tau bahwa tidurnya akan terasa nyenyak sampai tiba permainan selanjutnya.

The AntagonistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang