3 | Tetap Disana

59 6 3
                                    

3 | Tetap Disana

Untuk, Gilang Yudistira
[Yang menyebalkan tapi tetap disisiku saat aku bahkan hanya bisa mendiamkanmu]

Halo, Gilang
Salam dari dermaga di perpustakaan tepi danau.

Apa kabar lagi, Gilang?

Kali ini, aku sedang bersantai dengan buku sketsa dan pensil di tangan. Tapi, bukannya menggambar, aku malah kembali menuliskan surat untukmu.

Biarlah, biarlah begitu. Aku ingin mengenang gaya menggambarku dulu sekali. Gambar yang terlalu lugas, tak bersketsa dan juga sangat rapi. Apa kau ingat, aku tak pernah bisa menggambar kerutan-kerutan baju, dan juga helai-helai rambut yang keluar dari tatanannya? Aku harap kau masih ingat, Gilang. Lalu, setelahnya, kuharap kamu mau mengingat sejentik memori mengenai sesi pelajaran menggambar di sekolah dan juga sepotong vas bunga berukuran sedang di ruang seni yang menyimpan banyak memori.

Kalau saja kau tahu, aku merindukan saat-saat itu.

Saat-saat kita masihlah sepasang manusia yang berteman dan saling menjaga jarak. Bagiku, jatuh cinta padamu bukanlah bagian terbaik dari seuntai kisahku bersamamu. Bagian terbaiknya akan kuceritakan nanti. Saat aku siap menceritakannya, saat aku mau menceritakannya.

Di suratku yang sekarang, aku ingin mengenang kembali kehadiranmu yang disisiku saat aku putus asa dengan keterbatasan kemampuan menggambarku. Kehadiranmu yang tak pernah berusaha mengusikku, namun tak juga membiarkan kesendirian mengusik.

Semua itu terjadi di awal bulan Oktober yang mengandung banyak sekali virus flu yang biasa menjangkiti orang-orang di masa peralihan musim.

***

Awal Bulan Oktober
Ruang Seni Rupa

Aku sibuk menggambar vas bunga di depanku. Vas sederhana dengan bunga mawar kertas yang feed-able. Warna vas dan bunga yang cukup kontras membuatku merasa semangat ingin berlatih sketsa lagi. Jadilah, hari itu aku menggoreskan pensilku di permukaan kertas sketsa dengan semangat membuncah.

Tak lebih dari dua puluh menit, sketsaku rampung.

Tapi selanjutnya, aku ingin berkata kasar.

Sungguh. Aku benci sekali pada fakta bahwa hasil sketsaku lebih menyerupai vas berisi kerupuk, dan bukannya berisi bunga mawar yang terproyeksi di kepalaku.

"Kupikir, lebih baik jika kau memulainya dengan lingkaran, baru ke mahkota bunganya."

Aku tahu bahwa yang mencetuskan kalimat sok tahu yang menyebalkan itu kau, Gilang. Aku cemberut.

"Lebih baik jika detail ditambahkan nanti."

Aku ingin berkata kasar.

"Tak ada benar dan salah dalam seni, tapi, tak ada salahnya dicoba, Ref."

Baiklah, kesabaranku sudah habis.

Aku menutup buku sketsa kesal lalu menelungkupkan tangan sambil mengerang pelan. Berusaha untuk tidak berteriak frustasi.

Aku benci berekspetasi.

Lalu, saat aku sedang berada di ambang keputusasaan itu, kamu dengan sabarnya duduk di sebelahku. Diam dan tetap disana.

Kau tahu, Gilang. Saat itu, yang aku butuhkan mungkin hanyalah orang yang mau berdiam di sebelahku, tetap disana, tak membuat satu pun suara untuk memecah kekesalanku.

Mungkin hanya itu.

***

Halo, GilangWhere stories live. Discover now