Prolog

189 12 1
                                    

Prolog


Untuk Gilang Yudistira,
[yang dulu pergi dan tak pernah kembali lagi]

Halo Gilang,
Salam dari dermaga di perpustakaan tepi danau.

Jelas kamu nggak akan bertanya mengenai apa yang kulakukan di perpustakaan. Kamu sendiri yang bilang bahwa mahasiswa jurusan teknik sipil maupun arsitektur membutuhkan banyak referensi bacaan dan tempat yang tenang untuk menemukan ide dan inspirasi.

Kau tahu, Gilang, aku selalu mengamati orang-orang yang datang ke tempat ini. Beberapa datang berkelompok, lima sampai enam orang, sangat gaduh, ditemani berkaleng-kaleng minuman ringan dan seplastik kudapan, bertukar bahan bacaan dan topik pembicaraan. Tipe pertama ini akan menghabiskan banyak tempat. Beberapa datang dengan kelompok yang lebih kecil, dua-tiga orang, sibuk berdiskusi dan membolak-balik beragam jurnal dan bacaan lainnya. Tipe yang ini biasanya orang-orang berambisi yang serius dengan kuliah mereka. Beberapa seperti aku, datang sendiri, menghadap laptop maupun tumpukan kertas bacaan, dan sedikit kudapan. Tipe yang terakhir ini biasanya duduk di pinggiran dermaga, tak kasat mata, dan tak terusik sama sekali dengan satu-dua keramaian yang timbul dari tipe pertama tadi.

Saat membaca ‘tak kasat mata’, kamu yang dulu mungkin akan terbahak-bahak. Seorang Refta yang gaul, yang eksis, yang hits, masuk ke golongan orang-orang ‘tak kasat mata’?

Tapi Refta yang gaul dan eksis itu dulu, Gilang. Begitu pun kamu, mungkin saat membaca kalimat tersebut, kamu yang sekarang akan bereaksi biasa-biasa saja. Karena kamu yang sekarang—entahlah—aku tak tahu, aku tak pernah mendengar kabarmu semenjak wisuda. Hal terakhir yang kudengar hanyalah kamu akan ikut seleksi masuk FSRD—Fakultas Seni Rupa dan Desain, apa yang kamu dan aku impikan sejak dulu.

Aku ingin tahu kabarmu yang sekarang, Gilang.

Kamu yang sekarang mungkin tak menganggap aku ada. Aku memang pernah mengisi harimu, mengisi lembar kosong hidupmu, menjadi salah satu keping puzzle penyusun dirimu yang komplektisitasnya melebihi rancangan Gaudi. Namun, kamu jelas bukan orang yang mendadak sentimental kala melihat foto usang. Bukan pula orang yang senang bernostalgia dengan masa lalu, bagimu, masa lalu hanya untuk disimpan, dikubur dalam-dalam. Kamu yang sekarang tak akan merindukanku seperti aku yang sekarang merindukanmu. Ya, kan, Gilang?

Aku merindukanmu, Gilang. Bagiku, kata rindu ini hanya akan membuat hatiku nyeri lagi. Rindu ini hanya akan mengingatkanku pada pagi hari saat ‘kita’ berubah menjadi ‘aku’ dan ‘kamu’. Rindu ini hanya akan mengorek luka lama yang belum sepenuhnya mengering.

Itu juga satu alasanku membenci pagi.

Kamu yang dulu tahu persis hal itu. Saat topik obrolan kita menyentuh satu frasa yang membuatku muak itu, kamu akan diam, memandangku lama. Tanganmu akan meraih tanganku, memberiku kekuatan. Selalu seperti itu—ralat—dulu selalu seperti itu.

Mulai pagi ini, aku ingin bernostalgia, Gilang. Aku ingin mengingat semua hal yang selalu kuingat jika namamu melintas dalam benak. Aku ingin mengenang semua perbedaan yang menyatukan kita, ingin menyesap kembali setiap rasa senang yang dulu pernah kita rasakan, ingin merasakan kembali setiap luka yang dulu pernah tertoreh.

Tentu, boleh, kan?

***

Res's notes :

Welcome to another story in doodlerdreamer's world!

Semoga suka, ini agak nyebelin sih, ceritanya. Cerita tentang mantan *hm*

Yasudah, semoga enjoy. Jan lupa vomments;v

P.S

Kritik dan saran diterima dengan lapang dada

Halo, GilangWhere stories live. Discover now