4; Dihukum?

20 1 0
                                    

Jadi, setelah kejadian kemarin, Ara diantar Iil ke halte yang jauh dari sekolah. Iil mencopot jaketnya untuk Ara pakai, dan ia juga melepas kemejanya, menyisakan kaus hitam dekil yang melekat di tubuhnya yang agak berotot. Sehingga tidak ada yang tau mereka berasal dari sekolah mana.

Sampai di halte, Iil memesankan Ara sebuah ojek lewat aplikasi online. Ara kira, dirinya akan berlarian untuk sampai rumah, atau diantar pulang langsung oleh Iil. Nyatanya tidak.

Setelah ojeknya datang, Ara segera naik. Dan saat ingin melaju, Iil malah menahan tangan kiri tukang ojeknya, lalu memberikan dua lembar uang sepuluh ribuan. Ara dibayarin, nih?

Sampai Ara berada di kelas sekarang ini, ia masih menimang-nimang untuk mengembalikan uang Iil atau tidak. Dirinya merasa tidak enak hati. Sebab, kejadian kemarin membuat Iil kerepotan karena Ara. Mulai yang menariknya dari lapangan ke belakang sekolah, melindunginya dari lemparan kerikil dan batu, menemaninya menunggu di belakang sekolah, sampai mengantar ke daerah yang jauh lebih aman dan memesankan ojek online untuknya. Dibayarin pula.

Ara menoleh ke belakang, melihat Iil yang sedang bermain ponselnya sambil menidurkan kepalanya menghadap tembok di atas meja. Padahal saat ini ada Bu Iis yang lagi menjelaskan materi pelajaran PKN. Memang bikin ngantuk, sih. Tetapi, mengetahui fakta bahwa mata Bu Iis itu berkeliaran, banyak murid di kelas Ara yang memaksakan diri untuk tetap tegak melihat ke arah papan tulis. Meski pikiran mereka melayang kemana-mana.

Kayak Ara sekarang ini.

Hingga akhirnya Bu Iis selesai mengajar dan keluar kelas XI IPS-5. Semua teman kelas Ara merasa lega, sekaligus bisa langsung menyenderkan punggungnya ke bangku masing-masing. Eva di belakang, mencolek bahu Ara. Ara menengok, menaikkan sebelah alisnya.

"Anterin gue bayar SPP, yuk," ajak Eva. Ara mengerutkan dahinya, "Fale nggak mau anterin gue, lagi unmood gara-gara pacarnya." sambung Eva setelah mengerti akan ekspresi Ara.

"Yuk."

Mereka berdua pergi ke ruang Tata Usaha untuk membayar uang iuran SPP Eva. Dipergantian jam pelajaran ini, biasanya guru akan telat datang paling tidak sepuluh menit. Jadi, Ara dan Eva tidak perlu takut keluar kelas dijam pelajaran seperti ini.

"Ra, kemarin abis dari toilet, lo langsung pulang?" Eva bertanya mengenai kejadian kemarin.

Ara menggeleng, "Gue ngumpet."

"Ih, gue juga ngumpet. Lo dimana?"

"Di belakang sekolah. Lo?"

"Di ruang guru," jawab Eva sambil nyengir, "sekalian ngadem, Ra."

Ara dan Eva langsung masuk ke ruang TU begitu sampai di sana. Tadinya, Ara ingin menunggu di luar saja, tapi ia dipaksa untuk menemani Eva ke dalam ruang ber-AC itu.

Selesai dengan urusan Eva, keduanya langsung kembali ke atas. Saat mereka berjalan di koridor, Ara menoleh ke bawah. Melihat belasan siswa sedang berlarian sambil telanjang dada. Bahkan rambut mereka telah dipangkas asal, kelihatan sekali jika diantara mereka ada yang mempunyai pitak di kepalanya.

"Va, liat, deh. Kocak banget!" kata Ara menunjuk ke bawah.

"Itu pada abis ngapain? Malu-maluin banget," Eva geleng-geleng, "yaelah. Albi sama Iil juga di sana, makin malu-maluin kelas aja." komentarnya.

"Kayaknya ini tentang tawuran yang kemarin, deh." Eva lanjut berpendapat. Dibalas dengan angkatan bahu Ara.

Ara menoleh kembali, mencoba mencari objek yang disebutkan Eva tadi. Bukan Albi, tapi Iil. Bukannya Iil kemarin nggak ikut tawuran?

•••

Ara ingin mengembalikan jaket Iil yang dipinjamkannya kemarin, namun, Iil belum kunjung kembali ke kelas dari jam pelajaran sebelum istirahat tadi. Padahal sekarang sudah waktunya pulang sekolah.

"Ben, tas Iil mau lo bawa kemana?" Ara bertanya pada Beno yang menenteng ransel hitam milik Iil.

"Dia minta gue buat bawa tasnya ke bawah." jelas Beno.

Kebetulan, Ara juga ingin bertemu Iil, "Sini, gue aja yang kasih." Lalu Beno memberikan ransel itu ke tangan Ara.

Ara menuruni anak tangga dengan menggendong dua tas sekaligus, dan di tangan kirinya membawa jaket abu-abu punya Iil. Ara menuju ke lapangan, dimana semua siswa yang mendapat hukuman tadi berkumpul. Belum sampai situ, seseorang memanggil namanya duluan.

"Ara!"

Ara mendapati Iil berjalan ke arahnya dari tengah lapangan. Dengan badan yang tanpa busana, dan rambutnya yang tidak tahu lagi gimana modelnya. Ara menahan tawanya.

"Mau ngeledek?" tanya Iil.

Tawa Ara akhirnya pecah, "Sebentar lagi bakal ada cilok di kelas." Ara kembali melanjutkan tawanya.

"Dih, beneran ngeledek. Sini, tas gue," Iil merampas ranselnya yang berada di bahu kiri Ara, "makasih."

"Dih, beneran baper," sahut Ara mengikuti gaya bicara Iil, "nih, jaket lo gue balikin. Makasih, ya." lanjut Ara.

Iil menerima jaket itu yang langsung dimasukkan ke dalam tasnya. "Sampe rumah selamat, kan?" tanyanya bermaksud meledek.

Ara mengangguk sambil merogoh saku kemejanya. "Nggak usah, Ra. Gue ikhlas, kok." kata Iil yang mengetahui maksud Ara—menggantikan uang ojek kemarin.

"Makasih lagi, ya." Ara tersenyum kaku.

"Lo dihukum kenapa?" tanyanya penasaran, "padahal kan lo nggak ikut tawuran."

Iil mendekatkan wajahnya ke Ara, "Ini namanya solidaritas, Ra." katanya begitu.

"Solidaritas? Kurang-kurangin, lah, Il."

Iil mengerutkan dahinya, "Kurang-kurangin? Maksud lo?"

Ara mengangkat bahunya, tak acuh dengan apa yang barusan dibicarakan. "Udah ah, gue mau balik." pamitnya pada Iil.

"Naik apa?"

"Angkot."

"Yaudah, hati-hati," Iil menepuk pundak Ara sejenak, "kalo jatuh bangun sendiri ya!" tepukan yang terakhir sengaja dikeraskan, membuat Ara meringis. Lalu Iil pergi begitu saja, berkumpul lagi dengan teman-teman sehukumannya.

Solidaritas, ya, Il?

•••
Selamat Hari Kartini!
Jangan lupa vote dan comment,
Tengkyu!

21 April 2017

Sebatas HatiWhere stories live. Discover now