三 // san ; star!

45 17 14
                                    

Ya, dan berakhirlah kami bertiga duduk di tepi danau, menggelar semacam karpet dan makan pizza.

Piknik tengah malam.

Ralat, tidak hanya bertiga melainkan berempat. Karena Hiru tiba-tiba datang entah dari mana sambil membawa susu coklat serta teh hangat.

"Jeno mengabariku." Ungkapnya begitu sampai di sini.

"Ah, halo! Watashi no namae wa Cath-desu." tiba-tiba Cath berdiri dengan tangan kanan memegang pizza, memperkenalkan dirinya dalam bahasa Jepang kemudian membungkuk 90°.

Aku dan Hiru saling menatap, kemudian tertawa, apalagi ketika Cath tidak kunjung menegakkan badannya.

"Halo! Aku Hiruka! Panggil saja Hiru." Kini ganti Hiru yang membungkuk sedikit.

"Kamu kelihatan Jepang sekali, tidak seperti Ebi. Aku sekarang benar-benar mempertanyakan keturunannya." Cath tiba-tiba berkata seperti itu kepada Hiru.

Cath:) aku dengar loh.

Hiru tertawa. Cath semakin mengompori Hiru, mengatakan bahwa aku ini anak salah ambil waktu di rumah sakit. Sedangkan Jeno hanya tersenyum tiap kali Hiru mulai tertawa lepas, ya, jangan lupa matanya yang ikut tersenyum.

"Iie! Ebi benar-benar Jepang kok." Bela Hiru ketika ia sudah bisa menenangkan dirinya.

Terimakasih Hiru.

"Coba kau tanya dia, apa bahasa Jepang dari bintang." Ujar Hiru sambil menunjuk langit penuh bintang itu.

"Apa Eb? Bahasa Jepangnya bintang?" Cath menatapku, antara tatapan bertanya dan tatapan menantang.

"Hoshi!" Jawabku lantang.

"Bener gak itu, Hir?" Tanya Cath.

"Bener kan. Sudah kubilang, Ebi itu emang Jepang." Ucap Hiru sambil tersenyum kecil.

"Kamu itu yang keturunannya dipertanyakan. Mamamu orang Jawa Barat, papamu orang Jawa Tengah. Anaknya kok kayak bule gini?"

"At least I also know that hoshi in english means star!"

[=]

Waktu sudah menunjukkan pukul 12 lebih 43 menit. Hiru sudah kembali ke rumahnya. Sedangkan Cath sudah tertidur. Di pundakku.

Meyisakan aku dan Jeno yang masih sibuk dengan rubiknya.

"Kamu tinggal sendiri juga?" Tanyaku tiba-tiba.

"Ah aku? Tidak. Aku tinggal dengan adikku."

"Maksudku, hanya kalian berdua? Tidak dengan orang tua?"

"Tidak. Lebih enak hidup sendiri. Lebih mandiri dan lebih bebas." Ia terkekeh pelan. Tapi matanya masih tetap fokus melihat benda 3×3 itu dan tangannya sibuk memutar benda tersebut.

"Kenapa?"

"Kenapa aku ingin hidup sendiri maksudmu?" Ia kini meletakkan rubiknya, duduk bersila menghadapku sambil menopang dagunya.

"I-iya"

"Berusaha melupakan sesuatu"

[=]

Pagi itu Cath menyeretku pergi ke rumah tetangga. Iya, aku yang masih setengah sadar ini.

"Halo!" Sapa Cath ramah.

"Iya, halo. Kenapa pagi-pagi datang kesini?" Jeno menyambut Cath dengan tatapan setengah sadar. Rambutnya masih berantakan, dan ia masih mengenakan kaos serta celana training. Sambil mengusap wajahnya, Jeno kembali bertanya, "ada perlu apa sampai ke sini?"

Cath yang tadi sempat nge-hang melihat Jeno dalam keadaan seperti ini, apalagi ketika suaranya masih benar-benar suara pagi.

"Ah, ya! Bisakah aku menitipkan Ebi disini?" Ia menunjuk ke arahku.

"Kurasa ia terkenal flu karena semalaman di luar." Ucap Cath.

Flu? Aku terkena flu?

"Aku gapapa kok, siapa yang ke-- hachu!"

"See what I'm talking about?" Cath kembali mengarahkan fokusnya ke Jeno.

"Kenapa tidak dengan Hiru saja?" Tanya Jeno sambil menatap Cath, kemudian menatapku, dan kembali menatap Cath lagi.

"Karena aku tidak mau sahabat Indonesiaku ini kembali menjadi seorang Jepang lagi."

[=]

Seharian itu aku dibiarkan tidur di kamar Jena. Ya walaupun sesekali Jeno mengecek apakah aku membutuhkan sesuatu atau tidak. Intinya, aku benar-benar dibiarkan.

Ini bukan rumah sakit dimana ada tombol panggil untuk perawat. Padahal sekarang aku benar-benar lapar. Aku menyingkap selimut kemudian berniat pergi menuju dapur.

Aku membuka pintu kamar, berjalan keluar hanya untuk mendapati rumah benar-benar sepi. Begitu sampai di dapur aku membuka kabinet yang sialnya jauh lebih tinggi daripada aku.

"Sedang apa disitu?" Jeno tiba-tiba muncul entah dari mana, menyenderkan punggungnya di pintu kulkas sambil menekuk kedua lengannya.

"Aku lapar." Jawabku sambil tetap berusaha meraih bungkus mie instant.

"Kamu sakit, seharusnya tidak boleh turun dari kasur. Apalagi sampai makan mie instant?" Ia geleng-geleng.

"Ya daripada aku masak lauk sendiri?"

"Tidak perlu repot-repot, aku akan melakukannya untukmu,"

[=]

Maaf gajelas :") otakku mati sedikit kayanya gara-gara to mat :")

Anyways, vomments ya!:3
Share juga boleh heuheu:3

Late Night.Where stories live. Discover now