Misteri di Balik Kacang Ijo yang Gagal Berkecambah

22 2 3
                                    

Detektif sotoy
Misteri humor fantasi
Pete bakar, eek kucing, bunga cempaka, sempak renda-renda, pesek.

“Apa kamu yakin?”

Itu adalah pertanyaan kesekian kali diucapkan oleh Harly—rekan kerjaku yang pesek—dalam beberapa saat terakhir dan aku benar-benar bosan dibuatnya. Oh, ayolah. Kami sudah melakukan hal ini selama satu tahun lebih, apa dia masih tidak percaya pada bakatku?

“Bukan itu, Mic. Kamu yakin, kita sembunyi di sini, di antara kumpulan eek kucing?”

Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling tempatku berjongkok saat ini. Benar, saat ini kami tengah berada di antara benda berbau harum itu untuk bersembunyi. “Kita sedang berada dalam misi penting, Nona Harly. Kita harus totalitas.”

Aku berucap dengan semangat menggebu pada Harly yang masih berdiri di sampingku. Heol. Apa dia tidak berniat menyelesaikan misi ini? Apa hanya aku yang akan bekerja saat ini? Aku akan melaporkannya pada atasan setelah pulang nanti. Aku berjanji.

“Menurutmu, apa yang pria itu lakukan di sana?” Aku merapatkan tubuhku ke sisi kumpulan bunga cempaka, kepalaku menyembul sedikit untuk melihat target kami yang sedang asik berada di sebuah warung makan bersama pria lain.

“Dia sedang makan pete bakar, Mic. Apa kamu tidak bisa melihatnya?”

Aku tidak terlalu memperhatikan bagaimana ekspresi Harly saat dia menjawab berbagai pertanyaanku karena saat ini yang aku perhatikan hanya pria itu. Ya, pria yang mengambil api biru dari ruangan rahasia ketua suku Rebluvi. Suku di pedalaman pulau Kalimantan yang penduduknya memiliki kekuatan sihir dari api biru.

“Apa mungkin dia membakar pete itu dengan api biru milik suku kita?”

Sebuah senggolan dari kaki Harly mengalihkan perhatianku. Aku mendongak, menatap wajahnya yang mengeras karena pertanyaanku. “Lebih baik kita pergi ke sana dan memastikan semuanya.”

Entah bagaimana, sebenarnya aku tidak setuju dengan saran Harly, tapi aku turut berdiri karena dia lebih dulu melangkah menuju warung makan tersebut.

“Duduk di sini.”

Sekali lagi, aku menurut ucapan Harly. Memilih salah satu bangku yang letaknya tak jauh dari tempat pria target. Memesan cake bernama sempak renda-renda dan dua gelas jus kacang ijo gagal berkecambah seperti kebanyakan pelanggan.

Kami tidak terlihat mencurigakan. Seperti itulah pekerjaan kami. Aku dan Harly bisa melihat jelas apa yang dilakukan pria itu tanpa ketahuan karena kemampuan akting kami yang lumayan bagus. Akan tetapi, setelah pesanan kami datang, aku melotot tak percaya dengan apa yang aku lihat di dapur warung makan ini.

“Api biru.” Aku bergumam pelan karena syok akan apa yang aku lihat dan Harly mendengarnya. “Warung ini juga memiliki api biru kita, Harly.”

“Itu bukan api biru milik suku kita.” Harly menyuap makanannya tanpa peduli dengan ekspresiku yang sudah kelewat berlebihan. “Itu namanya kompor. Mereka memasak dengan api yang ada di kompor itu. Bukan seperti api biru yang memberi kita kekuatan. Mereka tidak mencuri api biru kita, berhenti bersikap berlebihan, Mic.”

“Maksudmu? Lalu—jadi—maksudku—bagaimana dengan misi kita. Oh, jadi kita harus bagaimana?” Aku bergerak asal, menggeleng-gelengkan kepalaku dan menghentakkan kakiku tak beraturan hingga menarik pengunjung lain.

“Apa kamu bisa berhenti. Aku hanya mengerjaimu, Mic. Ternyata kamu terlalu polos. Kamu terlalu lama bekerja dan kamu perlu istirahat. Itu sebabnya aku meminta izin pada komandan untuk mengajakmu pergi keluar suku. »

Aku memiringkan kepala. Mic perlu dirukiyah setelah ini.

Selesai. 

By : Yes_yez

Misteri di Akhir PekanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang