Di ketinggian 8 meter, seorang pria dengan muka pucat pasi berdiri di depan jendela yang di bingkai dengan kusen hitam. Matanya yang hitam pekat seperti tinta memerhatikan gerak-gerik penyeberang jalan dan laju mobil yang melewati aspal abu-abu begitu juga dengan genangan-genangan air yang muncul setelah hujan yang turun beberapa menit yang lalu. Sebenarnya, hanya matanya yang jelalatan melihat apapun yang berada di hadapannya, tetapi pikirannya telah terbang memikirkan ponsel yang sedari tadi digenggamnya di sebelah telinga kanannya. Suara orang yang ingin didengarnya tidak kunjung muncul setelah 15 menit berusaha dihubungi.
Langit baru saja menangis di atas kota ini dan suhu turun hingga 25 derajat celcius. Rasanya sungguh aneh untuknya yang tumbuh di kota yang jarang dituruni hujan. Jikalau dituruni, harus mengikuti musim, berarti dia harus menunggu 6 bulan lagi untuk melihat titik-titik air jatuh dari langit. Di tempat yang ia tempati kini memiliki tingkat intensitas hujan yang tinggi dan kelembaban udara yang tinggi sehingga udara terasa melekat ke tubuh dengan tidak nyaman. Tetapi entah kenapa, perubahan cuaca tersebut menenangkannya. Setiap rintik hujan yang jatuh di atas kaca yang berada di hadapannya seperti menghanyutkan segala rasa gelisah dan ketakutan yang kini mendominasi perasaannya. Mungkin juga karena deru hujan yang mengenai aspal seperti menutupi segala hal yang dipikirkannya dan kedamaian yang mengikuti setelah hujan itu berhenti dan meninggalkan kota ini basah kuyup. Ia merasa kota ini menjadi lebih indah setelah diguyur hujan. Bayangan setiap gedung membaur dengan kegelapan dan titik-titik air yang menempel di atas kaca membentuk pola yang tidak beraturan yang seringkali ia ikuti dengan jemarinya. Jika ia membuka jendela yang berada di hadapannya, ia dapat mencium aroma roti yang baru saja selesai di panggang dari toko roti di sebelah kanan dan wangi kopi hangat dari kafe yang tidak jauh jaraknya. Kota ini sudah indah dengan sendirinya, tapi dia tahu sesuatu yang membuat kota ini menakjubkan untuk dirinya.
Ponsel yang sudah digenggamnya selama 20 menit tiba-tiba terhubung dan suara dalam seorang laki-laki mengema di ruangan 4×9 itu.
"Gue nggak bisa ketemuin mereka".
Pria itu hanya dapat menautkan kedua alisnya, dahinya mengerut dan matanya dengan liar nelihat-lihat kearah jalan tanpa tujuan yang jelas, berusaha menghilangkan ketegangan dan kekecewa yang membuncah di dalam dirinya. Tangannya yang melingkar di sekitar ponsel mengencang dan mengendur berulang-ulang kali. Ruangan itu menjadi diam setelah apa yang disampaikan orang yang berada di ujung sambungan itu, hanya terdengar napas pria tersebut yang terengah-engah. Setelah keheningan yang cukup lama, pria tersebut membuka mulutnya.
"Jadi kita tidak dapat menemukan mereka," ucapanya yang lebih seperti sebuah pertanyaan. Keraguan tetdengar di suaranya yang semakin kecil dengan setiap kata yang diucapkannya.
"Kita akan menemukan mereka, gue sudah janji sama lo," ucap orang yang berada di ujung sambungan, suaranya terdengar parau. Detik-detik berikutnya diikuti dengan keheningan yang sudah tidak asing lagi dan pria tersebut hanya dapat menimpali.
"Ya, kita akan menemukan mereka".
Ada sesuatu dalam suaranya yang membuat dirinya pun terkejut. Kepercayaan yang muncul secara tiba-tiba itutidak pernah diharapkannya keluar dari mulutnya pada saat seperti ini, dan dengan semangat yang sedah berada di sisi jurang. Mungkin itulah yang diperlukannya.
Kepercayaan.
Mungkin itulah yang diperlukannya untuk meyakini orang yang berada di ujung ponsel itu dan juga dirinya bahwa mereka dapat ditemukan.
YOU ARE READING
Spark(Slow Update)
Teen FictionSemua bermula dengan percikan. Sebuah percikan dari kejadian yang membangun jembatan untuk menghubungi kedua dunia yang jauh berbeda. Mereka tahu dunia mereka tidak akan sama lagi setelah percikan itu dinyalakan. Percikan itu menjadi lebih besar, me...
