Part 1 : Should I Marry My Best Friend?

179K 6.8K 93
                                    

Apa yang paling ditakuti oleh Shabiya? Gadis itu pasti akan menjawab dengan tegas, jatuh cinta. Shabiya atau yang akrab disapa Biya ini memang trauma dengan segala embel-embel yang berhubungan dengan satu kata itu, Cinta. Tidak peduli dengan semua tanggapan dan komentar orang-orang disekitarnya yang sudah mulai berisik mengenai statusnya yang masih single di umurnya yang sudah menginjak dua puluh tiga tahun, yang penting dirinya merasa enjoy menjalani kehidupannya itu.

Dulu, Biya pernah beberapa kali menjalani hubungan dengan beberapa pria. Tapi semuanya brengsek. Genta menganggap itu hanya Biya nya saja yang apes. Tapi kejadian itu malah membuat Biya benci dengan yang namanya laki-laki, kecuali Ayahnya dan Genta.

Gadis itu membawa nampannya ke salah satu meja yang berada di sudut, beberapa kali ia menggigit kecil kerupuk yang berada di piringnya. Matanya menyapu ke sekeliling ruangan, mencari-cari sosok yang sudah ditunggunya. Sekitar sepuluh menit kemudian, akhirnya sahabatnya itu muncul juga.

“Lo coba pikir deh Gen, gue tuh nggak abis pikir ya sama bokap nyokap gue yang selalu ngedesek gue untuk nikah buru-buru. Harusnya kan mereka malah takut dong, kalo gue asal nikah aja terus ujungnya cerai gimana? Mereka juga kan yang malu.” Biya terus mengoceh sambil mengunyah sepiring nasi goreng yang tadi dipesannya di cafeteria rumah sakit tempat sahabatnya itu praktek sebagai dokter anak, Genta.

“Masih juga?” Genta membetulkan posisi kacamatanya yang sedikit merosot itu, Biya mengangguk menjawab pertanyaan Genta. “Wow, gue kira bokap nyokap lo udah lupa sama aksi siti nurbayanya itu.” Lanjut Genta yang langsung mendapat tatapan dari Biya, memelas.

“Gue kira juga mereka bakal lupa, tapi kenyataannya…..” Biya menghembuskan nafasnya dan menjedukkan kepalanya ke meja cafeteria itu, pasrah. “Mereka berencana ngejodohin gue sama anak temen bokap yang baru lulus  di London. Gila kan.” Ucap Biya pelan sekali. Kalau saja Genta tidak membungkukkan wajahnya, mungkin Genta juga tidak dapat mendengar ucapan Biya itu.

“You’re kidding me.” Genta tertawa renyah mendengar rencana perjodohan Biya yang menurutnya tidak masuk akal itu, zaman sudah serba modern gini dan Biya harus menerima nasib seperti zaman Siti Nurbaya?

“Kok ketawa sih lo! Gue nggak becanda Gen, gue lebih dari sekedar serius. Gue harus gimana Gen?” Biya mengangkat kepalanya, menatap Genta dengan penuh harapan ia akan mendapatkan saran cemerlang dari sahabat kecilnya ini. “Gue nggak mau nikah sama cowok itu Gen, kenal aja nggak. bantuin gue dong Gen..” rengek Biya yang disusul sebulir air mata yang menetes dari kedua mata beningnya itu. Genta panik.

“Bi, lo jangan nangis disini dong! Nanti dikira gue ngapa-ngapain lo lagi, tuh kan kita diliatin sama orang-orang.” Genta menghapus air mata di pipi Biya dengan tissue yang tadi diberikan oleh kasir ketika ia sedang memesan nasi dan sop buntut gorengnya itu. “Okay okay gue percaya. Please stop dulu nangisnya, lima belas menit lagi gue harus praktek. Lo nggak mau nangis sendirian disini kan?” Biya menggeleng. “Gue praktek sampe jam enam, abis maghrib disini, gue langsung ke rumah lo okay?”

“Bener ya? Sampe bohong gue samperin lo kesini, nggak peduli mau banyak bayi kek, balita kek, ibu-ibu galak kek, gue nggak peduli! Pokoknya lo harus bantuin gue kasih solusi.” Ucap Biya yang langsung menyambar sendok dan menyuap nasi gorengnya lagi itu. Genta hanya tersenyum. Biya yang dikenalnya sejak masih duduk di taman kanak-kanak itu memang selalu menyelesaikan masalahnya dengan makanan. Genta ingat sekali waktu tk, Biya adalah teman pertamanya. Karena Genta adalah murid pindahan dari Bandung, ia tidak memiliki teman satupun. Disaat teman-teman sekelasnya asik bermain pada jam istirahat, Genta hanya memilih untuk mojok di kursinya sambil menggambar gunung di buku gambarnya, memang hanya gunung yang ia bisa gambar saat itu. Sampai akhirnya Biya menghampirinya dan mengulurkan tangannya keahadapan Genta. Mengajaknya berkenalan dan sempat meledeknya payah karena jadi cowok kok hanya berdiam diri, bukannya ikut bergabung bersama teman-teman cowoknya yang sedang asik main bola di lapangan. Semenjak itu Genta selalu diajak oleh Biya untuk bergabung dengan teman-temannya, berbaur dengan seisi kelas. Dan berkat Biya pula, Genta jadi cepat akrab dengan teman-temannya yang lain. Tidak pernah diduga, pertemanan kecil itu ternyata berubah menjadi persahabatan. Persahabatan yang berlanjut sampai sekarang, disaat Genta sudah menjadi dokter spesialis anak, dan Biya masih tetap asik menjadi penulis. Biya memang suka berimajinasi, sejak kecil ia sudah memiliki banyak khayalan untuk masa depannya sendiri. Sudah empat naskah milik Biya yang kini sudah diterbitkan dalam bentuk novel oleh salah satu penerbit besar di Indonesia. Namanya memang sudah tidak asing bagi para penggemar novel, khususnya novel bertemakan cinta yang penuh dengan keromantisan, walaupun pada nyatanya Biya tidak pernah mengalaminya. Biya hanya ingin mengalaminya. 

Should I Marry My Best Friend?Where stories live. Discover now