1

20 0 0
                                    

Aya.

Aku belum pernah sesuka ini dengan "sendiri" sebelumnya. Tapi sejak aku sadar bahwa terkadang tidak semua bisa mengerti dengan perasaan ku, dengan kepedulian ku pada diriku sendiri-yang sering mereka sebut-keegoisanku, aku menjadi sangat penyendiri. Mereka, ya, orang-orang yang mengaku mengenalku. Tak pernah sekalipun memang mereka berkata bahwa aku ini egois. Tapi perilaku mereka padaku, aku bisa tahu mereka mengatakannya bahkan aku tak perlu mendengar itu langsung dari mulut mereka. Setelah semua, sekian banyak hal yang ku relakan untuk berbagi dengan mereka, kecuali sedihku dan penderitaanku, yang aku dapat hanya: mereka pergi. Tapi tenang, sebelum mereka beranjak selangkah menjauhiku pun aku sudah menganggap mereka tidak ada. Itu namanya menyelamatkan diri sendiri.
Terdengar egois memang. Tapi andai orang-orang tau semenyedihkan apa perlakuan mereka, aku bersumpah kalian akan ikut kesal.
"Ya, mi ayam lo gue abisin nih ya kalo lo masih aduk-aduk gitu doang daritadi."
"Eh gila lo ya Moz, itu punya lo udah abis? Se-laper itu apa lo?" Jujur aku sempat kaget waktu Moza~sahabatku yang doyan banget makan mi ini~barusan tiba-tiba ngomong. Ngomong biasa sih, aku saja yang memang lagi bengong. Aku samasekali tidak nafsu mentransfer mi ayam didalam mangkuk ini ke mulutku. Jadi yang daritadi aku lakukan cuman mengaduk nya, menambahkan sambal, lalu ku aduk lagi, setalan itu saus, lalu kuaduk lagi, dan terakhir kecap asin, lalu ku aduk lagi sampai akhirnya Moza menawarkan diri untuk menghabisi mi ayam menyedihkan ini.
"Gue lagi gak laper juga tetep bisa nampung dua mangkuk mi ayam terenak ini kok, Ya. You know, dude." Aku tau ini sudah bukan kode lagi. Tapi maksa buat dikasih semangkuk mi ayam milikku ini.
"Nih nih. Lo abisin nih. Kalau masih mau bilang. Gue bayarin, tapi lo abisin." Moza benar-benar suka mi, apapun itu bentuknya, mi instan dengan berbagai merk, Moza tidak pilih kasih memang, semua itu katanya enak enak saja, termasuk mi ayam, mi tek-tek, kwetiau, mi Aceh dan segala apapun tentang mi, Moza suka sekali.
Tapi yang kusuka dari Moza adalah kedisiplinannya atas apapun. Dia bisa menahan diri untuk tidak berlebihan dengan kesukaannya itu. Dia tahu kapan harus mulai dan kapan harus berhenti. Dalam hal apapun, bukan tentang mi saja.
"Gak makasih. Udah dua mangkuk aja gue gak bakal makan mi selama sebulan, Ya. Kalo nambah satu mangkuk lagi gue gatau deh mesti sampai kapan gue gak makan mi." See? Benar kan kataku. Ini dia tidak lagi bercanda kok.
"By the way Ya, kemarin kok lo gak ikut ke puncak? Gue lihat Si Oi nge-path makanya gue tahu." Ah, itu. Aku daritadi sibuk menimbang apa aku perlu bercerita pada Moza atau tidak. Tapi seakan bisa mendengar isi kepalaku, pertanyaan itu keluar dari mulut wanita yang paling mengerti ku setelah ibu ini.
"Aya! Lo budek beneran ya Ya lama-lama."
"Mulut lo ah. Iya gue gaikut, gue gatau apa-apa tentang itu. Eh Moz, males deh ngebahas itu. Bahasin apa aja terserah lo asal jangan itu." Sepertinya baru kali ini aku mengatakan kalimat se-drama ini pada Moza. Dan setelah itu percakapan kami berganti menjadi bagaimana senangnya Moza yang baru pertama kali pacaran ini bisa punya temen malam minggu selain aku. Jangan tanya aku bernasib sama dengannya atau tidak, karna jawabannya tidak.
Setelah orang-orang lebih sering memilih pergi dariku, aku sudah tidak mempersilahkan siapapun untuk masuk terlalu dalam dihatiku. Sesering apapun kau pernah merasakan ditinggal, oleh siapapun itu, rasa sakitnya tidak secuil pun berkurang. Sama sekali tidak membuatmu menjadi kebal oleh rasa sakit.
By the way, pacaran? Itu makanan jenis baru ya?

Petrichor HabitueWhere stories live. Discover now