Kota Batik

265 62 153
                                    

Kepingan Asa part 1
(Orang-orang yang terjebak)

Kota batik.

***

Denting-denting waktu terus berlagu.

Dengan alunan nada menggiringmu.

Pada masa yang telah lalu.

Mengingatkanmu tentang sebuah janji, yang tak akan pernah mati.

***

10 tahun silam...

Alunan gemericik air sungai yang mengalir mengiringi aduan langkah kaki. Sejuk mulai terasa, saat pepohonan hijau mulai menaunginya. Dimana ada beberapa pohon trembesi tertanam, bentangan kanopinya yang lebar, batang pohonnya yang besar dan mempunyai waktu pertumbuhan yang relatif cepat. Membuat pohon yang mampu menyerap 28 ton karbondioksida pertahun itu menjadi salah satu pohon penghijauan terbaik yang berhasil mengurangi polusi.

Seorang bocah laki-laki menenteng layangan buatan Almarhum Kakeknya dengan senyuman mengembang. Beberapa gigi dari 20 gigi susunya yang tersusun rapi terlihat, saat ia menyengir lebar pada orang-orang yang menyapanya pada jalan-jalan yang dilaluinya. Elektron-elektron kebahagiaan tengah menyengatnya. Membuatnya geli tak keruan. Ia tahu, batang usianya masih terlalu pendek untuk mengetahui apa yang sedang dirasakannya. Namun IQnya yang di atas rata-rata, membuat kedewasaannya tumbuh lebih cepat dari bocah lain pada umumnya.

Ia berlari, membuat jejeran tanaman bambu wulung, simbol khas kota dimana mamanya dibesarkan ini seperti kelebatan hantu dalam film horor yang kemarin malam ditontonnya bersama Cio, tetangganya yang dengan seenak jidat ia juluki si lidi-lidian tengik, karena bodynya yang kerempeng, juga nyali yang sama tengiknya benar-benar membuatnya nyaris seperti replika.

Namun sekalipun begitu, keberanian bocah itu tak menyusut, tak sekalipun gentar mengusiknya. Kaki-kaki kecilnya tetap berpacu. Menyusuri jalanan berumput subur dengan sandal jepit hijau kebesaran yang mengalasi kakinya. Ia ingin segera bersua dengan gadis kecil yang pasti sedang menunggunya.

Bocah tadi mengerem, mempraktikan gaya gesek. Daya yang dikeluarkannya tadi begitu besar hingga saat menghentikan larinya ia hampir saja terjungkal, Beruntung ia berhasil mematahkan gaya gravitasi.

Ia menumpukan telapak tangannya pada kedua lutut, menghirup O2 sebanyak-banyaknya mengingat ketika lari ia hanya sesekali menarik nafas. Ia kembali menegakkan tubuh, disapukan pandangannya ke depan, berjinjit dan menjenjangkan leher layaknya jerapah. Kawanan kerbau yang sibuk mengunyah berjejer melingkar di depannya. Untung ia sempat berhenti tadi, kalau tidak bisa-bisa ia mencium pantat salah satu jenis hewan ruminansia itu.

"Huuuhhh. Untung aja." Ia menyapu peluhnya dengan punggung tangan.

Bocah tadi tak ambil pusing. Ia segera memilih jalur lain, setelah sebelumnya mengucap kalimat.

"Dadahh mas tukang angon kebo. Tambah ganteng aja. Ian duluan yak." Ucapnya sambil dada-dada. Sedangkan mas-mas penggembala kerbau hanya bisa geleng kepala.

Lega. Perasaan itu menyapanya kala ia lihat punggung kecil itu setelah beberapa menit ia berlari, seorang bocah perempuan tengah memunggunginya karena memandang ke arah sungai. Senyuman lebar bocah tadi tiba-tiba mengerut, saat teringat pertemuannya kali ini sama artinya dengan perpisahan, karena mulai beberapa satuan jam lagi, ia harus meninggalkan kota ini, meninggalkan gadis itu.

"La." Bocah laki-laki itu memanggil gadis kecil yang tengah duduk di tepi sungai dengan air jernihnya yang mengalir.

Bocah perempuan itu menoleh antusias, bangkit dari duduknya guna menghampiri sang bocah lelaki, lalu setelahnya ia memberengut kesal.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 13, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Kepingan Asa [PENDING)Where stories live. Discover now