bagian satu

69 25 15
                                    

Sicha masih asik menscroll layar ponsel-nya sambil menyentuh pipinya menutupi rona merah disana. Terkadang dia tersipu gemas menatap gambar yang ada di ponselnya. Seakan dunianya sudah tersedot habis oleh apa yang ada di ponselnya, bahkan dia tidak memedulikan segala hal disekitarnya. Menulikan segala pendengaran, mengabaikan segala yang ada di sekitarnya. Kalau boleh, bahkan dunia juga tidak berhak mengganggu waktu berharganya saat ini.

"Ssstt... Cha," Veve teman sebangkunya berbisik kearahnya dengan sesekali menatap ke depan takut-takut.

Tidak terpengaruh apapun dengan segala hal yang menurutnya tidak penting. Tanpa repot-repot Sicha meladeni temannya yang kurang kerjaan itu. Ngapain sih harus berbisik, kalau ada yang urgent kan dia bisa ngomong langsung. Seperti itulah kiranya yang dipikirkan Sicha.

"Cha.... Ssttt Cacha," bisik Veve lagi.

Agak sedikit kesal, Sicha mendelik ke arah Veve. Temannya ini ganggu banget.

"Apa sih, ganggu dech." Balas Sicha sebal lalu kembali menatap ponselnya lagi.

"Cha,,, Cacha....." seperti tak hilang akal, kali ini si Ve sambil menarik-narik lengan Sicha.

Sungguh, Sicha benci diganggu pada saat-saat seperti ini. dia sedang stalking orang yang disukainya. Iya, sekarang dia sedang menjadi seorang stalker.

Dan dengan tidak sopannya si Ve malah mengusik kesenangannya. Siapa yang nggak marah coba. Apa si Ve ini gak tahu, kalau Sicha sedang sibuk sekarang. Dia sedang menjalankan tugas penting. Ini demi kelangsungan masa depannya. Kalau masa depannya suram, memangnya si Ve mau tanggung jawab apa. Kan nggak mungkin, dia saja masih jomblo abadi. Memikirkan itu Sicha malah terkikik lucu.

Jika diibaratkan, apa yang dilakukannya ini sama pentingnya dengan tugas Bu GurGal -singkatan dari Guru Galak- yang mempunyai nama Endang ini. Kalau bertitah nggak tanggung-tanggung, suka di luar nalar manusia. Masa iya ngerangkum 5 bab buku sejarah hanya diberi waktu 3 jam. Tentu saja Sicha yang paling menolak keras. Bisa kriting tangannya nanti. Tidak tahu apa kalau sistem kerja rodi dan romusha sudah ditiadakan. Tidak masuk akal memang Bu Endang ini.

Tapi tunggu dulu, sepertinya ada yang terlupakan darinya.

Ngomong-ngomong soal Bu Endang, kok dia seperti melupakan sesuatu ya? Tapi apa?

Karena penasaran, Sicha akhirnya menatap Veve yang wajahnya terlihat horor seperti melihat mbak kunti.

Kedua alis Sicha bertaut bingung  melihat telunjuk Ve yang mengarah padanya dan ke depan bergantian. Sicha berdecak sebal tidak mengerti.

"Apa sih Ve, lo aneh banget. Lo harusnya tau, kalau doi nggak mudeng kode-kodean." gerutu Sicha sebal.

Sicha dibuat semakin bingung saat melihat kedua mata Ve yang berkedip-kedip aneh ke arahnya dengan dagu yang di arahkan ke samping kanan.

"Lo klilipan? Kecolok pulpen? Kena kencing cicak?"

Veve yang gemas dengan temannya ini pun gak tahan untuk mejitak kepala Sicha.

Pletak.

"Aduh,, gila. Sakit tau Ve. Kalau gue amnesia gimana. Kalau gue gegar otak gimana. Kalo nggak ada yang penting, udah deh die---"

"NASICHA..... APANYA YANG NGGAK PENTING !!!!" seru seseorang yang ada di depan sana.

Eh?

Mampus gue,

Itu si GurGal kan?

Mati guee....

Seperti gerakan slow motion, Sicha mnggerakkan kepalanya kaku ke depan. Dan disanalah dia, Ibu Gurgal-nya yang cantik kini bertolak pinggang tampak murka menatapnya.

Sicha memasang cengiran andalannya takut-takut. "Eh, Bu GurGa-- Ups, maksudnya bu Endang cantik. Iya cantik yang luar biasa sekali. Hehe. Ibu apa kabar? Pasti luar bias--'"

"Memang kamu siapa, HAH?? bisa-bisanya....?!" Geram bu Endang menahan amarah. Dadanya naik turun mencoba mengendalikan emosinya yang sebentar lagi meledak.

Sicha menatap bu Endang terkejut. Dia membekap mulutnya dramatis.

"Ibu lupa sama saya?" Teriaknya heboh. "Saya ini murid ibu yang ter-unyu termanis dan tidak bisa dilupakan lho, masa ibu lupa sih. Sedih banget saya ini.." lanjutnya mendramatisir keadaan.

Sedang Veve menepuk dahinya pasrah dengan sikap Sicha yang lagi kumat itu.

Serah lo deh Cha, serah lo. Lo kumat gak liat tempat banget. Ucap Ve dalam hati.

Seluruh temannya menatap dirinya smbil menahan cekikikan. Sicha itu memang teman ajaib mereka. Selain baik hati dan ramah pada siapapun, dia juga selalu bisa menghibur kapan saja dan dimana saja. Seperti saat ini.

"Udah Nasicha main dramanya??"

"Lho? Siapa yang main drama sih bu. Ibu ini suka ngelawak dech. Hehee" cengirnya tanpa dosa.

Bu Endang membelalak tak percaya, bisa-bidanya anak ini malah mempermainkannya. Dia sudah lelah menghadapi Sicha. Anak ini sebenarnya pintar. Bahkan dia selalu mendapat peringkat di kelasnya. Tapi entah mengapa kelakuannya tidak bisa mencerminkan itu semua.

"Cukup Sicha, saya bosan lihat kamu yang lebih merhatiin ponsel kamu ketimbang sa----"

"Stop ibu," potong Sicha tanpa merasa bersalah.

"Ibu kok ge-er banget sih. Saya tuh perhatiannya cuman sama Avon seorang. Jadi saya bingung kalo harus berbagi perhatian pada yang lain," sambung Sicha yang mulai nggak nyambung dan disambut gelak tawa seisi kelas.

Eh? Kok pada ketawa? Dia kan berkata jujur.

Sicha menatap Ve tak mengerti. Ve menggelengkan kepalanya pasrah dan hanya menggerakkan bibirnya saja untuk mengunpatinya. Lo mampus cha. Seperti itulah kira-kira.

Tunggu, dia bilang apa tadi?
Mam---

Secepat kilat Sicha menatap kedepan. Dan disanalah maksud Veve tadi. Iya, kini dilihatnya guru itu terlihat benar-benar murka. Sudah terlihat seperti herder yang siap mencabik-cabiknya. Kalau ini dalam komik kesayangannya, guru itu akan digambar memiliki dua tanduk dan keluar asap dari kepalanya.

"NASICHA MENTARI...???!!! SEKARANG JUGA KELU----"

Sicha berdiri dan mengangkat tangannya ke depan menghentikan terikan Bu Endang.

"Iya, ibu Endang. Gak usah dilanjutin. Chaca ngerti. Walaupun kata ayah cantiknya Chaca itu haqiqi. Tapi Chaca itu sekarang pinter. Jadi Chaca udah hafal banget."

Kemarahan guru itu makin memuncak tapi dengan santainya Sicha malah merapikan barang-barangnya yang ada di atas meja.

"KAMU----"

"Iya, ibu. Cacha ngerti kok," potong Sicha lagi. "Tenang aja, kali ini Cacha jadi anak yang baik. Jadi ibu gak usah teriak-teriak biar bisa hemat tenaga." Sicha mnganggukkan kepalanya seolah memang mengerti.

Kening guru itu mengerut heran saat tiba-tiba Sicha maju ke depan dan mengambil tangan kanannya. Sicha mencium punggung tangan guru itu dengan khidmat.

Bu Endang merasa trenyuh, ternyata masih ada juga murid yang begitu tawadhu saat meminta maaf padanya. Dia jadi terharu. Mungkin tadi Sicha memang lagi khilaf. Pikirnya. Dia sampai ingin meneteskan airmatanya.

"Kali ini saya mau pamit bolos ya, bu." Katanya tanpa dosa dan segera kabur dari tempat itu.

JEDUUAARR.

Ambyar sudah pemikirannya. Tercecer di antah berantah.

Seakan gunung yang baru saja diagung-agungkan guru itu, kini meletus dengan bara api kemarahan. Nyata-nyatanya Sicha lebih membuat guru itu murka.

"NASICHA MANTARIIIIII.....???!!!"

Teman-temannya hanya menggelengkan kepalanya pasrah melihat tingkah absurd salah satu temannya itu.

>>>>T.M.H<<<

Selamat membaca..... 😊

Touch Your HeartOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz