00:14

61.8K 9.9K 1.3K
                                    



"Nanti gue ke sana kok. Sorry, ada urusan bentar," kata Jaebi pada telpon, kemudian menutup sambungan dengan si ketua OSIS Ezra. Pemuda itu mendesah, menoleh pada teman-temannya yang sibuk mengemasi barang-barang di lab kimia.

Setelah jam pelajaran ini, beberapa akan dispen untuk persiapan pensi. Seperti Haylie, Jevon, Hanbin, Hanna, dan Jaebi yang jadi panitia pensi. Kesempatan Jaebi hanya sekarang. Pemuda itu sedari tadi mencari waktu yang tepat.

Satu persatu mulai keluar. Jaebi beranjak dan melangkah, menghampiri Jevon yang sibuk menyampirkan ransel ke pundak.

"Jev, gue mau ngomong," kata Jaebi begitu saja, menahan Jevon yang ingin berbalik pergi.

Jevon menoleh. Alisnya berkerut, jadi berhenti dan kini berhadapan dengan Jaebi. Theo dan yang lain sempat menoleh keduanya kenapa tak keluar lab, tapi tak terlalu mencemaskan dan pergi meninggalkan mereka. Jaebi melirik, melihat Jesya dan Yena masih di dalam lab.

"Kenapa Jeb? Penting?" tanya Jevon melihat jelas pemuda itu ingin bicara empat mata dengannya.

"Hm," Jaebi mengangguk. Pemuda itu mendesah ketika akhirnya Jesya dan Yena pergi keluar lab. Menyisakan ia berdua dengan Jevon.

"Paan nih? Gue jadi salting," racau Jevon menyeletuk.

Jaebi hanya menanggapi dengan senyum tipis. "Tentang Selgie," kata Jaebi tak berbasa basi membuat Jevon tersentak dengan raut wajah yang berubah drastis.

Jevon melirik ke arah pintu, memerhatikan masih ada bayang beberapa orang di sana. Ia membasahi bibir bawah, kemudian menoleh lagi pada Jaebi. "Kenapa tiba-tiba bahas Selgie?" tanyanya jadi terdengar lebih serak dan rendah.

Jaebi merapatkan bibir sejenak. "Mungkin lo cuma pengen temenan biasa. Tapi biar gimanapun, elo udah punya Jane. Harusnya lo hargai Jane, Jev," kata Jaebi terdengar kalem. "Jangan bawa-bawa Selgie terus."

Jevon mengangkat sebelah alis, "kayaknya ini masalah gue sama Jane deh, Jeb," katanya menyindir halus. Walau memang sering memecahkan masalah bersama, namun 2A3 tau betul akan batas privasi tiap anggotanya. Jevon merasa kali ini Jaebi, entah kenapa, jadi terkesan melewati batas itu.

"Hm. Gue juga bukan guruin lo atau ikut campur tentang lo sama Jane," sahut Jaebi tenang. Ia diam sejenak, memandang Jevon lurus.

"Tapi ini bukan tentang lo berdua, kan? Ada orang lain yang dianggap sebagai orang ketiga di sini. Gue nggak bisa biarin itu."

Jevon terdiam. Pemuda itu tertegun. Cukup lama. Ia mengerjap, agak berdehem canggung. "Gue sadar belakangan ini lo sering sama Selgie. Tapi gue nggak tau kalian sedekat ini?" tanyanya mencoba tak terdengar kaku dan tetap santai menatap Jaebi.

Jaebi menipiskan bibir. "Dia sahabat gue," katanya dengan intonasi belum berubah, masih terdengar kalem. "Gue nggak mau ada salah paham antara Selgie sama lo berdua. Apalagi di sini kesannya Selgie yang salah, bukannya wajar kalau gue belain dia?"

Jevon mengangkat alis mendengar itu.

"Elo temen gue, Jev. Gue tau lo cowok baik. Jadi jangan nyakitin Selgie terus," ucap Jaebi serius.

Waketos itu menarik nafas, menghela nafas pelan. Ia memberi tatapan jika obrolan mereka sudah selesai, kemudian berbalik dan beranjak lebih dulu.


"Elo suka ya?"


Jaebi terkejut. Ia yang baru sampai di pintu menoleh kaget membalas tatapan lurus Jevon.

"Elo suka sama Selgie?"

Jaebi diam. Tak langsung menjawab. Pikiran dan suara hatinya langsung bertengkar, berseteru dilema apa yang harus dilakukan cowok itu sekarang. Keduanya di pihak berbeda, membuat Jaebi terdiam dan menghindari tatapan Jevon. Merasa goyah begitu saja, merutuk kenapa tiba-tiba ia yang selalu tau apa yang harus dilakukan, kini jadi tak berkutik diam.

"Jeb?" suara serak Jevon terdengar, menuntut jawaban.

Jaebi menarik nafas dalam, menghembuskan pelan. Pemuda itu berdehem kecil, kemudian menggerakkan kepala menatap Jevon tepat. Ia mencoba meyakinkan diri dan menyahut dengan intonasi tenang.

"Hm. Gue suka."

Jawaban itu membuat Jevon tersentak. Walau sudah berekspetasi, tetap saja Jevon tak menyangka Jaebi akan mengiyakan.

Jaebi mendesah lagi, menatap Jevon serius. "Jadi lo tau kan harus apa?" tanyanya penuh arti.

Jaebi menipiskan bibir, kemudian berbalik dan melangkah keluar lab lebih dulu. Jaebi mendecak kecil, berjalan di koridor dengan perasaan mulai gundah. Ia menggeram kecil, frustasi sendiri.

Ah, sial. Sekarang dia jadi cemas. Jangan sampai ia dan Jevon akan jadi canggung karena jawabannya yang jelas menantang. Jevon bukan hanya sahabat Jaebi. Jevon adalah bagian dari keluarga 2A3, keluarga Jaebi. Tak seharusnya Jaebi menyinggungnya begitu.

Tapi di sisi lain... Ini adalah Selgie. Jaebi tak bisa diam jika gadis itu disakiti. Selgie selama ini sudah menjaga jarak sejauh mungkin untuk menyembuhkan hati. Lalu kenapa Jevon selalu mengusiknya? Jelas sekali di sini siapa yang salah dan bertingkah bodoh.

Jaebi melengos keras, merogoh hape untuk menghubungi Ezra menanyakan keberadaan ketuanya tersebut. Ia mengangkat alis, saat baru menyalakan layar muncul jam digital dengan angka kembar.


11:11.


Pemuda berhenti melangkah. Garis wajahnya berubah begitu saja. Kelopak matanya menyendu. Ia diam sendiri, tak tahu harus mengucap permintaan apa. Sepertinya, saat ini lebih dari satu permohonan yang ingin ia kabulkan. Pemuda itu hanya membatin nama Selgie, tak mengucap kata lainnya.

Sebuah pop-up message muncul. Membuat matanya membulat, membaca nama adik kelas mengirimnya pesan.







Faili: kak jaebi, aku mau ngadu sesuatu





Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


2A3: 11.11 ✔ ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang