2 | Kamu...

74 7 1
                                    

2|Kamu...


Untuk Gilang Yudistira

Halo, Gilang.
Salam dari dermaga di perpustakaan tepi danau.

Hari masih pagi saat ini. Perpustakaan pun masih sangat sepi. Jika saja kamu ada disini, kamu pasti menggerutu karena harus berangkat ke kampus pagi-pagi demi menemaniku di dermaga ini.

Tapi, jika kamu masih bersamaku, perpustakaan kampus kita tidak berada di tepi danau. Dan juga aku tak akan menulis surat ini sembari merasakan berbagai perasaan yang membuatku sesak. Aku juga tak akan sibuk mengurus lembar-lembar kertas draft dan mungkin malah dengan santai menenteng tas laptop serta drawing tab sambil bergurau.

Baiklah, aku sudah menghabiskan seperempat kertas untuk melantur.

Kali ini, aku tidak membawa tugas apa pun. Tugas yang tempo hari kukerjakan sudah dikumpulkan dan belum dinilai secara keseluruhan. Dosenku memberi mandat untuk mempresentasikan rancangan itu secepatnya, tapi aku merasa bahwa lebih baik aku mengambil rehat sehari-dua hari untuk mempersiapkan presentasi. Lagipula, kepalaku rasanya mau pecah saja setiap melihat detail rancangan demi rancangan yang seolah tanpa henti kubuat.

Aku hanya terdiam. Menatap pemandangan di hadapanku sambil merasakan sakit ketika melirik buku sketsa yang terbuka di tanganku. Terbuka tepat di halaman setelah sketsa ibumu.

Lagi-lagi itu sketsa wajahku yang sedang menggembungkan pipi. Memangku gitar. Sketsa monokrom itu selalu membuatku tertawa. Entahlah, aku juga tak ingat kapan aku pernah main gitar, lalu menggembungkan pipi karena jengkel. Yang kutahu pasti hanyalah bahwa sketsa yang satu ini kau buat tak lama setelah buku sketsamu tertinggal di kelas.

Aku menyentuh tekstur kertas yang halus. Merasakan mataku memanas.

Sketsa yang satu ini, mengingatkanku pada rasa penasaranku padamu, Gilang. Kamu sempat menjadi objek stalking-ku selama berhari-hari semenjak interaksi pertama kita. Kamu bukan orang yang senang berbicara banyak-banyak sehingga rasanya sulit untuk membuka percakapan denganmu saat itu. Lagipula, aku terlalu malu, Gilang.

Tapi, pagi itu kamu menyapaku lagi. Dan akhirnya mau berbicara denganku tanpa sarkasme dalam kalimatmu. Dan itu, itulah yang benar-benar mengawali semua kisah ini.

***

September 2015.
Kamar Refta.

Sudah beberapa hari semenjak kau meninggalkan buku sketsamu di kelas dan merebutnya dariku dengan gestur yang luar biasa menyebalkan.

Katakanlah, hal itu membuat rasa penasaranku muncul. Aku hanya tahu namamu waktu itu, Gilang. Aku nyaris tak mengenalmu meski kamu sudah menjadi teman sekelasku dalam beberapa minggu. Tapi, tetap saja, kamu terlalu pendiam. Dan juga, setelah kuperhatikan beberapa hari ini, kamu hampir tak pernah terlibat dalam kegiatan apa pun. Kerja kelompok pun kamu hanya menyumbang tenaga dan berbicara secukupnya.

Ya, harus kuakui, aku mengawasimu terus menerus. Beberapa fakta acak berhasil kukumpulkan. Seperti fakta bahwa kamu selalu minum sekotak teh dingin setiap pagi, menghabiskan sebagian besar waktu istirahat di kelas, sibuk dengan buku sketsa atau laptop, lengkap dengan drawing tab.

Satu fakta yang mengusikku adalah, kamu sebenarnya populer.
Aku pernah mengatakan hal itu padamu, tapi kau malah tertawa dan menganggap hal tersebut hanyalah gurauan. Tapi, aku serius.
Kamu harus mendengarkan bagaimana cewek-cewek di sekolah membicarakanmu. Bagaimana mereka penasaran dengan drawing tab yang kau bawa hampir setiap hari. Bagaimana rasa takjub mereka ketika melihatmu mempublikasikan gambar yang sudah kau buat ke media sosial. Rata-rata dari mereka ingin—setidaknya—mengenalmu lebih dekat. Jangankan ‘mengenal lebih dekat’, menyapamu saja, mereka segan.

Halo, GilangWhere stories live. Discover now