Duasatu

8.5K 451 22
                                    

Pagi itu, Vira menunggu resah di teras rumahnya. Berharap dia cepat datang ke rumahnya. Dan motor merah itu akhirnya sampai juga. Dimas segera melepas helmnya dan menghampiri Vira.
"Vir, sorry gue-"

"Iya gapapa, yaudah yuk." Ajaknya bersemangat, karna ia sudah menunggu hal ini sejak dulu. "Vir, sorry gue gak bisa nganter lo."

Vira menatap kaget ke arahnya. "Gimana sih, Dim? Wirya udah nunggu dari tadi!" kesalnya. Dimas menatapnya dengan penuh penyesalan. "Gue disuruh sama nyokap buat anter kaka gue cek ke dokter. Lo tau kan kaka gue lagi hamil?"

"Yaudah gih sana." Jawabnya singkat membuat Dimas kesal. "Gini aja deh, lo mau ketemuan sama Wirya, kenapa gak dia aja yang jemput lo? dia kan pacar lo!" protesnya kesal.

"Dia gak ada motor di rumah! Makanya dia nyuruh ketemuan di taman deket rumahnya," jawab Vira tak kalah kesalnya. "Yaudah sana gih, naik apa kek."

"Ya lo ngapain masih disini? Gue gak butuh, sahabat kaya lo!"

Dimas meringis mendengar ungkapan Vira waktu itu. Masa lalunya terputar kembali bersama Vira. Dulu, mereka adalah sahabat yang paling bahagia di Sekolah menengah pertama. Senang, sedih, bahagia, susah, semua mereka lewati. Tapi setelah Vira mengucapkan ungkapan itu, Dimas merasa ia tidaklah pantas menjadi sahabat dari seorang Ayasha Alvira lagi.

"Lucu, dari dulu gue yang suka dia, sekarang dia yang suka gue." guraunya di kamar. Dimas lalu menatap bingkai foto di meja belajarnya. Terlihat disana, ia dan Vira sedang tersenyum lebar sambil saling merangkul. Sengaja ia taruh di meja belajar, katanya biar semangat.

"Vir, napa lo harus jadi sekretaris OSIS sih? kan kesel ngeliat lo berduaan sama Reyhan." Resah Dimas.

"Coba dulu kaka gue gak hamil, pasti sekarang kita masih tetep sahabatan. Kaka gue ribet sih, baru nikah udah hamil. Napsu bener. Ya gak Vir?" seperti orang gila, ia berbicara sendiri pada foto itu. "Terus gimana nih, Vir? Kalo gue suka lo terus lo suka sama gue, gue harus apa?"

TEMBAK LAH ANJAY #author-emosi

Tak lama Dimas mendapatkan ide lalu tersenyum menyeringai.

***

Setelah mengungkapkan itu, wajah Dimas menatapnya kaget sekaligus tak percaya. Vira yakin apa yang di ucapkannya. Karna semenjak ia berpacaran dengan Wirya, sifat Dimas turun drastis. Dimas yang perhatian, penyayang, dan humoris itu lenyap tiba-tiba. Ia lalu percaya, jika terus bersahabat dengannya, justru akan terus menyakiti keduanya.

Dimas segera pergi dari hadapannya tanpa mengucap sepatah kata pun. Vira lalu berniat mencari kendaraan umum yang bisa mengantarnya menuju taman rumah Wirya. Akhirnya ia menaiki angkot dengan perasaan yang tak menentu.

20 menit kemudian, ia sampai di taman itu. lalu ia melihat Wirya yang tengah duduk di bangku taman sambil melihat air mancur taman. "Hai, Wir!"

Wirya segera tersadar dari lamunannya. "Eh, hai Vir! Duduk sini." Vira lalu duduk di sampingnya. "Ada apa?"

"Aku mau ngomong sesuatu." Wirya lalu menatap serius ke arahnya.

"Say it,"

Wirya menghembuskan nafas bersiap untuk berbicara. "Kita sampe disini aja ya. Makin lama, kita makin jauh. Kita gak cocok, Vir. Maaf." Katanya dengan raut wajah penuh penyesalan.

Vira mematung di tempat. Seperti di pukul godam, hatinya terasa mati rasa. Ia diam masih mencerna semua kata yang terlontar oleh Wirya. Lalu, satu tetes air keluar melewati pipinya. Wirya yang melihat itu merasa bersalah.

2 malam ia lewati untuk mengambil keputusan. 2 malam juga ia menghindar dari Vira karna fikiran negatifnya. Ia takut. Takut kalau selama ini ternyata Dimas suka sama Vira. Ia takut persahabatan mereka hancur berantakan karna dirinya. Dan akhirnya ia memutuskan untuk mengakhiri hubungannya, agar tidak menyakiti Dimas maupun Vira.

"Vir, gue ngelakuin ini karna Dimas. Gue-"

"Buat apa Wir? Dia aja selalu ngacuhin gue, gak peduli sama gue, apalagi dia gak pernah hadir buat gue. Dia udah pergi, dan sekarang elo. Lo pergi juga Wir, ninggalin gue dalam kesepian tanpa suara." Vira menangis dengan desakan, seakan-akan melepas bebannya. Satu, dua, hingga berkali-kali tetesan jatuh dari mata Vira. Ia lalu menelungkupkan wajahnya pada tangan. Berusaha untuk menutupinya.

Wirya merasa sangat bersalah. Tapi apa daya, jika ia terus bersama Vira. Ia akan terus menyakitinya. Wirya mengelus punggung Vira, berusaha menenangkannya. "Wir, lo mending pulang aja."

"Gak, gue-"

"Pulang, Wir. Gue mau sendiri."

Wirya lalu menghela nafas, "Gue pulang ya. Maaf banget Vir, sekali lagi." Langkah Wirya semakin lama semakin tak terdengar. Tapi tuhan mendengar semua tangisan Vira. Hujan turun mengikuti deras air matanya. Petir menggelegar mengikuti desakannya. Orang-orang segera berlari untuk berteduh. Tapi tidak dengan Vira, ia masih menangis terdesak untuk keretakkan hatinya.

"Dim, lo dimana?!"


























"VIRAA!! ADA TEMEN KAMU NIH!!" panggilan Mamanya menyadarkan ia dari kejadian masa lalu itu. Ia langsung turun dan menghampiri siapa yang datang itu.

"Eh, pembantu baru? Masuk-masuk," Davina langsung memukul bahunya. "Anjir. gue masih sekolah, bor." Vira lalu tertawa. Tapi tawanya berhenti ketika melihat Chris datang dengan satu kantong plastik di tangannya.

"Lu ngapain disini?" tanya Vira bingung.

"Kasian si Dapina disuruh sama lo malem-malem gini. Makanya gue temenin. Ya sekalian berduaan time lah. Hehe." Jawabnya sambil terkekeh. "Modus juga lo, anjir." kesal Davina.

"Eh tapi gue curhatnya sama Davina-"

"Curhat mah curhat aja. Nanti gua dengerin kalo perlu gua kasih solusi. Sans aja gue gak bakal bilang siapapun." Kata Chris meyakini. “Yowes, masuk kuy. Kita ke kamar gue aja.”

Ketua Kelas vs SekretarisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang